Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PIDATO Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Markas Besar Tentara Nasional Indonesia di Cilangkap, Rabu malam pekan lalu, mengecewakan banyak orang. Pidato yang ditunggu-tunggu masyarakat itu berusaha menjelaskan sikap pemerintah tentang hubungan Indonesia-Malaysia yang cenderung memanas.
Kekecewaan muncul di kalangan kelompok ”garis keras” yang menginginkan perang terbuka dengan Malaysia. Kelompok ini, yang tak kenal lelah berunjuk rasa sambil membakar bendera Malaysia, berharap SBY memekikkan komando perang terhadap negeri jiran itu. Harapan—atau perkiraan—bahwa SBY akan meneriakkan kata ”perang” makin berbunga karena tempat yang dipilih berpidato adalah markas tentara nasional—pusat dari seluruh mesin perang.
Ternyata tak ada perintah perang yang diserukan Presiden. SBY memilih jalan diplomasi seraya mengingatkan, kedua negara sama-sama punya ketergantungan. Ada dua juta tenaga kerja Indonesia di Malaysia, ada 13 ribu mahasiswa Indonesia belajar di Malaysia, lalu ada miliaran investasi Malaysia di negeri kita.
Kekecewaan juga muncul di kelompok yang ”berakal sehat”, yang memang tak menghendaki perang itu meletus. Sebagus-bagusnya perang, tetaplah lebih bagus memuliakan musyawarah. Selain menimbulkan kerusakan di kedua pihak, ongkos perang tak bisa dibilang sedikit. Menang jadi arang, kalah jadi abu.
Meski memilih cara diplomasi, seharusnya Presiden SBY bisa lebih tegas dalam menghadapi ulah Malaysia yang suka nyelonong ke wilayah Indonesia. SBY hanya meminta perundingan perbatasan segera dibuka. Tak ada perintah kepada prajurit TNI untuk menjaga perbatasan dengan lebih saksama, dan tak dijelaskan kepada rakyat sejauh mana peralatan TNI memadai dalam menjaga perbatasan. Itu yang membuat orang kecewa.
Semangat perang yang tiba-tiba muncul di berbagai kota lewat aksi unjuk rasa memang terasa aneh di era modern ini. Lebih terasa aneh jika semangat itu diprovokasi oleh tokoh-tokoh masyarakat, termasuk para politikus dan media massa. Bahkan ada media yang membandingkan kekuatan militer kedua negara, dari jumlah personel militer, mesin perang, sampai jumlah penduduk, yang berakhir dengan kesimpulan: kalau terjadi perang, Indonesia pasti menang.
Kemenangan macam apa yang mau diperoleh di atas korban bangsa serumpun? Masih banyak cara lain yang lebih bermartabat untuk meraih ”kemenangan” tanpa perang. Apalagi pangkal masalah sengketa masih belum jernih amat. Ada tuduhan dari Malaysia, ketiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ditahan polisi Malaysia itu melakukan pemerasan terhadap nelayan Malaysia. Ini perlu diselidiki lebih jauh. Jika perlu, menerjunkan tim independen. Membantah begitu saja tanpa penyelidikan sama saja dengan sikap Malaysia yang membantah kabar bahwa insiden itu terjadi di perairan Indonesia.
Semangat berperang menghadapi tetangga itu harus diredam, tentu tanpa perlu mengorbankan harga diri. Kasusnya tetap diselesaikan, tapi caranya yang bermartabat. Sementara perang tetap kita lanjutkan melawan para koruptor, jangan sampai koruptor memprovokasi kita untuk ”mengganyang Malaysia”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo