Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Wewenang Khusus alias Alat Intimidasi

Perpu 23/1959 yang fasistis masih berlaku. Apakah Presiden Indonesia masih perlu wewenang khusus?

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN mana pun di punggung bumi ini perlu diberi wewenang konstitusional untuk bisa cepat tanggap menghadapi kegawatan yang mengancam keselamatan negara. Kepemimpinan seorang presiden dianggap bisa lebih andal untuk lekas memutuskan dan bertindak ketimbang parlemen yang akan menghabiskan waktu bersilat lidah sebelum mencapai mufakat. Menurut UUD 1945, presiden menyatakan keadaan bahaya (pasal 12) dan dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perpu (pasal 22). Kalimat berikutnya di pasal 12 berbunyi ”syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.” Sedangkan penjelasan pasal 22 menyebutkan noodverordeningsrecht (peraturan hukum darurat) perlu dikuasakan kepada presiden ”agar keselamatan negara dapat dijamin dan pemerintah bertindak lekas dan cepat.” Kekuasaan menyatakan keadaan bahaya (pasal 12) dan menetapkan aturan darurat tanpa menunggu undang-undang (pasal 22) bisa berkaitan. Perpu tentang Keadaan Bahaya No. 23/1959 (kemudian dikukuhkan menjadi UU) dicetuskan pada saat negara dinyatakan dalam keadaan darurat. Di Amerika Serikat, wewenang menyatakan keadaan darurat (emergency power) selalu dibarengi pemberlakuan berbagai UU yang membekukan (sementara) Habeas Corpus dan Bill of Rights. Keadilan dan kebebasan warga negara dikekang. Pasal 11 UUD 1945 menyebutkan presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang. Konstitusi AS menggariskan bahwa Kongreslah yang boleh menyatakan perang. Presiden-presiden Indonesia tidak pernah sekali pun mengeluarkan pernyataan perang, tapi tujuh kali memakai wewenangnya memberlakukan keadaan darurat. Kongres AS sepanjang sejarahnya hanya lima kali menyatakan perang, tapi presidennya dengan emergency power lebih dari 180 kali melibatkan negaranya dalam peperangan. Terakhir Presiden George W. Bush memakai wewenang itu untuk memerangi rezim Taliban yang dianggap melindungi Usamah bin Ladin. Indonesia pertama kali menerbitkan undang-undang keadaan bahaya (UUKB) di masa revolusi, yakni UU No. 6/1946, 6 Juni 1946. Namun, Indonesia kemudian ”melangkah mundur”, melahirkan Perpu Keadaan Bahaya No. 23/1959 yang berbau fasistis. Perpu bikinan 42 tahun silam itu masih berlaku sampai sekarang. Mei lalu, Presiden Abdurrahman Wahid ingin memakainya ketika ia bersikeras memberlakukan keadaan bahaya. Tiga Bulan Saja UU No. 6/1946 membatasi ketat keadaan bahaya—hanya boleh diberlakukan tiga bulan. Presiden Sukarno pada 3 Juli 1946 pertama kali menggunakan UUKB ini tatkala muncul gerakan untuk menggulingkan pemerintahan, dan Perdana Menteri Sjahrir diculik. Presiden mengambil alih kekuasaan sepenuhnya. Tepat tiga bulan kemudian, 2 Oktober 1946, ia menormalkan pemerintahan, dan mandat diberikan (lagi-lagi) kepada Sutan Sjahrir (Kabinet Syahrir III). UUKB itu dipakai lagi ketika pecah pemberontakan PKI di Madiun, September 1948. Di masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang menganut demokrasi parlementer (1950-1959), diterbitkan Undang-Undang Keadaan Bahaya No. 74/1957. UUKB ini dipakai ketika menghadapi PRRI/Permesta dan pertikaian dengan Belanda atas Irian Barat (termasuk pengambilalihan aset-aset Belanda di Indonesia). Namun, sebelum UU No. 74 itu terbit, pemerintah memegang UU SOB (Staat van Oorlog en van Beleg) 1939, yang secara terbatas dikenakan pada daerah-daerah pemberontakan DI/TII. UUKB 1957 produk parlemen hasil pemilu menentukan batas waktu pemakaiannya satu tahun. Sukarno memberlakukan keadaan darurat perang bagi seluruh wilayah Indonesia pada 17 Desember 1957 sampai 16 Desember 1958. Kemudian ia memperpanjang lagi setahun, sampai 16 Desember 1959. Tapi, di tengah jalan, ia mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945. Dan pada 16 Desember 1959 ia menerbitkan Perpu No. 23 menggantikan UUKB 1957. Jadi, dekrit yang kesohor itu dilahirkan dalam keadaan darurat perang (berdasarkan UUKB 1957). Tapi Perpu 23 sudah didasari Pasal 12 UUD 1945. Sesungguhnya, kendati sejak 1971 sudah ada parlemen hasil pemilu, belum pernah diterbitkan UU darurat yang baru. Terakhir, 1999, pernah dibuat RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) dan diloloskan DPR. Namun, itu tidak pernah menjadi UU karena baik Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, maupun Megawati tidak menandatanganinya. Sementara itu, Presiden Soeharto tidak perlu UU atau perpu karena ia telah mengantongi wewenang yang melampaui UU. Ketika terjadi usaha kudeta PKI 1965, walau mengukuhkan berdirinya Kopkamtib (untuk memulihkan keamanan dan ketertiban seperti sebelum 1 Oktober 1965), Presiden Sukarno sama sekali tidak mengeluarkan pernyataan keadaan bahaya. Ia baru bisa dianggap menyatakan keadaan bahaya ketika menyerahkan Surat Perintah 11 Maret 1966. Ada kegentingan yang memaksa? Ya, ”pasukan tanpa tanda pengenal” berkeliaran di sekitar istananya. Jenderal Soeharto dilimpahi wewenang ”mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS.” Para jenderal dan politisi Orde Baru segera saja menyimpulkan bahwa SP 11 Maret itu merupakan transfer of power (penyerahan kekuasaan). Dengan cerdik Soeharto mengajukan SP itu ke MPRS, yang tanpa tedeng aling-aling mengukuhkannya sebagai Tap IX MPRS 1966. Maka Soeharto tidak lagi merasa perlu melapor kepada Presiden/Panglima Tertinggi karena telah mendapat mandat MPRS. Gelar konstitusionalnya adalah ”Pengemban TAP IX MPRS/1966”. Wewenang untuk Mengintimidasi Ketika ia dikukuhkan menjadi presiden (1968), MPRS membekalinya lagi dengan rincian wewenang tersebut untuk ”mencegah come-back G-30-S/PKI dan membersihkan aparatur negara.” Pada setiap periode kekuasaannya (kecuali 1993-1998), Soeharto selalu diberi wewenang ini, bahkan dengan bonus ”...tercegahnya bahaya subversi lainnya, penyelamatan pembangunan nasional, penyelamatan Pancasila dan UUD 1945.” Ketetapan MPR tentang ”pelimpahan tugas dan wewenang untuk mengambil langkah-langkah yang perlu” ini sangat ampuh untuk intimidasi. Hanya Tuhan Mahakuasa yang tahu berapa ribu orang kehilangan haknya karena dicap PKI, subversif, anti-pembangunan, anti-Pancasila, anti-ini, dan anti-itu. Soeharto tidak memerlukan UU karena mengantongi Tap sakti yang boleh dipakai kapan diperlukan. Ia mungkin bisa disejajarkan dengan Presiden AS, yang juga dibekali kekuasaan darurat. Bedanya, di AS wewenang itu dibawa oleh presiden-presiden yang bergantian, di Indonesia dipegang Soeharto sebatang kara selama 32 tahun. Wewenang konstitusional Presiden AS itu pun harus dilaporkan ke Kongres dalam 48 jam. Bila Kongres menolak, presiden diberi waktu 90 hari (60 hari dengan perpanjangan 30 hari) untuk membatalkan semua tindakan yang disebut dalam laporannya ke Kongres itu (War Powers Act of 1973). Pada periode terakhir, Soeharto dengan segenap kerendahan hati meminta ”wewenang khusus”. Sidang Umum MPR Maret 1998 jatuh iba dan cepat tanggap, lalu memberinya Tap V/1998. Tap ini nyaris dipakai untuk menghadapi huru-hara yang disusul pemberontakan mahasiswa Mei 1998. Bahkan sudah sempat digagas Badan Keselamatan dan Keamanan Negara—sebuah versi mutakhir Kopkamtib. Niat ini gugur karena pemimpin ABRI dan TNI-AD enggan menggenggam ”batu panas”. Dari kursinya yang patah, Soeharto menyaksikan Tap V/1998 itu dicabut dalam Sidang Istimewa MPR November 1998. Basta. Presiden Indonesia tak perlu lagi diberi wewenang khusus. Pasal 12 dan 22 UUD 1945 sudah cukup sebagai bekal. Tapi penerapannya perlu dibatasi dengan UU. Kalau kita di tahun pertama Republik bisa memiliki UU yang demokratis dan menghargai hak asasi manusia, mosok setelah berumur 56 tahun malah mundur dengan tetap mempertahankan undang-undang keadaan bahaya 1959? Perpu 23 dari abad Demokrasi Terpimpin Sukarno sudah jompo. Ia harus diremajakan. Daud Sinjal

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus