BANGUNAN tua dengan arsitektur Cina itu masih terus sepi. Sejak
ditinggalkan pada 1967 menyusul pembekuan hubungan diplomatik
antara RI-RRC, gedung bekas Kedutaan Besar RRC yang terletak di
daerah Glodok Jakarta itu tampak tak terurus. Pintu gerbangnya
selalu tertutup rapat. Sesekali dari luar tampak staf Kedutaan
Rumania yang bertugas mengawasi gedung tersebut.
Di tengah santernya suara pro dan kontra pencairan hubungan
diplomatik RI-RRC yang ramai dibicarakan di Jakarta belakangan
ini, kesepian gedung bekas Kedubes RRC itu mengundang tanya.
Kapan pencairan hubungan diplomatik itu akan dilakukan? Atau
betulkah pencairan itu akan segera dilakukan?
Menlu RRC Huang Hua ternyata berhasil memancing reaksi para
tokoh Indonesia tatkala di Manila -- dalam perjalanannya
keliling Asia Tenggara dua pekan lalu -- menyatakan keinginan
negaranya untuk menjalin hubungan diplomatik lagi dengan
Indonesia. Juga untuk membuka dengan Singapura. "Baik Cina
maupun Indonesia punya keinginan untuk melihat normalisasi
hubungan antara kedua negara," ujar Hua.
Dari tahun ke tahun spekulasi tentang pencairan hubungan ini
memang selalu timbul. Dikeluarkannya Instruksi Presiden untuk
mempercepat pemberian bukti kewarganegaraan pada warga keturunan
Cina yang harus selesai pada 17 Agustus 1980 memperkuat
spekulasi ini. Hingga ucapan Hua tadi segera menimbulkan gema.
Di Jakarta sendiri reaksi umumnya terpecah dua yang mendukung
segera dilaksanakannya normalisasi dan yang keberatan.
Walau mengakui normalisasi hubungan itu suatu waktu pasti
dilaksanakan, Sukardi, Wakil Ketua Bidang Politik Fraksi Karya
Pembangunan DPR menganggap saat ini waktunya belum mendesak.
"Masih ada pertimbangan yang kurang menguntungkan kita," ucapnya
pekan lalu. Sebagai alasan ditunjuknya masalah keamanan,
kedudukan warganegara keturunan Cina dan pertumbuhan ekonomi
Indonesia. "Kelihatannya kita akan banyak untung bisa membeli
langsung komoditi dari RRC. Tapi itu justru akan memukul
industri dalam negeri yang sedang tumbuh," kata Sukardi soal
untung-rugi.
Pendapat yang lebih jelas disuarakan bekas Menlu Roeslan
Abdulgani. "Tidak usah buru-buru, karena ada beberapa hal yang
dulu menyebabkan hubungan dibekukan yang sampai sekarang belum
dijelaskan," katanya di rumahnya Sabtu lalu.
Menurut Roeslan, Beijing perlu menjelaskan pandangan mereka
tentang PKI, yang sejak 1963 berkubu ke sana. Dalam hubungan
bilateral, politik RRC terhadap para Hoakiao (Cina Perantauan)
juga belum jelas. Misalnya apakah RRC tetap memakai Hoakiao ini
sebagai alat politik dan ekonomi?
Roeslan mengakui mau tak mau Indonesia kelak pasti akan membuka
hubungan diplomatik lagi dengan RRC demi sumbangannya pada
situasi internasional. Dalam jangka panjang kepentingan nasional
Indonesia juga mengharuskan adanya hubungan itu. "Sekarang ya
main kucing-kucingan dulu," tambahnya sambil tertawa berderai.
Jusuf Wanandi, Direktur Pusat Pengkajian Masalah Internasional
dan Strategis (CSIS) melihat dalam beberapa tahun terakhir ini
di dalam negeri RRC sendiri terjadi perubahan, dengan menangnya
unsur "moderat" yang dipimpin Deng Xiao-ping. Mereka ini mau
mengadakan hubungan baik lagi dengan lingkungannya, terutama di
kawasan Asia-Pasifik untuk menghindari kepungan Uni Soviet yang
sekarang dianggap lawan utamanya. Karena itulah RRC mencoba
membuka hubungan baik dengan ASEAN.
Jusuf melihat, ada beberapa hal yang perlu dilakukan RRC sebelum
pencairan hubungan diplomatik bisa dilakukan. "Kita harus lebih
diyakinkan bahwa mereka lebih mementingkan hubungan antar
pemerintah daripada hubungan antar partai," ujar Jusuf di kantor
CSIS di Jalan Tanah Abang III pekan lalu. Pelaksanaan konkritnya
adalah: RRC jangan sampai menonjolkan kehadiran pimpinan eks PKI
di Beijing, menghentikan propaganda anti Indonesia dan menyetop
bantuan untuk subversi dan infiltrasi. Ketegasan RRC tentang
masalah Cina perantauan juga perlu dinyatakan.
Tapi bagi Chalid Mawardi, Ketua Komisi I DPR, tak dilihatnya
alasan untuk takut menormalisasikan hubungan dengan RRC.
Hubungan diplomatik dengan suatu negara, menurut Chalid, tak
relevan lagi dikaitkan dengan dasar ideologi. Alasan yang
menghambat pencairan hubungan berkisar pada masalah psikologis
dan keamanan. Alasan psikologis adalah trauma bangsa Indonesia
terhadap peristiwa G.30.S/PKI, sedang oal keamanan adalah
ketakutan pada subversi terutama di bidang ekonomi.
Menurut Chalid bahaya subversi selalu ada, baik dengan maupun
tanpa adanya hubungan diplomatik. "Kalau kita mampu, tak perlu
takut," ujar tokoh Partai Persatuan Pembangunan ini.
Kesimpulannya, segala keraguan dan alasan yang selama ini
menghambat sudah bisa diatasi dan memungkinkan Indonesia
mencairkan hubungan diplomatik dengan RRC. "Sampai-sampai saya
punya kesimpulan, yang berkeberatan normalisasi itu mungkin
mempunyai kepentingan tertentu dengan hubungan dagang tidak
langsung," ujar Chalid.
Chalid nampaknya bercanda. Namun soal hubungan dagang tidak
langsung RI-RRC ini memang telah lama menjadi obrolan yang
menarik. Selama tiadanya hubungan diplomatik dengan RRC ini,
hubungan dagang kedua negara berjalan lancar lewat Singapura dan
Hongkong.
Tapi perimbangannya sangat timpang. Menurut Chalid, tahun lalu
ekspor Indonesia ke RRC melalui negara ketiga hanya US$22 juta
sedang impor sekitar US$500 juta (pada 1978, menurut catatan
Biro Pusat Statistik, impor Indonesia dari RRC meliputi jumlah
US$ 321 juta). "Selisih ini kan merugikan kita Keuntungan jelas
pada calo," kata Chalid.
Secara terang-terangan Chalid menuding peran Singapura sebagai
perantara hubungan dagang yang timpang ini. Singapura sampai
saat ini tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan RRC. Perdana
Menteri Lee Kuan Yew sendiri beberapa kali menegaskan negaranya
akan menjalin hubungan diplomatik dengan RRC hanya setelah
Indonesia mencairkan hubungannya dengan RRC. Tapi Lee pernah
berkunjung ke RRC, dan Menlu Huang Hua sendiri 2 pekan lalu
mengunjungi Singapura.
Bagaimanapun, wajar kalau sebelum melaksanakan normalisasi orang
mempertimbangkan untung ruginya tindakan itu. Pemerintah sendiri
menganggap keuntungan dari pencairan hubungan diplomatik dengan
RRC saat ini hampir tidak ada (lihat: Wawancara dengan Menlu
Mochtar). Tapi cukup banyak orang yang melihat adanya keuntungan
dari pencairan ini.
Jusuf Wanandi misalnya, melihatnya dari kepentingan jangka
panjang. Dengan adanya hubungan diplomatik dengan RRC, bisa
diadakan sinkronisasi langkah kedua negara agar tidak dijadikan
permainan oleh negara-negara Barat dan Jepang dalam penanaman
modal dan pasar. Dengan kata lain, bisa dihindari persaingan
antara kedua negara dalam mencari pasar, dana dan sumber
teknologi.
Adanya hubungan diplomatik menurut Jusuf juga membantu lebih
gampangnya diselesaikan persoalan yang terjadi di kawasan
Asia-Pasifik yang menyangkut kepentingan kedua pihak.
Betapapun, sudah jelas sekarang pencairan hubungan diplomatik
tidak akan bisa dilaksanakan dalam waktu dekat. Begitu banyak
masalah yang harus diselesaikan dulu -- seperti diungkapkan
Menlu Mochtar -- sebelum pencairan dilaksanakan. Tapi --
sebagaimana juga dikatakan Mochtar -- langkah-langkah ke arah
pencairan hubungan itu sudah dilakukan.
Sejauh ini, adalah pihak RRC yang selalu mengatakan siap membuka
kembali hubungan diplomatik dengan RI. Sedang pihak RI dengan
bermacam alasan selalu menghindar. Adam Malik -- semasa masih
menjabat Menlu -- begitu sering mengatakan bahwa pencairan bisa
dilakukan besok pagi, namun ada hal-hal yang perlu dilakukan
sebelum normalisasi bisa dilakukan. Disebut Adam misalnya,
status para warga keturunan Cina yang belum jelas.
TERNYATA masalah para Cina perantauan ini memang dianggap
Indonesia masalah terpenting. Namun langkah untuk memperjelas
status mereka ini sudah dilakukan dengan dikeluarkannya Inpres
no. 2/1980 dan Keppres 13/1980 awal tahun ini. Dengan Inpres
ini diharapkan pemberian Surat Bukti Kewarganegaraan RI bisa
dipercepat sebelum batas waktu 17 Agustus 1980, sedang Keppres
13/1980 mengatur mengenai pelaksanaan penyelesaian permohonan
kewarganegaraan (naturalisasi).
Kejelasan status para Cina perantauan ini memang diperlukan
mengingat kebijaksanaan pemerintah RRC pada mereka ini tidak
jelas. Jumlah Cina perantauan di Asia Tenggara sekitar 15 juta
dan bagi Cina mereka ini penting sebagai sumber ekonomi dan
politik. Pendiri Republik Cina, Sun Yat-sen adalah seorang Cina
perantauan. Pemerintah Kuomintang pada 1929 menyatakan bahwa
semua orang Cina, termasuk perantauan, adalah warganegara Cina.
Pemerintah RRC kemudian mengambil sikap yang sama. Dalam
Konstitusinya 1954 antara lain dinyatakan bahwa keanggotaan
Kongres Rakyat Nasional juga meliputi warga Cina yang ada di
luar negeri. Disebutkan juga bahwa RRC akan melindungi hak dan
kepentingan yang adil dari warganya yang ada di luar negeri.
Tapi pada Konstitusi 1975 pasal yang menyatakan hak keanggotaan
Cina perantauan di Kongres Rakyat Nasional ditiadakan, walau
kebijaksanaan untuk melindungi hak dan kepentingan mereka tetap
dipertahankan. Perubahan Konstitusi yang dilakukan pada 1978
tak mengubah ketentuan itu.
Jelas pemerintah RRC tetap mempertahankan hubungan dengan para
Cina perantauan ini. Inilah yang menimbulkan kecurigaan beberapa
pemerintah negara Asia Tenggara pada para warga Cina mereka.
Rupanya untuk mengatasi itu, sejak 1957 RRC menganjurkan pada
para Hoakiao untuk rneleburkan diri dengan masyarakat
sekelilingnya termasuk menjadi warganegata setempat. Tapi
Revolusi kebudayaan mengubah pandangan ini, dan para Hoakiao
kemudian dianggap kaum borjuis atau kapitalis.
Beijing mengubah sikapnya kembali pada 1977 tatkala Deng
Xiao-ping kembali pada garis 1957 dengan menganjurkan para
Hoakiao untuk patuh pada hukum negara tempat mereka tinggal dan
menjadi warganegara setempat. Namun, kebijaksanaan baru itu --
seperti pernah tercermin dalam tajuk Jen-min jih pao -- tetap
menganggap para Hoakiao itu "kawan dan keluarga kita".
Tampaknya selama ketidakjelasan ini berlarut-larut pencairan
hubungan diplomatik RI-RRC masih sulit dilaksanakan. Karena
memang sulit menghilangkan sama sekali kekhawatiran, suatu waktu
para Hoakiao ini akan bisa "dimanfaatkan" oleh RRC, selama
ikatan formal itu tidak diputuskan.
Masih ada lagi hal-hal lain. Sekalipun agaknya pendapat umum
rakyat Indonesia sekarang ini sudah bisa menerima gagasan
normalisasi, beberapa hal yang menyangkut "rasa" juga perlu
dibereskan. Antara lain soal perlakuan pemerintah RRC pada para
pelarian PKI yang ada di Beijing, perayaan Hari Ulang Tahun PKI
dan sebagainya.
Mungkin itu sebabnya suatu langkah khusus harus dilakukan
sebelum langkah pertama ke arah pencairan hubungan diplomatik
bisa dilakukan. Perutusan resmi pertama RRC, yang menurut suatu
sumber akan tiba di Jakarta dalam beberapa bulan mendatang,
rupanya mempunyai tugas itu: mengetuk pintu dan mengucapkan
kulo nuwun.
Bagaimanapun juga kebekuan hubungan diplomatik RI-RRC tidak lagi
setebal dulu. Setelah 13 tahun, es itu mencair juga pelan-pelan.
Sejak 1977 misalnya Perwakilan Tetap RI di New York telah
ditunjuk sebagai satu-satunya saluran dalam rangka usaha
pencairan hubungan diplomatik ini. Dan kunjungan tidak resmi
para pejabat kedua negara sudah sering dilakukan.
Walau keterlibatan RRC dalam G30S/PKI secara tuntas belum bisa
diungkap, trauma selama 15 tahun yang menghinggapi rakyat
Indonesia nampaknya makin berkurang. Kekhawatiran bahwa para
tokoh PKI yang ada di Beijing bisa merupakan ancaman agaknya
menghilang. "Orang-orang PKI yang kini dapat perlindungan di RRC
sudah lanjut usia dan tidak lagi menjadi keklatan yang
mengkhawatirkan. Dus tidak ada regenerasi PKI di RRC," kata
Chalid Mawardi. Bagaimana tentang kemungkinan subversi komunis?
"Ya kita gebuk, kalau memang kita sudah mampu," jawab Chalid.
Infiltrasi dari Utara, kalaupun ada, pasti tak akan sehebat
dulu. Apalagi keadaan di dalam negeri Naga itu sendiri sedang
berubah 180 derajat: Mereka bahkan sedang berpikir-pikir untuk
membongkar mausoleum Mao Tse-tung.
Namun demikian beberapa pejabat dan anggota DPR kita toh
beranggapan kunci berada pada pihak RRC untuk melanjutkan
langkah pencairan. "Mereka yang lebih memerlukan kita. Kita
tidak akan munduk-munduk (membungkuk-bungkuk) untuk meminta
pemulihan hubungan diplomatik. Mereka yang harus lebih dulu
minta maaf," kata seorang pejabat tinggi Deplu.
Nah, kalau sampai waktunya pemimpin di Beijing itu mau mengaku
salah, apakah Indonesia akan menyambutnya dengan "maaf lahir
batin?" Jawab seorang pejabat intel yang mengetahui "ya mestinya
begitu, menurut basa-basi diplomatik." Yah, mestinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini