Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan Mahkamah Konstitusi yang memperketat syarat bagi mantan narapidana menjadi calon kepala daerah layak diapresiasi. Melalui putusan ini, peluang koruptor untuk mengendalikan pemerintahan di daerah dipersempit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan uji materi atas Pasal 7 ayat 2 huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Permohonan itu diajukan oleh lembaga Indonesian Corruption Watch dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aturan mengenai syarat pencalonan kepala daerah yang dimuat dalam undang-undang tersebut terlalu longgar. Bekas terpidana korupsi pun secara mudah bisa menjadi calon kepala daerah tanpa masa jeda selepas menjalani hukuman. Syaratnya sederhana: hanya mengumumkan rekam jejaknya kepada publik.
Demi memperbaiki aturan itu, pemohon mengusulkan ketentuan: mantan napi harus menunggu sepuluh tahun setelah keluar dari penjara untuk bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Majelis hakim konstitusi memenuhi sebagian keinginan itu dengan waktu jeda lebih pendek, yakni lima tahun.
Formulasinya pun berubah karena tidak berlaku bagi semua bekas narapidana. Intinya, mantan napi dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun penjara tidak boleh langsung mencalonkan diri sebagai kepala daerah setelah keluar dari penjara. Ia harus menunggu selama lima tahun dan wajib pula mengumumkan rekam jejaknya. Aturan ini tidak berlaku bagi bekas narapidana politik dan kasus pidana karena kealpaan.
Putusan Mahkamah juga menciptakan norma baru yang mempersempit peluang tokoh yang tidak berintegritas. Aturan tambahan yang masuk dalam revisi hasil uji materi adalah melarang figur yang pernah melakukan kejahatan berulang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Di tengah maraknya kasus rasuah kepala daerah, upaya Mahkamah memperbaiki syarat pencalonan kepala daerah patut diacungi jempol. Sejak berdiri pada 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menangani 119 kasus korupsi kepala daerah dari 25 provinsi berbeda. Sedikitnya 81 kepala daerah tersangkut suap, termasuk Wali Kota Medan Tengku Dzulmi Eldin yang terjerat operasi tangkap tangan pertengahan Oktober lalu.
Pengetatan syarat calon kepala daerah ini juga mempermudah Komisi Pemilihan Umum membikin aturan yang lugas untuk menyelenggarakan pilkada serentak di 270 daerah pada tahun depan. Sebelumnya, lewat Peraturan Nomor 18 Tahun 2019, KPU hanya bisa mengimbau partai atau gabungan partai agar tidak mengusung bekas terpidana korupsi mengikuti seleksi bakal calon gubernur, bupati, ataupun wali kota.
Putusan Mahkamah Konstitusi harus segera menjadi rujukan semua pihak. KPU semestinya tidak sulit melaksanakan putusan MK karena norma baru itu telah dirumuskan secara detail dan gamblang. Lembaga peradilan seharusnya pula segera mengacu pada putusan MK dalam menangani gugatan kasus calon kepala daerah demi menciptakan kepastian hukum.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo