SEMAKIN dekat penyelenggaraan KTT ASEAN di Manila, semakin gencar suara-suara itu dikumandangkan. Berbagai forum pertemuan di Bangkok, Singapura, Kota Kinabalu, Tokyo, dan Manila akhir-akhir ini membahas peran pangkalan Amerika di Filipina. Pembahasan dalam setiap pertemuan itu berkisar pada tiga masalah pokok. Pertama, keamanan dan kemakmuran negara-negara nonkomunis di Asia Pasifik selama 20 tahun terakhir adalah "berkat payung nuklir dan konvensional Amerika, yang salah satu tonggaknya adalah pangkalan Amerika di Filipina". Kedua, ancaman kekuatan militer Soviet, terutama kekuatan angkatan laut armada Pasifik, akan mengganggu stabilitas keamanan dan kesinambungan pembangunan ekonomi yang selama ini "dinikmati berkat strategi penangkalan Amerika". Ketiga, gagasan yang mengikhtiarkan ketahanan regional "tidak realistis, terlalu idealis bahkan utopis" karena "tak ada alternatif lain kecuali menyandarkan diri pada kekuatan militer Amerika". Lagi pula, jika bukan Soviet yang masuk mengisi kekosongan kekuatan itu, tak ayal lagi RRC dan Jepang akan masuk ke Asia Tenggara, "suatu hal yang tak diinginkan oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara". Dengan kata lain, suara-suara itu meragukan manfaat dan kelayakan konsep-konsep dasar ASEAN yang telah dicapai dalam Deklarasi Bangkok (Agustus 1967), Deklarasi Kuala Lumpur (November 1971), dan Deklarasi Bali (Februari 1976). Kita, di Indonesia, patut menghadapi suara-suara sumbang itu, dengan keyakinan bahwa mata rantai yang mempersatukan ketiga deklarsi ASEAN di masa lampau justru makin perlu diperjuangkan akibat perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini. Keamanan dan kemakmuran negara-negara nonkomunis di kawasan Pasifik tidak serta-merta langsung dikaitkan dengan adanya payung nuklir-konvensional Amerika. Pertumbuhan ekonomi Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan negara-negara ASEAN lebih banyak disebabkan kemajuan bangsa masing-masing berkat kerja keras ekonomi tiap-tiap negara ketimbang menyandarkan diri pada kekuatan nuklir-konvensional Amerika. Lagi pula, manfaat itu tidak dinikmati secara sepihak oleh negara-negara Asia Pasifik yang berdagang dengan Amerika. Amerika juga mendapat keuntungan dengan menginvestasikan dana US$ 30 milyar lebih di kawasan Pasifik. Yang perlu diyakinkan kepada Amerika bahwa pola Pax Americana makin berkurang secara militer, meskipun secara keseluruhan keunggulan strategis Amerika di kawasan ini tidak terancam. Konsep-konsep ketahanan nasional dan ketahanan regional seharusnya diterima Amerika sebagai alternatif yang lebih murah, lebih kukuh, dan lebih langgeng menjamin kepentingan strategis Amerika tanpa mengandalkan pangkalan militer sebagai "tonggak utama" strategi militer. Menegaskan kembali ketergantungan negara Asia-Pasifik pada kekuatan militer Amerika, sebagaimana dilakukan golongan konservatif di Kongres Amerika, secara ironis mendudukkan argumen mereka sejajar dengan argumen golongan neo-Marxis tentang peran komprador-komprador Asia sebagai kaki tangan imperialisme Amerika. Sama-sama keblinger, dan sama-sama simplistis. Sebesar-besarnya peningkatan kekuatan angkatan laut Uni Soviet, secara keseluruhan kekuatan itu masih jauh di bawah kemampuan efektif Armada VII Amerika. Panglima militer Amerika di Pasifik menegaskan hal itu dalam pertemuan bilateral Indonesia-Amerika di Bali, akhir 1985. Tapi, di kamar dagang Amerika di Manila, baru-baru ini panglima yang sama mengulang propaganda tentang "ancaman Soviet". Begitu besarkah perubahan kekuatan laut Soviet di kawasan Pasifik? Ataukah ada dorongan-dorongan lain sehingga evaluasi mengenai ancaman Soviet itu harus diubah oleh staf pengkajian sang panglima? Dalam KTT ASEAN di Manila nanti, kita harus waspada terhadap kemungkinan beredarnya "laporan kajian militer mutakhir" yang mengulang lagi "bahaya Soviet" di Asia-Pasifik. Bagaimanapun juga, banyak kalangan di Bangkok, Singapura, dan Manila cenderung menelan begitu saja evaluasi sepihak tentang bahaya itu. Belum lagi uraian-uraian skenario suram mengenai perimbangan kekuatan yang berubah drastis apabila kekuatan militer RRC dan Jepang mulai bicara. Masuk akal kalau laporan, evaluasi, dan skenario suram semakin gencar beredar menjelang KTT Manila. Karena itu, kita harus siap dengan pemikiran dan kebijaksanaan lebih terinci tentang tantangan strategis yang dihadapi ASEAN. Kalau tidak, KTT Manila pada akhirnya hanya menegaskan kembali betapa bergantungnya bangsa-bangsa Asia Tenggara pada kemurahan hati dan belas kasihan Amerika-Jepang. Pertemuan puncak Reagan-Gorbachev di Washington, 7 sampai 10 Desember, diharapkan mencapai kata sepakat mengenai penyelesaian beberapa krisis regional (Amerika Tengah, Timur Tengah, Afrika bagian selatan, Asia Selatan, dan Asia Tenggara). Selisih waktu antara usai KTT Washington dan pembukaan KTT Manila hanya empat hari. Tapi cukup untuk mempertahankan gagasan dasar menuju langkah-langkah kongkret pengisian ketahanan nasional dan ketahanan regional. Inilah tantangan strategis ASEAN, dan sekaligus kesempatan untuk membuktikan bahwa deklarasi ASEAN 1967, 1971, dan 1976 tetap relevan dan realistis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini