KASUS pembunuhan Marsinah kini sedang disidangkan untuk menentukan pihak yang bersalah. Presiden Soeharto pun minta agar pengusutannya dilakukan secara tuntas. Meskipun demikian, kita tetap belum tahu, apakah pengorbanan Marsinah, yang membuatnya jadi seorang martir itu, bakal memperbaiki keadaan buruh kita. Atau, seperti yang sudah-sudah, hanya bakal berakhir pada sebuah kesia-siaan. Terlepas dari siapa nanti yang terbukti bersalah dan apa pun buah pengorbanan almarhumah Marsinah, ada pelajaran lain yang hendaknya kita petik dari kasus ini. Mengapa Marsinah diculik lalu dibunuh secara kejam? Menurut sebuah versi, kekejaman itu dilakukan karena Marsinah memiliki informasi penting tentang penyelewengan hukum atau praktek produksi ilegal oleh perusahaan tempatnya bekerja. Ia, kabarnya, mau membeberkannya ke luar kecuali pihak perusahaan memenuhi tuntutannya: memperbaiki kondisi buruh dan membatalkan PHK atas beberapa kawannya. Bila versi itu benar, sekali lagi bila itu benar, kita punya soal serius berkaitan dengan perlindungan hukum bagi para whistleblower: orang dalam yang membeberkan kepada publik perbuatan melawan hukum atau keadaan dan praktek yang merugikan atau mengancam masyarakat. Dalam praktek kejahatan kita sudah biasa mendengar istilah ''keterlibatan orang dalam'', pihak yang mengetahui seluk-beluk di dalam hingga memudahkan satu tindak kejahatan dilakukan. Sering pula orang dalam ini menyulitkan penyidikan. Sekarang, masyarakat makin kompleks, bentuk kejahatan apa pun sebutannya, white-collar crime atau corporate crime makin canggih, dengan tingkat ancaman bagi publik yang jauh lebih besar. Kita jelas sangat membutuhkan berbagai data atau informasi penting dari orang dalam, baik untuk kesaksian maupun pengungkapan atas suatu kasus. Kita butuh para whistleblower, entah ia seorang eksekutif, buruh biasa, konsultan, atau hanya pensiunan, dengan keberanian moral. Di negara lain, Amerika Serikat misalnya, tradisi mengefektifkan ''suara orang dalam'' itu juga baru berlangsung tahun 1970-an. Ini didorong oleh banyaknya kasus yang menyangkut kepentingan publik: keselamatan kerja buruh, pencemaran lingkungan, produk bermutu rendah dan berbahaya bagi konsumen, penyelewengan pajak dan korupsi, dan sebagainya. Pendeknya, setelah terbukti ketakmampuan industri dan pemerintah mengontrol (risiko) masyarakat berteknologi canggih dan pasar bebas. Ditambah oleh situasi yang sekaligus memacu bangkitnya para whistleblower ini, meningkatnya ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah AS akibat Skandal Watergate (1974). Ingat peran sang Deep Throat, seorang whistleblower yang sampai saat ini tak ketahuan jati dirinya itu, yang memasok data dan informasi kepada Bob Woodward dan Carl Bernstein, dua wartawan Washington Post, hingga skandal Richard Nixon itu terbongkar. Pada saat hampir bersamaan para pelopor whistleblower muncul di berbagai sektor. Di industri otomotif muncul Frank Camps, seorang insinyur, yang membeberkan cacat desain mobil Ford Pinto. Di industri nuklir, muncul Karen Silkwood, seorang teknisi instalasi McGee Plant, yang memberikan kesaksian terjadinya kontaminasi radioaktif. Yang paling populer di antaranya adalah Frank Serpico, seorang perwira polisi kota New York, yang tak tahan lagi atas praktek-praktek busuk korpsnya. Perlu ditekankan, keberanian orang-orang seperti Camps, Silkwood, Serpico seperti halnya yang dimiliki Marsinah berisiko tinggi. Silkwood harus membayar dengan kematiannya secara misterius akibat kecelakaan mobil dalam perjalanan mengantarkan bukti ke reporter The New York Times. Serpico harus cepat pensiun dan hidup di luar negeri dalam keadaan cacat (akibat tembakan agak misterius dalam sebuah tugas). Memang, keberanian saja tidaklah cukup, mereka juga butuh perlindungan hukum. Dengan makin banyaknya kasus sejenis itu, tahun 1978 Kongres Amerika mengundangkan Inspector General Act, yang memasukkan pembeberan kegiatan ilegal (di kalangan pemerintah), sebagai bagian dari pengawasan selain audit dan penyidikan. Salah satu pasalnya menjamin kerahasiaan pegawai yang bertindak sebagai whistleblower. Secara bertahap, di beberapa negara bagian, misalnya Michigan, dipertegas dengan Whistleblower Act. Di tingkat federal, perlindungan hukum ini masih menjadi bagian berbagai undang-undang, seperti di bidang lingkungan, pengendalian bahan berbahaya, atau kepegawaian. Whistleblower Protection Act, yang sebenarnya telah disetujui oleh Kongres dan Senat AS tahun 1988, diveto oleh Presiden Ronald Reagan. Masyarakat kita sudah makin terbuka. Tuntutan untuk membentuk berbagai komisi penyidik, tim verifikasi, tim pencari fakta, dan yang sejenisnya, untuk mengusut dan menuntaskan suatu kasus, akan makin banyak. Persoalannya tentu akan meluas, meliputi berbagai jenis kejahatan di atas. Tindakan-tindakan yang tak cuma berkaitan dengan perbuatan melawan hukum (criminal liability) saja, melainkan juga yang mengandung risiko bagi publik (strict liability). Mendorong lahirnya whistleblower di berbagai sektor di negeri kita saat ini sangatlah penting, sama pentingnya dengan melindunginya secara hukum. Kita patut belajar dari pengalaman negara lain seperti Amerika itu. Organisasi-organisasi public interest kita seperti halnya LBH, YLKI, Walhi sebaiknya memulai pula menangani persoalan ini. Last but not least, untuk membangkitkan dan mengefektifkan peran ''suara orang dalam'' itu kita membutuhkan orang-orang pers yang sigap dan cerdas. Tak usah malu-malu, apalagi takut, meniru Bob Woodward dan Carl Bernstein. Penulis bekerja di Public Interest Research and Advocacy Center (PI RAC), Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini