Definisi reformasi politik makin jelas: hapuskan dwifungsi TNI/ABRI. Ada banyak cara menyatakannya. Ada yang menuntut agar kekerasan bersenjata segera dihentikan, atau yang meminta supremasi sipil ditegakkan. Dari dalam negeri, mahasiswa mutlak menghendaki hal itu. Yang dari luar, seperti Menteri Pertahanan Amerika Serikat William Cohen, dengan terang dan lantang meminta pada Habibie dan Wiranto agar militer bersedia bekerja di bawah kendali sipil. Kalau tidak, masyarakat internasional akan sukar menjalin hubungan setara dengan Indonesia.
Kurang terang apa lagi? Definisi supremasi sipil boleh makin jelas, tapi sayang pelaksanaannya tetap lemah. Ini tergambar dari pertemuan pemimpin partai-partai politik dengan Panglima TNI pada 28 September lalu di Jakarta. Melalui perantaraan Rektor Universitas Indonesia, para tokoh itu, termasuk Megawati, Gus Dur, Amien Rais, Akbar Tandjung, Nurcholish Madjid, Frans Seda, diminta datang—resminya diundang memang, bukan dipanggil—untuk bertemu dengan penguasa militer (lihat halaman 18).
Pertemuan itu niatnya baik, sebagaimana ternyata dari kesimpulannya, yaitu kesepakatan untuk menghindari pengerahan massa, mencegah salah paham dan saling menghujat, dan menyerahkan pada MPR untuk memutuskan arah perjalanan bangsa lima tahun ke depan. Tapi sepanjang suatu peristiwa di permukaan masih melambangkan hubungan kekuasaan di bawahnya, ada yang kurang kena dalam proses pertemuan itu sendiri.
Mengapa harus tokoh sipil yang datang, bukan sebaliknya? Kalau tak diprotes, sebelum dipindahkan ke tempat netral, pertemuan hampir diadakan di Wisma Yani, gedung resmi Panglima TNI. Dan kesediaan Rektor UI dijadikan alat perantara militer untuk menyampaikan undangan tidak bisa dianggap wajar. Dalam pertemuan itu tidak disinggung peristiwa pembunuhan Semanggi II, tak ada pernyataan maaf dan penyesalan TNI dalam kesimpulan yang dibacakan. Sementara itu, pada saat mereka sedang berembuk, seorang mahasiswa tewas diterjang peluru tajam tentara di lehernya di Bandarlampung.
Sesungguhnya tentara adalah bagian dari masalah nasional yang harus diselesaikan, bukan bagian dari solusi, seperti ingin diklaim oleh Kaster Letjen Susilo Bambang Yudhoyono. Para pemimpin partai itu rupanya kurang sadar dan kurang sensitif mengenai kedudukan militer tersebut. Mereka harus merumuskannya dengan lebih baik dan tanpa ragu-ragu lagi dalam garis besar haluan negara di sidang MPR ini. Dwifungsi hapus, tentara jadi alat negara di bawah kendali sipil lagi.
Kalau gagal memutuskan ini, pemimpin parpol itu hanya akan menambah bagian dari masalah nasional yang harus dipecahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini