Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
@mpujayaprema
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Punya ambisi itu boleh, tapi harus tahu diri. Petuah bijak ini lagi ramai diucapkan tatkala mulai terjadwal pemilihan kepala daerah serentak yang dilaksanakan tahun depan. Masih jauh, tapi mulai panas. Maklum, rakyat rupanya tak bosan dalam urusan politik memilih pemimpin ini. Sejumlah bupati dan wali kota harus dipilih pada 2020 nanti, termasuk di daerah saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada yang menggadang-gadang mantan direktur utama BUMN untuk menjadi calon bupati di daerah saya. Dianggap sukses. Pengalaman, wawasan, kepemimpinan, dan seterusnya sudah dipastikan lebih unggul dari calon yang tersedia. Apakah sang mantan direktur utama BUMN itu bakal sukses? "Tahu dirilah," sejumlah orang mencemooh. Apa yang harus diketahui? Ya, dirinya tak punya partai, tak punya cantelan ke pemimpin partai. Tak dikenal pula oleh rakyat pedesaan.
Syarat untuk menjadi bupati atau wali kota adalah dicalonkan oleh partai. Memang bisa calon perorangan alias independen, tapi sulit menang. Sebab, saat kampanye, kader partai di desa-desa akan berbuat habis-habisan untuk menggaet suara rakyat. Partai memang bisa mencalonkan yang bukan kader, tapi calon itu harus populer. Lebih bagus lagi, sudah populer, keluarga pejabat pula.
Fenomena ini yang memunculkan orang populer seperti Gibran Rakabuming diincar menjadi calon Wali Kota Solo. Maklum, ayahnya adalah Jokowi, presiden republik ini. Bobby Nasution dilirik Partai Golkar untuk menjadi calon Wali Kota Medan karena Jokowi adalah mertuanya. Siti Nur Azizah siap dicalonkan menjadi Wali Kota Tangerang Selatan karena ayahnya, Ma’ruf Amin, wakil presiden terpilih. Mereka sudah memiliki modal besar.
Jika ditarik ke level yang lebih tinggi, misalnya, dalam perebutan kursi kabinet, petinggi partai berlomba mencalonkan kadernya. Bahkan keluarga petinggi partai itu sendiri, meski memakai teknik orang lain yang menyampaikan. Di keluarga Megawati, ada Prananda Prabowo yang mau diorbitkan. Di keluarga Surya Paloh, ada anaknya, Prananda Paloh. Bahkan Ketua Umum Perindo Hari Tanoe memperkenalkan putrinya, Jessica Herliani. Semua partai koalisi pengusung Jokowi ramai-ramai menyodorkan kader. Sampai ada nada peringatan dari petinggi partai besar agar partai gurem, yang tak lolos ke parlemen, tahu diri untuk tidak mencalonkan menteri. Padahal, kalau semua tahu diri, Jokowi sebagai pemegang hak prerogatif tak perlu disodor-sodorkan nama.
Perlukah mengukur tahu diri itu? Gibran Rakabuming mungkin tahu diri bahwa dirinya tak punya pengalaman apa-apa menjadi pejabat publik. Dengan demikian, ketika dimintai tanggapan soal hasil survei di Solo itu, dia hanya menjawab plonga-plongo: "Lihat saja nanti." Begitu pula Bobby Nasution yang harus konsultasi dulu dengan keluarganya. Namun Siti Azizah menyatakan siap. Azizah rupanya tahu diri bahwa dia punya kemampuan karena selama ini sudah menjabat di Kementerian Agama, walau faktor ayahnya sangat penting.
Tak ada larangan seorang anak pejabat menjadi pejabat. Sudah ada bupati yang digantikan anaknya, bahkan oleh istrinya. Sistem dinasti sudah semakin subur di negeri ini. Bukan karena kita kekurangan calon pemimpin, melainkan perjalanan demokrasi kita baru sebatas itu. Partai politik sebagai pencetak pemimpin juga sudah dikelola dengan gaya dinasti. Kongres partai pun mengukuhkan itu.
Tinggallah kita berharap calon pemimpin itu tahu diri, apa mereka mampu menjalankan tugasnya. Lebih penting lagi masyarakat harusnya betul-betul tahu diri jika memilih pemimpin. Cobalah lirik-lirik kolam yang lain, jangan cari katak di kolam yang itu-itu saja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo