Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembenahan struktur birokrasi pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo jauh panggang dari api. Upaya penting untuk melakukan perbaikan agar roda pemerintahan berjalan efektif, seperti tertuang dalam Visi Indonesia, janji kampanye Jokowi-Ma’ruf Amin saat kampanye pemilihan presiden 2019, masih berjalan di tempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar pembubaran 18 lembaga yang disampaikan Jokowi pada awal pekan ini untuk menciptakan efisiensi sejatinya bukan hal baru. Sebelumnya, dalam rekaman sidang kabinet paripurna yang diunggah di YouTube akhir Juni lalu, dengan nada tinggi dia menyebutkan tak segan menghapus kementerian atau lembaga yang tidak satu irama dalam menangani krisis yang terjadi saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semestinya, jika pemerintah memang ingin melahirkan sistem birokrasi yang efektif dan efisien, langkah awal yang harus dilakukan adalah mengaudit kinerja kementerian dan lembaga negara. Hasil audit diumumkan secara terbuka dan langsung diambil langkah-langkah perbaikan sebagaimana mestinya.
Sepanjang periode pertama pemerintahannya, Jokowi memang telah membubarkan 23 lembaga. Namun upaya itu sia-sia karena pada saat bersamaan ada juga sejumlah lembaga baru yang dibentuk. Sebut saja penambahan posisi wakil menteri, Kantor Staf Presiden, dan staf khusus milenial. Ada juga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila atau BPIP, Komite Nasional Keuangan Syariah, serta Badan Siber dan Sandi Negara.
Baru-baru ini, Jokowi menunjuk Prabowo Subianto sebagai Panglima Ketahanan Pangan yang akan mengurusi Proyek Lumbung Pangan Nasional. Padahal selama ini sudah ada Menteri Pertanian yang berfokus pada urusan pertanian dan pangan. Belum lagi ada wacana mengangkat Wakil Panglima TNI hingga wacana Pembentukan Gugus Tugas Pemulihan Ekonomi. Artinya, struktur pemerintahan bukannya singset, melainkan malah makin gemuk.
Jika pembubaran lembaga murni dilakukan untuk mendorong efisiensi dan menciptakan reformasi birokrasi, selayaknya didasari oleh pemetaan masalah yang komprehensif. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi harus membuka rapor merah kementerian dan lembaga bermasalah. Begitu juga lembaga non-struktural yang belum efektif.
Birokrasi yang ramping dan efektif adalah modal besar pemerintah untuk memajukan roda pertumbuhan ekonomi. Ihwal persoalan ini, laporan Doing Business 2020 yang dirilis Bank Dunia pada pertengahan Oktober 2019 seharusnya menjadi perhatian. Lembaga itu menyebutkan tingkat kemudahan berbisnis atau ease of doing business, yang berhubungan langsung dengan jalur birokrasi di Indonesia, berada pada peringkat ke-73 dari 190 negara.
Temuan tersebut menandakan masih banyak pekerjaan rumah yang belum diselesaikan untuk mendorong perbaikan reformasi birokrasi di Tanah Air. Situasi yang memerlukan gerak cepat pemerintah, bukan lagi sekadar mengumbar janji.