Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENDAHNYA penerimaan zakat bukan berarti harus ditingkatkan dengan cara picik mengamendemen perundang-undangan. Keputusan politik untuk mengubah seluruh Undang-Undang Zakat Nomor 38 Tahun 1999 yang selama ini diberlakukan niscaya akan mengandung banyak kelemahan. Bahkan upaya mengubah keyakinan yang normatif menjadi hukum positif dalam jangka panjang bisa berbahaya bagi kehidupan bernegara yang berasaskan Pancasila ini.
Pengukuhan kembali regulasi zakat seharusnya ditinjau kembali. Ini berarti semakin membuka celah bagi campur tangan negara atas sikap beragama yang seharusnya merupakan ranah privat setiap warga negara. Peluang cawe-cawe itu tampak jika dalam ketentuan baru nanti mengatur sanksi denda dan hukuman lainnya bagi setiap muzaki atawa pezakat yang dinilai enggan atau lalai menunaikan kewajibannya.
Jika peraturan ini lolos di Senayan, dampaknya bisa berabe. Bukan mustahil upaya paksa ini kelak bisa saja merembet ke urusan rukun Islam lainnya, semisal salat dan puasa. Logikanya, jika ada keprihatinan merosotnya umat dalam menunaikan salat rawatib, apakah lantas diperlukan payung hukum agar umat rajin salat? Kalau kaum muslimin kian bandel enak-enak makan di siang hari pada Ramadan, resepnya bukan lantas dibikin undang-undang Shiyam al-Ramadhan, misalnya.
Beda dengan urusan haji yang memang perlu diatur negara. Ini lantaran ibadah ke Tanah Suci itu berhubungan dengan negara lain dan seabrek urusan di luar negeri yang rumit, dari soal penerbangan, akomodasi, sampai katering. Spirit pengaturan ini tentunya untuk melindungi kepentingan jemaah haji dari ulah biro perjalanan yang nakal. Tindakan monopoli yang dilakukan negara melalui Kementerian Agama—sebagai regulator sekaligus operator haji—toh terbukti sangat rawan korupsi.
Minimnya perolehan zakat mestinya diatasi dengan penyadaran terus-menerus terhadap kaum muslimin yang berkecukupan akan pentingnya berbagi rezeki dengan fakir miskin. Mereka harus terus diyakinkan agar terketuk hati mereka sehingga zakat yang terkumpul mendekati angka ideal. Biarlah kalau negara kadung mengurusi pengumpulan dan pengelolaan zakat melalui Badan Amil Zakat Nasional dan badan amil zakat daerah. Seharusnya penyalur zakat pelat merah ini introspeksi mengapa para wajib zakat justru lebih senang menyetorkan dananya ke lembaga zakat partikelir, seperti lembaga milik Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan masjid-masjid.
Sungguh alasan keji dan tak masuk akal kalau masyarakat dituding sebagai biang kekacauan lantaran berebut mengelola zakat. Siapa yang berebut? Sudah jamak terdengar kalau badan zakat swasta kini justru berlomba-lomba menunjukkan profesionalismenya dalam mengelola zakat. Mereka tak melulu terkonsentrasi untuk tujuan konsumtif. Bahwa ternyata sejauh ini cara penyaluran lembaga swasta itu umumnya masih karitatif, maka menjadi tugas pemerintah mendidik mereka. Bukan malah menyetop iktikad baik itu melalui tindakan monopoli.
Negara cukup memfasilitasi pembentukan badan pengawas zakat yang mekanismenya mirip Bank Indonesia. Bank Indonesia tidak mengelola dana masyarakat. Bank-bank umumlah pengumpul dana publik itu. Dengan mekanisme yang sama, pengelolaan zakat hanya diserahkan kepada lembaga-lembaga amil zakat yang diinisiasi masyarakat. Adapun badan amil zakat pusat dan daerah melebur jadi badan pengawas zakat yang powerful. Tugasnya sebagai regulator (pengawas), pemberi akreditasi dan sanksi kepada lembaga-lembaga amil zakat nakal, tak transparan, serta tak punya program yang jelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo