Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah sekian lama terombang-ambing, secercah harapan dalam upaya menyelesaikan kasus plagiarisme disertasi doktoral Fathur Rokhman tak boleh disia-siakan. Hasil investigasi Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang memastikan bahwa disertasi Rektor Universitas Negeri Semarang itu jiplakan, mesti segera ditindaklanjuti.
Dengan temuan baru ini, Rektor Universitas Gadjah Mada (UGM) Panut Mulyono harus berani menindaklanjuti rekomendasi dewan kehormatan universitasnya dan menjatuhkan sanksi tegas buat Fathur. Apalagi, ketika kasus ini pertama kali diperiksa pada Maret 2020, Dewan Kehormatan UGM sudah menyatakan bahwa disertasi Fathur merupakan tindakan plagiat dan gelar doktornya harus dicopot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, alih-alih segera menjalankan rekomendasi, Rektor UGM ketika itu justru membentuk tim pakar untuk mengkaji ulang dugaan plagiarisme Fathur. Kita tahu bahwa kajian tim pakar ternyata bertolak belakang dengan rekomendasi Dewan Kehormatan. Berbekal kajian itu, Rektor UGM menutup kasus Fathur dan mempertahankan gelar doktornya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekarang kita tahu bahwa keputusan rektor tersebut keliru. Apalagi lembaga yang berwenang menentukan seseorang melakukan plagiarisme ataukah tidak bukanlah rektor ataupun tim pakar. Kewenangan itu ada di tangan dewan kehormatan guru besar. Rektor semestinya tinggal melaksanakan rekomendasi dewan kehormatan.
Dengan hasil investigasi Itjen Kementerian Pendidikan ini, tidak ada lagi alasan bagi Rektor UGM untuk melindungi Fathur. Gelar doktornya harus segera dicabut. Selain telah mencoreng nama UGM, ulah Fathur merupakan aib besar bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia. Seorang intelektual semestinya menjunjung tinggi etika akademis dalam menulis karya ilmiah, bukannya main comot karya ilmiah mahasiswanya.
Dugaan plagiarisme Fathur Rokhman sudah bergulir sejak Oktober 2018. Semua berawal dari laporan perihal kesamaan disertasinya dengan skripsi beberapa mahasiswa bimbingannya. Disertasi Fathur berjudul Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik di Banyumas pertama kali muncul pada 2003.
Kementerian Pendidikan juga tidak boleh tutup mata dan membiarkan hasil investigasi Itjennya menguap begitu saja. Dengan semua bukti yang ada, Menteri Nadiem Makarim sudah punya cukup alasan untuk mencopot Fathur dari kursi rektor. Selama seseorang yang terbukti melakukan kejahatan akademis tetap bercokol di pucuk pimpinan universitas, kredibilitas kampus dan semua intelektual di dalamnya pasti ikut tercoreng.
Rampungnya investigasi Itjen Kementerian Pendidikan soal plagiarisme Fathur harus menjadi momentum untuk "membersihkan" wajah kusam kampus kita. Sudah terlalu lama pemerintah bersikap masa bodoh ketika para petinggi kampus bertindak seenaknya, mengorbankan integritas intelektual demi meraup keuntungan finansial. Jika momentum ini lewat begitu saja, masa depan pendidikan kita bakal kian suram.*
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo