Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalau tak ingin terus disudutkan khalayak ramai, polisi tidak punya pilihan selain mengusut tuntas aksi baku tembak di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, Sabtu pekan lalu. Terlebih satu anggota Polri jadi korban dalam insiden itu. Penyidikan yang lengkap, transparan, dan akuntabel akan mengembalikan kepercayaan publik pada integritas aparat penegak hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Brigadir Nopriansyah Josua Hutabarat—atau di media kerap disebut Brigadir J--tewas setelah baku tembak dengan rekannya, Bharada E. Korban adalah sopir dari istri Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Sedangkan pelaku adalah ajudan Kadiv Propam.
Berdasarkan rilis polisi, Brigadir J dituding hendak melakukan pelecehan seksual terhadap istri Ferdy, Putri Chandrawati. Dia juga disebut sempat menodongkan pistol ke kepala perempuan tengah baya itu. Sontak, istri Kadiv Propam itu berteriak meminta tolong. Brigadir J panik dan lekas keluar dari kamar. Mendengar keributan itu, Bharada E, yang ada di lantai atas, bergegas turun. Dari tangga yang jaraknya kurang-lebih 10 meter, Brigadir J melepaskan tembakan ke arah Bharada E. Saling tembak pun tak terelakkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Versi polisi soal kronologi kasus tewasnya Brigadir J tersebut menyisakan kejanggalan. Misalnya, kamera pengawas atau CCTV di rumah dinas itu mati sejak dua pekan lalu. Tujuh peluru yang ditembakkan Brigadir J tak satu pun melukai Bharada E. Adapun Bharada E dengan lima peluru mengakibatkan tujuh luka di tubuh Brigadir J. Ketika jasad Brigadir J dikirim ke keluarganya di Jambi, polisi melarang peti jenazah dibuka. Tapi keluarga berkukuh. Dari situlah terungkap kejanggalan luka-luka yang dialami korban. Keluarga juga menyebut ada luka sayatan.
Semua penjelasan polisi atas pertanyaan keluarga Brigadir J malah memicu kontroversi. Dari soal penanganan, keterangan atau rilis polisi yang dilakukan tiga hari setelah insiden, hingga penjelasan yang tidak jelas hubungan sebab-akibatnya. Jangan heran jika publik pun ragu akan kronologi insiden yang disampaikan Divisi Humas Polri.
Terlebih kasus ini terjadi di lingkungan polisi pengawas. Divisi Profesi dan Pengamanan--disingkat Divisi Propam--merupakan salah satu unsur pengawas internal Polri. Divisi ini punya dua tugas. Pertama, bertanggung jawab atas pembinaan profesi dan pengamanan internal Polri. Kedua, menegakkan disiplin Polri serta melayani pengaduan masyarakat ihwal adanya penyimpangan personel polisi. Polisi yang berada di divisi ini seyogianya adalah mereka yang mampu menjaga disiplin dan profesionalisme institusi.
Langkah Kapolri membentuk tim penyidik gabungan untuk mengusut tuntas penembakan Brigadir J patut diapresiasi. Namun tim gabungan yang dipimpin Wakil Kepala Polri Jenderal Gatot Eddy Pramono itu punya tugas berat di pundaknya. Pelibatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Kompolnas akan sia-sia belaka jika penanganan kasus ini tetap tidak transparan. Publik bisa makin skeptis. Jika polisi saja bisa diperlakukan semena-mena dan menjadi korban, bagaimana dengan warga biasa?
Slogan polisi selama ini adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Insiden penembakan Brigadir J jelas tak sesuai dengan semboyan itu. Untuk mengembalikan kepercayaan khalayak, semua pertanyaan publik harus dijawab dengan tuntas. Kredibilitas institusi Polri menjadi taruhan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo