Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BURUH dan investor adalah dua sisi berlawanan dari keping pembangunan ekonomi. Kendati berseberangan, kedua pihak ini saling membutuhkan, karena yang satu tak mungkin hadir tanpa yang lain. Persoalan yang harus dipecahkan adalah bagaimana membuat keduanya berdampingan dan merasa sama-sama diuntungkan.
Persoalan ini yang sekarang bergayut di bahu Presiden Susilo Bambang Yu-dhoyono. Mulanya para pengusaha r-a-mai mengeluhkan peraturan tenaga kerja di Indonesia yang katanya membuat ne-geri ini tak menarik di mata in-ves-tor. Keluh-an itu pun segera ditanggapi pemerintah, dan Departemen Transmigrasi dan Tenaga Kerja pun sibuk membuat rancangan revisi Undang-Undang Ketenaga-kerjaan.
Tanggapnya pemerintah atas kel-uhan ini sudah benar. Sebab, tanpa masuknya investasi, pertumbuhan ekonomi akan mandek, penyerap-an tenaga kerja baru terhenti, dan tingkat pengangguran pun akan melambung. Namun, sayangnya, cara me-revisi ku-rang pas sehingga di mata buruh upaya ini terkesan menjadi ancaman. Walhasil, ribuan buruh turun ke jalan untuk menentangnya.
Penentangan buruh ini juga ada benarnya. Upaya penghapusan hak pesangon untuk buruh yang upahnya di atas Rp 1,1 juta sebulan, misalnya, jelas sangat merugikan kaum pekerja. Namun, jika ketentuan besarnya pesangon yang akan direvisi, seharusnya hal itu dapat dirundingkan, karena dapat dibandingkan dengan yang berlaku di negara lain, terutama yang menjadi pesaing Indonesia.
Perbandingan ini pun harus dilakukan secara total dan tak semata pada besaran upah. Soalnya, di beberapa ne-gara mungkin pesangonnya lebih kecil namun pemerintahnya memberikan tunjangan bagi para penganggur. Di Swe-dia, misalnya, tak ada pesangon tapi jaminan kesehatan dan pendidikan diberikan oleh pemerintah nyaris secara cuma-cuma. Para penganggur juga tak perlu khawatir kelaparan selama masa pencarian kerja baru, karena pemerintah memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar.
Di Indonesia keadaan justru sebaliknya. Hampir tak ada dana dari pemerintah untuk membantu kaum miskin dan penganggur. Akibatnya, tunjangan kepada yang terkena pemutusan hubungan kerja dibebankan ke perusaha-an dalam bentuk pesangon. Ini mungkin tak jadi soal jika perusahaan sedang untung besar, tapi menjadi beban yang tak tertahankan pada masa sulit. Karena siklus untung dan rugi merupakan keniscayaan dalam kegiatan niaga, kebijakan pemerintah se-perti ini membuat ekonomi sulit bangkit kembali setelah tersungkur karena gempuran persaingan global.
Dalam kerangka berpikir sepe-rti ini, jelaslah terlihat bahwa seng-keta anta-ra buruh dan investor tak dapat disele-sai-kan hanya dengan mem-bawa ke-dua pihak ke meja perundingan. Pada akhir-nya pemerintah harus menjalan-kan fungsi seperti sistem peredam kejut pada kendaraan yang melaju di atas jalan bergelombang. Gonjang-ganjing perekonomian dunia yang dahsyat sepatutnya diserap pemerintah, sehingga gejolak yang terjadi masih berada dalam batas aman. Sebagian pendapat-an pajak perusahaan yang diraih ketika ekonomi melambung tinggi perlu disimpan untuk membantu kaum miskin dan penganggur tatkala ekonomi sedang ambruk. Dengan demikian, pada masa sulit para pengusaha dapat melakukan berbagai upaya perampingan dan efisiensi tanpa mengakibatkan guncangan sosial ekonomi yang berlebihan.
Harus diakui, upaya seperti ini tentu butuh ongkos. Tapi keuntungan yang diraih dari upaya stabilisasi seperti ini bia-sanya jauh lebih tinggi ketimbang biaya yang dikeluar-kan. Buktinya, pemerintah bersedia menganggarkan belasan tri-liun rupiah setiap tahun untuk menjaga stabilitas moneter. Jika pemerintah rela membelanjakan begitu banyak uang yang sebagian besar bermuara menjadi keuntungan para pemilik bank dan pemegang deposito atau surat berharga lainnya, mengapa tak disediakan juga dana stabilisasi untuk menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi nasional?
Pilihan ini seharusnya diambil Presiden Yudhoyono un-tuk menyelesaikan kemelut buruh versus pengusaha. Pe-merintah tak boleh lepas tangan dan berdalih bahwa mekanisme pasar bebas akan menghasilkan solusi terbaik. Se-bab, ini berarti pemerintah sama tak bertanggungja-wabnya seperti Kapten Lemuel Gulliver dalam lakon klasik karya Jonathan Swift pada awal abad ke-18. Gulliver yang tiba-tiba terkait dengan perseteruan bangsa Liliput lawan puak Blefuscu itu ternyata lebih tertarik melarikan diri ketimbang mendamaikan mereka.
Kita harus yakin bahwa Presiden Yudhoyono jauh lebih baik ketimbang Gulliver.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo