APA yang terjadi di Timor Timur memerlukan waktu panjang untuk dicerna, tetapi mendesak untuk diberi keputusan. PBB akan mengirim sebuah komisi penyidik internasional sehubungan dengan tuduhan adanya pelanggaran hak asasi manusia di wilayah itu. Resolusi Dewan Keamanan PBB bahkan menyebut perlunya mereka yang diduga melakukan pelanggaran hak asasi dimajukan ke pengadilan. Jawaban pihak Indonesia negatif. Di Jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia cenderung lebih mengandalkan komisi pencari fakta yang akan dibentuknya sendiri. Ketua Komisi Nasional, Marzuki Darusman, yakin bahwa pemerintah Indonesia, termasuk TNI, akan mendukung kerja komisi pencari fakta itu.
Reputasi Komisi Nasional dalam pelbagai hal cukup baik. Tetapi dalam soal Timor Timur, nanti dulu. Lebih baik bila Marzuki Darusman dan timnya mendukung rencana PBB. Pemerintah Indonesia juga sebenarnya tidak perlu khawatir.
Beberapa waktu yang belum lama, cerita dari Timor Timur setelah referendum begitu mengerikan, dan nama Indonesia jatuh ke lumpur. Sebagian tentu karena kesalahan sendiri. Kekejaman militer terhadap rakyat Timor Timur bukan barang baru. Peristiwa pembunuhan di Dili pada 1992 terungkap ke mata dunia karena ada seorang asing yang merekam kejadian itu. Belum lagi peristiwa kekejaman yang tak direkam dan disiarkan. Bagaimana persisnya tindakan itu dilakukan, dan siapa yang bertanggung jawab dan harus dihukum, tidak pernah tuntas.
Ada kesan kuat bahwa hanya untuk melindungi nama sejumlah prajurit ABRI (apa pun pangkatnya), seluruh Indonesia—nama baiknya dan persatuannya—dikorbankan dan telanjur rusak. Kini, bagaimana mungkin diharapkan bahwa dunia akan percaya kepada versi Indonesia tentang kekerasan di Timor Timur setelah referendum? Datangnya komisi penyelidik PBB tak bisa dielakkan. Jika memang Indonesia merasa tak bersalah, komisi itu justru perlu disambut. Tentu saja dengan syarat: para anggota komisi itu tidak datang dari negeri yang opini publiknya, seperti di Australia kini, secara luas menghukum Indonesia.
Keterbukaan kepada komisi internasional itu bisa menguntungkan, sebagaimana keterbukaan kepada media asing. Tentu, tak semua media asing bersih dari kepicikan—sebagaimana juga beberapa media Indonesia sendiri tentang Timor Timur—dan jatuh jadi alat propaganda. Tetapi beberapa laporan wartawan yang datang bersama Interfet akhir-akhir ini justru menunjukkan betapa meragukannya tuduhan (terhadap Indonesia dan milisia) yang sebelumnya dikumandangkan.
Koran Amerika terkemuka, The Washington Post, koran Inggris terkenal, The Guardian, juga sebuah harian Irlandia melaporkan bahwa ternyata tak cukup bukti telah terjadi pembantaian massal di sana. Padahal, dalam wawancara dengan CBC News Online, 13 September yang lalu, Noam Chomsky, cendekiawan termasyhur yang berjasa menarik perhatian dunia tentang nasib orang Timor Timur, mengutip angka "10 ribu orang terbunuh" semenjak bulan September.
Pelanggaran hak asasi manusia, terutama pembunuhan karena perbedaan politik, adalah soal yang terlampau serius untuk dilebih-lebihkan atau ditutup-tutupi. Sebuah komisi yang tepercaya diperlukan—juga oleh Indonesia sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini