Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pascapeluncuran Merdeka Belajar Episode 26 dengan tajuk “Tranformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi” pada 29 Agustus 2023 lalu, sivitas akademika ramai dengan pernyataan Nadiem Makarim. Pasalnya Mendikbudristek tersebut menyampaikan bahwa tugas akhir mahasiswa pada setiap jenjang, baik Strata 1 (S1), Strata 2 (S2), dan Strata 3 (S3) tidak hanya skripsi, tesis, dan disertasi saja tetapi bisa berbentuk prototipe, proyek, dan bentuk lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan Mendikbudristek ini didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023 (Permendikbudristek No. 53/2023) tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang ditetapkan pada 16 Agustus 2023 lalu, khususnya pada Pasal 18 ayat 9, pasal 19 ayat 2, dan pasal 20 ayat 3. Namun demikian jauh sebelum hadirnya Permendikbudristek No. 53/2023, khususnya pasal dan ayat yang mengatur mengenai tugas akhir studi mahasiswa, sudah ada beberapa perguruan tinggi di Indonesia yang menerapkan pilihan tugas akhir studi mahasiswa selain skripsi, tesis, dan disertasi sesuai dengan keragaman profil lulusan dan karakteristik program studi. Misalnya saja seperti beberapa program studi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sudah ada yang menerapkan pilihan tugas akhir studi untuk mahasiswanya selain jalur skripsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu juga, Permendikbudristek tentang jalur skripsi hanya pilihan sudah pernah diwacanakan di zaman Menristekdikti, Prof. Moh. Nasir pada Mei 2015. Jadi peraturan dalam soal skripsi hanya pilihan dalam penyelesaian tugas akhir studi bukanlah hal yang baru. Namun melalui Permendikbudristek ini, tentu menjadi payung hukum mengenai pilihan bagi mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir studinya. Sehingga disini tercermin hadirnya fleksibilitas dan demokratisasi pendidikan bagi mahasiswa.
Akan tetapi, Permendikbudristek yang baru diterbitkan ini tentu belum tersosialisasi secara maksimal di setiap perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini terimplikasi dengan masih berlakunya kewajiban penulisan tugas akhir berupa skripsi, tesis, dan disertasi pada kebijakan perguruan tinggi di Indonesia pada umumnya. Selain itu juga proses penyusunan kebijakan baru sesuai Permendikbudristek pada setiap perguruan tinggi tentu memerlukan proses tahapan secara regulatif dan prosedural agar setiap perguruan tinggi dapat menerjemahkan aturan baru ini dengan baik. Sehingga nantinya dalam pengelolaan dan penyelenggaraannya berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadi tidak bisa tergesa-gesa untuk menerapkan kebijakan tersebut pada level di perguruan tinggi, dalam hal ini terbitnya kebijakan penjaminan mutu sesuai Permendikbudristek yang memuat salah satunya mengenai pilihan bentuk tugas akhir studi mahasiswa dalam bentuk Surat Keputusan Rektor.
Secara umum, perguruan tinggi merupakan lembaga tinggi pendidikan dan penelitian yang memberikan gelar akademik dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan melahirkan para sarjana, magister dan doktor. Untuk setiap mahasiswa yang akan meraih gelar akademiknya, disyaratkan menyelesaikan tugas akhir yang diantaranya berupa skripsi, tesis, dan disertasi selama ini.
Adanya syarat skripsi, tesis, dan disertasi ini diantaranya bermula dari sejarah panjang berkembangnya perguruan tinggi di dunia, khususnya di Eropa. Pada abad pertengahan di Eropa, bagi para pekerja yang menginginkan dirinya dapat menjadi anggota dari sebuah asosiasi pekerja. Maka ia diwajibkan untuk membuktikan kemampuan dan keahliannya dengan membuat suatu mahakarya. Mahakarya yang dibuat oleh pekerja tersebut kemudian diuji oleh para pengurus asosiasi pekerja. Jika setelah diuji hasil mahakaryanya layak sesuai standar nilai yang ditentukan, maka pekerja tersebut diberi gelar “Ahli” dalam bidangnya dan dapat diterima menjadi bagian dari asosiasi pekerja. Pola membuat mahakarya pada anggota asosiasi pekerja ini yang kemudian menjadi salah satu dasar diadopsinya syarat bagi seseorang yang ingin memperoleh gelar sarjana, master atau doktor pada proses pendidikan di perguruan tinggi untuk membuat tugas akhir sebagai mahakarya.
Namun seiring perkembangan perguruan tinggi, tugas akhir berupa skripsi, atau tesis, atau disertasi tidak lagi menjadi syarat wajib kelulusan mahasiswa pada proses studinya. Misalnya saja seperti perguruan tinggi di Australia yang umumnya tidak mengenal istilah skripsi, tesis maupun penelitian. Pada proses studi mahasiswa perguruan tinggi di Australia, mereka dianggap lulus jika sudah menyelesaikan semua mata kuliah dengan jumlah SKS tertentu. Lalu perguruan tinggi di Jerman, ada beberapa perguruan tingginya yang mengharuskan menjalani skripsi dan ada juga yang tidak.
Sementara perguruan tinggi di Amerika Serikat, mahasiswa dapat memilih 3 pilihan pada tugas akhir studinya, yaitu ujian skripsi atau tesis atau disertasi, professional project dan atau ujian komprehensif yang biasanya berbentuk tulisan. Pola pilihan tugas akhir studi mahasiswa yang termaktub dalam Permendikbudristek yang baru ini tidak berbeda jauh dengan sistem yang diterapkan oleh perguruan tinggi di Amerika Serikat. Edward Janak (2019) dalam bukunya yang berjudul “A Brief History of Schooling in the United States: From Pre-Colonial Times to the Present” menjelaskan bahwa pola pendidikan di Amerika Serikat berorientasi pada perkembangan individu, pengembangan karakter, praktis, autentik, dan fleksibel. Pada pemilihan beragam tugas akhir studi mahasiswa ini dapat dinyatakan sebuah bagian dari fleksibilitas.
Tantangan Mutu Perguruan Tinggi di Indonesia
Terkait dengan terbitnya Permendikbudristek No. 53/2023, khususnya mengenai bentuk tugas akhir studi mahasiswa. Menurut hemat penulis, hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan dan penyelenggaraan amanah dari aturan tersebut, yaitu:
Pertama, aturan ini merupakan bagian dari pengejawantahan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Sebagaimana diketahui bahwa tujuan dari MBKM, yakni meningkatkan kompetensi lulusan, baik soft skills maupun hard skills, agar lebih siap dan relevan dengan kebutuhan zaman, menyiapkan lulusan sebagai pemimpin masa depan bangsa yang unggul dan berkepribadian. Program-program experiential learning dengan jalur yang fleksibel diharapkan akan dapat memfasilitasi mahasiswa mengembangkan potensinya sesuai dengan passion dan bakatnya, dalam hal ini salah satunya pilihan bentuk tugas akhir studi yang akan dibuat oleh mahasiswa. Dengan kata lain, semangat dari pilihan bentuk tugas akhir studi mahasiswa merupakan fleksibilitas pendidikan dan demokratis sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu juga peran Kemdikbudristek pasca terbitnya aturan ini untuk selalu mendampingi dan memfasilitasi peningkatan kualitas SDM pada perguruan tinggi agar tercapai jaminan mutu yang diharapkan.
Kedua, relevansi sosiologis, relevansi epistemologis, dan relevansi psikologis pada pilihan bentuk tugas akhir studi mahasiswa. Pada relevansi sosiologis, proses pilihan bentuk tugas akhir studi mahasiswa hendaklah disesuaikan dengan kondisi karakter dan kelas sosial mahasiswa. Sehingga tugas akhir tidak memberatkan proses penyelesaian studi. Lalu relevansi epistemologis, proses pilihan bentuk tugas akhir studi mahasiswa harus sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang berkembang. Sementara relevansi psikologis berkaitan dengan tugas akhir dari mahasiswa harus mampu meningkatkan ketrampilannya dalam bidang pekerjaan tertentu sesuai dengan profil lulusan dan karakteristik program studi.
Pada konteks ini, peran koordinator maupun dosen program studi sangat penting untuk memberikan saran kepada mahasiswa bentuk tugas akhir apa yang sesuai untuk dipilihnya. Hal ini juga termasuk proses bimbingan dosen kepada mahasiswanya tetap berlaku terlepas dari apa pun bentuk tugas akhir yang dipilih oleh mahasiswa. Sebab selain menyampaikan materi perkuliahan, membimbing tugas akhir studi mahasiswa juga bagian dari tanggungjawab dan moral akademik seorang dosen.
Selain itu jangan sampai karena “enggan” atau “malas” membimbing tugas akhir mahasiswa, seorang dosen kemudian mengarahkan mahasiswa untuk memilih yang lebih mudah dan tidak memberatkan tugas dosen. Jadi prinsipnya, mahasiswa memilih menentukan bentuk tugas akhir studinya sesuai relevansi yang ada, dan dosen tetap membimbing mahasiswa sampai selesai studinya. Jika peran intervensi dosen sangat besar untuk mengendalikan bentuk tugas akhir apa yang dipilih oleh mahasiswa, ini sama saja feodalisme pendidikan yang tidak fleksibel dan demokratis.
Ketiga, perlu adanya standar evaluasi penilaian yang sesuai dengan masing – masing bentuk tugas akhir yang diberlakukan oleh program studi untuk tetap menjaga kualitas standar kompetensi lulusannya. Misalnya, indikator dan bobot penilaian skripsi akan berbeda dengan indikator dan bobot penilaian prototipe, proyek, dan atau bentuk lainnya namun tetap mengacu pada standar kompetensi lulusan. Untuk itu, saat ini tidak bisa tergesa-gesa untuk langsung menerapkan kebijakan aturan tersebut. Sebab perlu tahapan dari level kementerian, universitas, dan kemudian level program studi, serta perumusan berbagai instrumen prosedural dan evaluasi atas kebijakan ini.
Keempat, melalui Permendikbudristek No. 53/2023 khususnya mengenai bentuk tugas akhir studi mahasiswa mendorong program studi menyesuaikan struktur kurikulumnya dan termasuk kompetensi dosennya. Hal ini penting agar semangat dari Permendikbudristek ini juga terakomodasi dan teradaptasi pada mekanisme pembelajaran mahasiswa pada program studi. Jangan sampai ibarat software handphone di upgrade namun hardware serta brainware handphone-nya tidak kompatibel. Hal ini tentu akan berimplikasi terjadi malpraktik pendidikan.
Berdasarkan penjelasan di atas, sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Dunia pendidikan Indonesia pun turut bertransformasi. Maka untuk itu, di zaman saat ini orientasi pendidikan selain membentuk karakter dan keadaban juga mengarahkan setiap individu untuk mengaktualisasi kemampuan diri dan pemikirannya sesuai perkembangan yang ada. Untuk itu aturan mengenai penjaminan mutu pendidikan tinggi ini menjadi pedoman dan sekaligus tantangan bagi perguruan tinggi untuk terus beradaptasi meningkatkan kompetensi para pendidiknya dalam rangka mencapai kualitas standar kompetensi lulusan. Pendidikan tinggi tidak akan bermutu tanpa komitmen warga kampus dan terkhusus dosen dalam harmonisasi tridarma perguruan tinggi. Cerdas dan kritis saja tidak cukup, namun perlu empati dan kolaborasi warga kampus dalam membangun mutu pendidikan tinggi.