Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tinggalkan Jas, Tanggalkan Dasi

Gerakan menghemat energi membawa efek samping penting. Cara berpakaian pejabat disesuaikan: fungsi mengalahkan gengsi.

18 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Maksudnya adalah sebagai konsekuensi menghemat energi, tapi gerakan mencopot jas dan dasi ternyata punya arti penting tersendiri. Gerakan hemat energi yang dicetuskan melalui Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005 mungkin saja tak efektif mencapai sasaran. Itu masih harus kita lihat nanti. Namun sekarang efek "budaya" penting sudah langsung dihasilkan, walaupun tidak disengaja dan tidak dimaksudkan sebagai tujuan. Diam-diam telah terjadi semacam revolusi tata krama busana yang dimulai dari lingkungan Istana Presiden.

Pada mulanya adalah instruksi untuk menghemat pemakaian listrik, suhu kamar di Istana Kepresidenan dan kantor pemerintah lain tak perlu diatur terlalu dingin. Cukup sampai 25 derajat Celsius, Wakil Presiden Jusuf Kalla menegaskan. Karena itu para pejabat dibebaskan dari aturan memakai pakaian komplet. Boleh copot dasi dan meninggalkan jas di lemari supaya tidak merasa kepanasan, yang sebenarnya akibat ulahnya sendiri itu. Bukan cuma dibebaskan, bahkan dilarang membungkus tubuhnya dengan jas.

Instruksi ini seakan-akan mengesankan negara terlalu mengatur gaya hidup pribadi para pejabatnya. Memang mengatur, tapi bukan dalam semangat mengekang, melainkan justru bersifat deregulasi, atau liberalisasi cara berpakaian dalam jam kerja. Mungkin karenanya orang akan bergurau tentang gerakan Islib baru, kependekan dari "istana liberal", khusus dalam soal dress code. Tidak apa-apa, tak ada kepribadian nasional yang dikesampingkan dalam hal itu. Yang terjadi adalah sekadar rasionalisasi yang memang dibutuhkan, yaitu penyesuaian kehidupan material dengan tekanan biaya ekonomi. Itulah hakikat efisiensi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla harus bangga karena memelopori terobosan ini. Sejak zaman kolonial—berulang kali telah dicoba—kita tak berhasil keluar dari masalah "pakaian sipil lengkap" yang sebenarnya tidak sesuai dengan iklim tropis negeri ini. Ketidakcocokan juga ada dalam soal biaya: setelan jas pejabat harganya bisa Rp 10 juta lebih, dasi selembar sampai Rp 1 juta. Lalu, agar tidak kegerahan, AC semua ruangan dan mobil dipasang sedingin mungkin, yang makan ongkos dan menghabiskan energi pula. Konyol bukan?

Mungkin kita masih terpengaruh pada peribahasa warisan kolonial bahwa busana menunjukkan harkat pemakainya. Lalu keliru diterapkan untuk meningkatkan gengsi. Padahal, pada bangsa yang sama juga berlaku ungkapan sebaliknya, de kleren maken den man niet, bukan pakaian yang menentukan diri seseorang. Wibawa dipancarkan dari sikap dan perilakunya. Biarlah setelan lengkap itu, sampai ke tuxedo dan dasi kupu-kupu, dipakai resepsionis hotel internasional, pramugara udara, atau pelayan restoran besar saja.

Kita sudah capek melihat sidang DPR, misalnya, dipenuhi campur aduk jenis jas, mulai dari jas tweed hingga yang bercorak kotak-kotak, atau blazer berkancing metal, yang biasanya dipakai untuk musim gugur, berburu rubah, atau ke klub golf di Eropa sana. Syukurlah, sekarang kemeja biasa boleh, batik lengan pendek juga oke dipakai dalam sidang kabinet. Tentu saja berkaus oblong atau berkemban bagi menteri perempuan tak dibenarkan. Berpakaian sederhana bukan berarti tak mampu membeli. Di Singapura, yang jauh lebih kaya, para pemimpin juga lebih sering berkemeja biasa saja.

Kita tak ingin meramal apakah akhirnya gerakan penghematan energi bisa berguna, dan saat ini tak ingin ikut berdebat tentang efeknya pada pertumbuhan ekonomi. Namun, apa pun jadinya, gunanya kini bagi pendobrakan kode berbusana sudah jelas ada, dan harus diluaskan serta dijaga kelangsungannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus