Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tuanku rao: bab isapan jempol

Naskah poortman adalah bikinan ir. parlindungan. menurut sartono kartodirdjo, slamet mulyana mempercayai adanya. mengapa buku slamet dilarang beredar.

29 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENANGGAPI pertanyaan Sdr. Olly & Dorpi Parlindungan (Kontak Pembaca, TEMPO, 19 Februari). Saya tidak mengatakan seluruh isi buku Tuanku Rao isapan jempol Ir Parlindungan. Yang saya persoalkan (TEMPO, 12 Januari), hanyalah apa yang disebut "Naskah Poortman" (Lampiran XXXI Tuanku Rao). Menurut Ir. Parlindungan, tahun 1928 Residen Poortman merampas naskah kuno sebanyak tiga gerobak (!) dari Kelenteng Sam Po Kong Semarang, yang menguraikan-penyebaran Islam di Jawa oleh orang Cina di bawah pimpinan Jin Bun (Raden Patah) dan Bong Swi Hoo (Sunan Ampel) Poortman lalu membuat salinan naskah itu lima eksemplar, konon di antaranya kini tersimpan di Gedung Rijswijk Nederland. Ir. Parlindungan menambahkan bahwa "Naskah Poortman" itu tidak pernah disiarkan karena takut mengguncangkan masyarakat Jawa. Ternyata menurut penelitian para ahli sejarah, apa yang disebut "Naskah Poortman" itu hanya bikinan Ir. Parlindungan. Lihat: wawancara Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dengan wartawan Andre Hardjana dalam Sinar Harapan 11 Oktober 1971, h. VI Drs. R Pitono Hardjowardojo, Tjatatan tentang Kroniek Sam Po Kong dalam Liberty, 20 Desember 1969, h. 10 Drs. Hasan Djafar, Girindrawarddhana, Beberapa Masalah Majapahit Akhir, Jakarta, 1978, h. 21 Prof. Dr. Hamka, Antara Fakta dan Khayal 'Tuanku Rao Jakarta, 1974, h. 287. Lihat pula keterangan saya dalam Surat Pembaca TEMPO 30 Juni 1979. Beberapa orientalis, antara lain Denys Lombard dari CEDRASEMI (Centre deDocumentation et de Recherches sur l'Asie du Sud-Est et le Monde Indonesien), Lance Castles dari Universitas Yale dan M.C. Ricklefs dari Universitas London, pernah mengecek "Naskah Poortman" itu ke Nederland. Ternyata naskah itu tidak ada! Putra almarhum Poortman pun tidak tahu tentang naskah ayahnya yang katanya lima eksemplar itu -- bahkan mengatakan bahwa ayahnya bukanlah peminat sejarah. Lebih hebat lagi, apa yang disebut Gedung Rijswijk" itu pun tidak pernah ada (TEMPO, 31 Juli 1971). Sepanjang pengetahuan saya, satu-satunya sejarawan yang mempercayai adanya "Naskah Poortman" adalah Prof. Dr. Slametmulyana. Buku beliau Runtuhnja Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara (Djakarta, 1968) menyimpulkan, bahwa seluruh sultan Demak dan sebagian besar Wali Songo adalah orang-orang Cina. Dalam buku A Story of Majapahit (Singapore, 1976) bellau masih mengulang-ulang cerita Bong Swee Hoo, dan dalam buku Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya (Jakarta, 1979) masih tercantum nama Nyoo Lay Wa yang katanya diangkat Raden Patah sebagai raja Majapahit. Prof. Dr. Sametmulyana mengatakan: "Saya tetap yakin apa yang saya tulis bukan isapan jempol" (TEMPO, 12 Januari 1980). Kita ingin bertanya: apakah Prof. Dr. Slametmulyana pernah mengkonfirmasi di manakah kini tersimpan "naskah tiga gerobak" dan "salinan lima eksemplar" itu? Ataukah hanya semata-mata mengandalkan catatan Ir. Parlindungan yang menurut pengakuan beliau (Runtuhnja, h. 64) adalah bekas gurunya? Jika memang ada sumber sejarah yang membuktikan bahwa para wali berkebangsaan Cina, kita sama sekali tidak keberatan. Mengapa harus "alergi"? Menurut Al-Quran, seluruh manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku ini saudara seketurunan, tidak ada kelebihan yang satu terhadap yang lain. Nabi Muhammad saw pernah menyebut nama Cina dengan penuh respek: "Tuntutlah ilmu walau di negeri Cina". Sultan Mesir Salahuddin Al-Ayyubi berasal dari Armenia. Jawhar As-Siqly pendiri Kota Kairo adalah orang Sicilia. Jamaluddin Al-Afghani dari Afghanistan pernah menjadi orang besar di Mesir, Iran dan Turki. Imam Bukhari perawi hadis terkenal berasal dari Rusia Selatan. Dan masih banyak lagi. Ini perlu saya tegaskan karena masih ada di antara kita yang merasa "tersinggung jika ada yang berusaha "mencinakan" Wali Songo. 'Islam' dan 'Cina' seolah dua kutub yang tidak mungkin bertemu, sehingga lupa bahwa umat Islam di RRC dua kali lebih banyak dari di Saudi Arabia (TIME, 16 April 1979). Karena itu, kita sangat menyesalkan larangan Jaksa Agung tahun 1971 terhadap karya Prof. Slametmulyana, betapa pun kontroversialnya isi buku tersebut. Pelarangan itu hanya akan menimbulkan kesan bagi orang awam jangan-jangan pemikiran Prof. Dr. Slametmulyana memang benar. Kepada semua pihak, dituntut kejujuran intelektual: berani mengemukakan pemikiran argumentatif, berani surut dari pendirian yang terbukti keliru. NIA KURNIA SHOLIHAT Jalan Buahbatu 229, Bandung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus