MENANGGAPI pertanyaan Sdr. Olly & Dorpi Parlindungan (Kontak
Pembaca, TEMPO, 19 Februari).
Saya tidak mengatakan seluruh isi buku Tuanku Rao isapan jempol
Ir Parlindungan. Yang saya persoalkan (TEMPO, 12 Januari),
hanyalah apa yang disebut "Naskah Poortman" (Lampiran XXXI
Tuanku Rao). Menurut Ir. Parlindungan, tahun 1928 Residen
Poortman merampas naskah kuno sebanyak tiga gerobak (!) dari
Kelenteng Sam Po Kong Semarang, yang menguraikan-penyebaran
Islam di Jawa oleh orang Cina di bawah pimpinan Jin Bun (Raden
Patah) dan Bong Swi Hoo (Sunan Ampel) Poortman lalu membuat
salinan naskah itu lima eksemplar, konon di antaranya kini
tersimpan di Gedung Rijswijk Nederland. Ir. Parlindungan
menambahkan bahwa "Naskah Poortman" itu tidak pernah disiarkan
karena takut mengguncangkan masyarakat Jawa.
Ternyata menurut penelitian para ahli sejarah, apa yang disebut
"Naskah Poortman" itu hanya bikinan Ir. Parlindungan. Lihat:
wawancara Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dengan wartawan Andre
Hardjana dalam Sinar Harapan 11 Oktober 1971, h. VI Drs. R
Pitono Hardjowardojo, Tjatatan tentang Kroniek Sam Po Kong dalam
Liberty, 20 Desember 1969, h. 10 Drs. Hasan Djafar,
Girindrawarddhana, Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Jakarta,
1978, h. 21 Prof. Dr. Hamka, Antara Fakta dan Khayal 'Tuanku
Rao Jakarta, 1974, h. 287. Lihat pula keterangan saya dalam
Surat Pembaca TEMPO 30 Juni 1979.
Beberapa orientalis, antara lain Denys Lombard dari CEDRASEMI
(Centre deDocumentation et de Recherches sur l'Asie du Sud-Est
et le Monde Indonesien), Lance Castles dari Universitas Yale
dan M.C. Ricklefs dari Universitas London, pernah mengecek
"Naskah Poortman" itu ke Nederland. Ternyata naskah itu tidak
ada! Putra almarhum Poortman pun tidak tahu tentang naskah
ayahnya yang katanya lima eksemplar itu -- bahkan mengatakan
bahwa ayahnya bukanlah peminat sejarah. Lebih hebat lagi, apa
yang disebut Gedung Rijswijk" itu pun tidak pernah ada (TEMPO,
31 Juli 1971).
Sepanjang pengetahuan saya, satu-satunya sejarawan yang
mempercayai adanya "Naskah Poortman" adalah Prof. Dr.
Slametmulyana. Buku beliau Runtuhnja Keradjaan Hindu Djawa dan
Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara (Djakarta, 1968)
menyimpulkan, bahwa seluruh sultan Demak dan sebagian besar Wali
Songo adalah orang-orang Cina. Dalam buku A Story of Majapahit
(Singapore, 1976) bellau masih mengulang-ulang cerita Bong Swee
Hoo, dan dalam buku Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya
(Jakarta, 1979) masih tercantum nama Nyoo Lay Wa yang katanya
diangkat Raden Patah sebagai raja Majapahit.
Prof. Dr. Sametmulyana mengatakan: "Saya tetap yakin apa yang
saya tulis bukan isapan jempol" (TEMPO, 12 Januari 1980). Kita
ingin bertanya: apakah Prof. Dr. Slametmulyana pernah
mengkonfirmasi di manakah kini tersimpan "naskah tiga gerobak"
dan "salinan lima eksemplar" itu? Ataukah hanya semata-mata
mengandalkan catatan Ir. Parlindungan yang menurut pengakuan
beliau (Runtuhnja, h. 64) adalah bekas gurunya?
Jika memang ada sumber sejarah yang membuktikan bahwa para wali
berkebangsaan Cina, kita sama sekali tidak keberatan. Mengapa
harus "alergi"? Menurut Al-Quran, seluruh manusia yang
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku ini saudara seketurunan, tidak
ada kelebihan yang satu terhadap yang lain. Nabi Muhammad saw
pernah menyebut nama Cina dengan penuh respek: "Tuntutlah ilmu
walau di negeri Cina". Sultan Mesir Salahuddin Al-Ayyubi berasal
dari Armenia. Jawhar As-Siqly pendiri Kota Kairo adalah orang
Sicilia. Jamaluddin Al-Afghani dari Afghanistan pernah menjadi
orang besar di Mesir, Iran dan Turki. Imam Bukhari perawi hadis
terkenal berasal dari Rusia Selatan. Dan masih banyak lagi.
Ini perlu saya tegaskan karena masih ada di antara kita yang
merasa "tersinggung jika ada yang berusaha "mencinakan" Wali
Songo. 'Islam' dan 'Cina' seolah dua kutub yang tidak mungkin
bertemu, sehingga lupa bahwa umat Islam di RRC dua kali lebih
banyak dari di Saudi Arabia (TIME, 16 April 1979). Karena itu,
kita sangat menyesalkan larangan Jaksa Agung tahun 1971 terhadap
karya Prof. Slametmulyana, betapa pun kontroversialnya isi buku
tersebut. Pelarangan itu hanya akan menimbulkan kesan bagi orang
awam jangan-jangan pemikiran Prof. Dr. Slametmulyana memang
benar.
Kepada semua pihak, dituntut kejujuran intelektual: berani
mengemukakan pemikiran argumentatif, berani surut dari pendirian
yang terbukti keliru.
NIA KURNIA SHOLIHAT
Jalan Buahbatu 229, Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini