Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memulihkan kepercayaan publik merupakan tugas terberat Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia. Citra dua institusi penegak hukum itu sekarang di mata masyarakat sudah sedemikian "babak-belur".
Siapa pun yang kelak menggantikan Bambang Hendarso Danuri dan Hendarman Supandji, yang lengser sekitar Oktober nanti, mereka akan memikul tanggung jawab sangat berat. Keduanya akan memulai masa tugas lebih sulit daripada saat Bambang dan Hendarman mengawali masa jabatannya.
Bambang Hendarso tidak mulai dari titik nol. Fondasi cukup kukuh telah diletakkan pendahulunya, Jenderal Sutanto. Namun fondasi itu sekarang malah terkikis dan keropos. Hendarman Supandji kurang lebih demikian pula. Kinerja kejaksaan pada awal kepemimpinanya tidaklah buruk berkat kepemimpinan Abdul Rahman Saleh. Namun kinerja Gedung Bundar saat ini menjadi buah mulut orang banyak.
Harapan masyarakat akan kembali menyala apabila Kapolri dan Jaksa Agung baru mampu melakukan aneka gebrakan melawan kejahatan. Masyarakat mendambakan sosok Kapolri dan Jaksa Agung yang mampu memahami persoalan dengan cepat dan bertindak tegas. Kita wajib menolak tipe orang nomor satu di dua institusi itu yang tak memiliki komitmen tinggi untuk mengejar penilap uang negara.
Masyarakat mendambakan sosok kepala kepolisian seperti Hoegeng Iman Santoso, yang dikenal sangat bersahaja tapi prinsip dan tindakannya tak bisa ditawar-tawar. Kita perlu sosok yang tanpa pandang bulu menyikat habis musuh rakyat, misalnya pengusaha hitam. Indonesia butuh Jaksa Agung seperti Suprapto pada 1950-an, yang berani menyeret menteri-menteri kabinet dan orang kuat yang dekat dengan Presiden Soekarno.
Bisa dimengerti bila saat ini masyarakat pesimistis ada figur idaman untuk dua posisi penting jajaran penegak hukum itu. Maklum saja, tiga nama calon Kepala Kepolisian yang diajukan kepada Presiden-Komjen Nanan Soekarna, Irjen Timur Pradopo, Irjen Imam Sudjarwo-tidak memiliki rekam jejak yang cemerlang. Bahkan ada bagian-bagian perjalanan karier ketiga calon itu yang tak "terang-benderang". Sesungguhnya kepolisian perlu mengajukan lebih banyak calon.
Maka yang harus dipikirkan mendatang adalah amendemen Undang-Undang Kepolisian. Undang-Undang Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara Indonesia yang berlaku sekarang mengharuskan calon Kapolri berstatus perwira tinggi yang masih aktif. Amendemen harus memungkinkan Kapolri dijabat kalangan profesional yang kredibel.
Posisi Jaksa Agung juga demikian. Melihat prestasi kejaksaan yang semakin menurun, Presiden harus memperhatikan aspirasi rakyat bahwa Jaksa Agung bisa dijabat orang dari luar lingkungan kejaksaan. Posisi Jaksa Agung tidak mutlak harus diisi pejabat eselon satu kejaksaan seperti jaksa agung muda.
Sebetulnya undang-undang memberikan peluang untuk kalangan profesional. Jaksa Agung baru nanti bisa mulai melakukan perbaikan dengan merekrut tenaga ahli nonkarier menjadi jaksa agung muda. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16/2004, Jaksa Agung bisa mengangkat kalangan profesional untuk dua posisi, yakni Jaksa Agung Muda Pengawasan dan Pembinaan.
Untuk mengganyang kejahatan, terutama korupsi, Jaksa Agung harus melakukan pembenahan internal habis-habisan di korps adhyaksa itu. Amputasi korupsi tidak mudah dilaksanakan apabila seluruh jajaran kejaksaan tidak berpikir progresif. Trunojoyo dan Gedung Bundar tak bisa kita biarkan dikuasai mereka yang "lembek" terhadap kejahatan dan bermental koruptif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo