Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARI kita mulai dengan prasangka baik. Bahwa setelah lebih dari 30 tahun akhirnya pemerintah Singapura mau meneken perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Berlaku surut 15 tahun, perjanjian ini punya konsekuensi penting: penjahat Indonesia yang selama ini kabur ke Singapura wajib dikembalikan ke Tanah Air. Begitu pula sebaliknya.
Sebelumnya Singapura selalu ogah-ogahan. Mereka beralasan kedua negara memiliki sistem hukum yang berbeda: Singapura menggunakan Anglo Saxon, Indonesia memakai sistem kontinental. Argumen ini sebetulnya gampang dibantah. Wong dengan Hong Kong dan Inggris yang juga menggunakan sistem Anglo Saxon kita punya perjanjian ekstradisi, mengapa dengan Singapura tidak?
Tapi okelah. Sekarang toh Singapura sudah melunak. Dan seperti kata orang Melayu, nasi tak tersaji di lutut—perlu kerja keras untuk ”memaksa” Negeri Singa bersikap kooperatif. Karenanya kepada diplomat-diplomat kita, ucapan selamat patut diberikan.
Tapi mari pula tak terlalu gempita menyambut kesepakatan ini. Soalnya, harapan agar para penjahat ekonomi—perampok bank dan obligor kakap bantuan likuiditas Bank Indonesia—dapat dipaksa pulang berikut isi brankasnya tak serta-merta bisa kesampaian.
Sekadar mengingatkan: harta kita yang kabur ke Singapura bukan sedikit. Survei Meryll Lynch & Capgemini tahun lalu menunjukkan satu dari tiga orang superkaya di Singapura berasal dari Indonesia. Total duit orang Indonesia yang diparkir di sana sekitar US$ 87 miliar atau setara dengan Rp 783 triliun—bahkan lebih tinggi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun ini yang berjumlah Rp 763 triliun.
Selain harus menunggu ratifikasi legislatif kedua negara—yang bisa memakan waktu tak sebentar—seorang Indonesia yang hendak diekstradisi harus memenuhi beberapa syarat. Mereka, misalnya, harus berstatus terpidana, terdakwa, atau setidaknya tersangka. Artinya, proses hukum di Tanah Air minimal sudah sampai pada tahap penyidikan. Selain itu, pemerintah Singapura telah pula menggelar sidang untuk memastikan orang yang bersangkutan memang bersalah. Kedua proses itu tentu saja akan memakan waktu.
Hendra Rahardja, pengemplang bantuan likuiditas Bank Indonesia, adalah contoh tak sederhananya proses mengembalikan penjahat yang kabur ke luar negeri. Sebelum bisa ditarik pulang, Hendra harus dipastikan bersalah oleh pengadilan di Negeri Kanguru. Proses itu tak selesai hingga akhirnya Hendra meninggal.
Di dalam negeri, persoalan juga tak kalah ruwetnya. Soalnya, lain rezim, lain kebijakan. Ada buron yang pengusutan kasusnya dihentikan karena oleh pemerintah dinyatakan kooperatif. Ada pula obligor kakap yang tak dapat disidangkan secara in absentia karena di dalam negeri diketahui ia tak memiliki aset. Kongkalikong di pengadilan telah jadi rahasia umum.
Agus Anwar yang berutang lebih dari Rp 3,2 triliun kepada pemerintah kini asoi geboi tinggal di Singapura. Saat ini Agus tinggal di apartemen di kawasan Admore Park yang mentereng, dan leluasa menggerakkan semua bisnisnya. Mereka yang merasa terancam diperkirakan akan mencari negara lain yang ”aman” setelah Indonesia-Singapura meneken kesepakatan ekstradisi ini.
Tapi mari kita berprasangka baik. Paling tidak perjanjian ini akan membuat aparat hukum kita akan lebih serius memburu tangkapan mereka. Maling-maling baru diharapkan tak lagi minggat ke Singapura setelah membuat dosa di dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo