Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kerusakan di Polri hanya bisa diperbaiki dengan memisahkan lembaga itu dari kepentingan penguasa.
PDIP dan Jokowi turut menikmati ketidaknetralan polisi dalam pemilihan umum.
Sulit mengharapkan Presiden Prabowo Subianto mau mereformasi Polri agar lebih profesional.
KERUSAKAN institusi Kepolisian Republik Indonesia bisa diperbaiki jika semua anggotanya mau dan bisa lepas dari kepentingan penguasa. Selama hanya melayani kepentingan elite politik seperti yang terjadi sekarang, kepolisian tidak akan pernah menjadi lembaga profesional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keterlibatan polisi dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah 2024 menjadi alarm nyaring untuk perbaikan Korps Bhayangkara secara total. Keterlibatan polisi dalam pilkada 2024, seperti banyak temuan Tempo dan kini akan dilaporkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ke Mahkamah Konstitusi, menunjukkan sarkasme "Partai Cokelat" yang berkembang di publik bukan isapan jempol.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PDIP mengumpulkan sejumlah bukti keterlibatan polisi dalam pemilu dengan memakai hukum menakut-nakuti calon kepala daerah yang tak mendapat dukungan penguasa. Bukti lain keterlibatan polisi adalah mencegah logistik kampanye kandidat yang tak mereka dukung. Akibatnya, para kandidat itu kehilangan suara dan kalah dalam pemilu. Umumnya kandidat yang kalah tersebut adalah calon kepala daerah PDI Perjuangan, yang tak masuk koalisi pendukung Presiden Prabowo Subianto dan mantan presiden Joko Widodo.
Laporan PDIP itu bagus untuk membuktikan desas-desus yang selama ini menjadi temuan-temuan media. Jika Mahkamah Konstitusi menerima bukti-bukti tersebut, pengadilan terhadap cawe-cawe polisi dalam pemilu bisa menjadi titik awal mereformasi kepolisian. Otokritik terhadap polisi akan membuka jalan demokrasi Indonesia lebih mulus.
Masalahnya, PDIP bukan tanpa cacat dalam mengoreksi ketidaknetralan polisi, yang melanggar banyak undang-undang dan prinsip negara demokrasi. Selama sepuluh tahun pada masa kekuasaan Jokowi, PDIP juga menikmati cawe-cawe polisi dalam pemilihan umum. "Fasilitas" itu didapat PDIP sebelum elite-elitenya berseteru dengan Jokowi. Dengan kata lain, PDIP dan Jokowi menjadi aktor utama ketidaknetralan Polri dalam pemilu serta pilkada.
Pada 2015, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri ngotot menjadikan mantan ajudannya, Jenderal Budi Gunawan, sebagai Kepala Polri. Penetapan Budi sebagai tersangka pencucian uang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi memicu konflik antara Polri dan KPK. Jika seperti namanya yang mengusung kata demokrasi, PDIP semestinya tak akan memaksakan elitenya duduk di jabatan strategis karena bisa memicu konflik kepentingan.
Kemesraan PDIP dan polisi berakhir seiring dengan retaknya hubungan elite partai ini dengan Jokowi karena merekayasa hukum agar anaknya bisa menjadi wakil presiden. Namun, bukannya berpihak kepada kepentingan publik, elite polisi berada di belakang Jokowi sehingga ikut bersimpang jalan dengan PDIP.
Cawe-cawe polisi mendukung kandidat yang didukung Jokowi memungkinkan kemenangan Prabowo Subianto yang berpasangan dengan anak Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Di pelbagai wilayah, polisi menekan pengusaha, birokrat, dan kepala desa agar mendukung Prabowo-Gibran.
Dengan memainkan kasus-kasus pidana, polisi memakai hukum sebagai alat penekan bagi kandidat yang tak mereka dukung. Ucapan Jokowi yang tak malu menyatakan akan cawe-cawe dalam pemilihan presiden seolah-olah menjadi komando bagi polisi mengupayakan kemenangan kandidat yang didukungnya.
Meskipun berada di bawah presiden, mereka seharusnya tak menjadi alat penguasa menyokong kepentingan politik. Salah satu cita-cita Reformasi 1998 adalah menjadikan polisi profesional, bukan alat pemukul penguasa, atau pengusaha, dengan kewenangan menegakkan hukum pidana. Cita-cita itu ambyar di tangan Jokowi.
Orang paling bertanggung jawab membawa polisi menjadi pemain politik adalah Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Alih-alih mencegah penguasa memanfaatkan mereka dalam urusan politik, Listyo merayakannya secara terang-terangan. Polisi tak ubahnya alat pukul politik yang dipakai penguasa menggebuk lawan-lawan politiknya.
Namun mencopot Listyo Sigit pun bukan jalan memperbaiki institusi Polri. Reformasi Polri adalah melakukan perubahan menyeluruh dalam pengisian jabatan struktural, menghilangkan patron-patron, hingga menarik mereka menjauh dari urusan politik. Personel Polri juga tak boleh menduduki jabatan sipil karena membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan.
Harapan ini mungkin masih jauh. Dengan slogan keberlanjutan, Prabowo agaknya tak menghiraukan kerusakan institusi Polri yang dibuat oleh Jokowi. Sebab, ia juga menikmati cawe-cawe itu dengan memenangi pemilihan presiden. Dengan melihat politik akomodasi Prabowo terhadap pendukungnya, harapan polisi menjauh dari politik dan menjadikan mereka profesional seperti pungguk merindukan bulan. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo