Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Es Itu Mencair, Pelan-Pelan

Banyak yang harus dibenahi sebelum pencairan hubungan diplomatik ri-rrc dilaksanakan, langkah persiapan sudah dilaksanakan. indonesia tidak mau buru-buru beberapa tanggapan pro dan kontra. (nas)

29 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGUNAN tua dengan arsitektur Cina itu masih terus sepi. Sejak ditinggalkan pada 1967 menyusul pembekuan hubungan diplomatik antara RI-RRC, gedung bekas Kedutaan Besar RRC yang terletak di daerah Glodok Jakarta itu tampak tak terurus. Pintu gerbangnya selalu tertutup rapat. Sesekali dari luar tampak staf Kedutaan Rumania yang bertugas mengawasi gedung tersebut. Di tengah santernya suara pro dan kontra pencairan hubungan diplomatik RI-RRC yang ramai dibicarakan di Jakarta belakangan ini, kesepian gedung bekas Kedubes RRC itu mengundang tanya. Kapan pencairan hubungan diplomatik itu akan dilakukan? Atau betulkah pencairan itu akan segera dilakukan? Menlu RRC Huang Hua ternyata berhasil memancing reaksi para tokoh Indonesia tatkala di Manila -- dalam perjalanannya keliling Asia Tenggara dua pekan lalu -- menyatakan keinginan negaranya untuk menjalin hubungan diplomatik lagi dengan Indonesia. Juga untuk membuka dengan Singapura. "Baik Cina maupun Indonesia punya keinginan untuk melihat normalisasi hubungan antara kedua negara," ujar Hua. Dari tahun ke tahun spekulasi tentang pencairan hubungan ini memang selalu timbul. Dikeluarkannya Instruksi Presiden untuk mempercepat pemberian bukti kewarganegaraan pada warga keturunan Cina yang harus selesai pada 17 Agustus 1980 memperkuat spekulasi ini. Hingga ucapan Hua tadi segera menimbulkan gema. Di Jakarta sendiri reaksi umumnya terpecah dua yang mendukung segera dilaksanakannya normalisasi dan yang keberatan. Walau mengakui normalisasi hubungan itu suatu waktu pasti dilaksanakan, Sukardi, Wakil Ketua Bidang Politik Fraksi Karya Pembangunan DPR menganggap saat ini waktunya belum mendesak. "Masih ada pertimbangan yang kurang menguntungkan kita," ucapnya pekan lalu. Sebagai alasan ditunjuknya masalah keamanan, kedudukan warganegara keturunan Cina dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. "Kelihatannya kita akan banyak untung bisa membeli langsung komoditi dari RRC. Tapi itu justru akan memukul industri dalam negeri yang sedang tumbuh," kata Sukardi soal untung-rugi. Pendapat yang lebih jelas disuarakan bekas Menlu Roeslan Abdulgani. "Tidak usah buru-buru, karena ada beberapa hal yang dulu menyebabkan hubungan dibekukan yang sampai sekarang belum dijelaskan," katanya di rumahnya Sabtu lalu. Menurut Roeslan, Beijing perlu menjelaskan pandangan mereka tentang PKI, yang sejak 1963 berkubu ke sana. Dalam hubungan bilateral, politik RRC terhadap para Hoakiao (Cina Perantauan) juga belum jelas. Misalnya apakah RRC tetap memakai Hoakiao ini sebagai alat politik dan ekonomi? Roeslan mengakui mau tak mau Indonesia kelak pasti akan membuka hubungan diplomatik lagi dengan RRC demi sumbangannya pada situasi internasional. Dalam jangka panjang kepentingan nasional Indonesia juga mengharuskan adanya hubungan itu. "Sekarang ya main kucing-kucingan dulu," tambahnya sambil tertawa berderai. Jusuf Wanandi, Direktur Pusat Pengkajian Masalah Internasional dan Strategis (CSIS) melihat dalam beberapa tahun terakhir ini di dalam negeri RRC sendiri terjadi perubahan, dengan menangnya unsur "moderat" yang dipimpin Deng Xiao-ping. Mereka ini mau mengadakan hubungan baik lagi dengan lingkungannya, terutama di kawasan Asia-Pasifik untuk menghindari kepungan Uni Soviet yang sekarang dianggap lawan utamanya. Karena itulah RRC mencoba membuka hubungan baik dengan ASEAN. Jusuf melihat, ada beberapa hal yang perlu dilakukan RRC sebelum pencairan hubungan diplomatik bisa dilakukan. "Kita harus lebih diyakinkan bahwa mereka lebih mementingkan hubungan antar pemerintah daripada hubungan antar partai," ujar Jusuf di kantor CSIS di Jalan Tanah Abang III pekan lalu. Pelaksanaan konkritnya adalah: RRC jangan sampai menonjolkan kehadiran pimpinan eks PKI di Beijing, menghentikan propaganda anti Indonesia dan menyetop bantuan untuk subversi dan infiltrasi. Ketegasan RRC tentang masalah Cina perantauan juga perlu dinyatakan. Tapi bagi Chalid Mawardi, Ketua Komisi I DPR, tak dilihatnya alasan untuk takut menormalisasikan hubungan dengan RRC. Hubungan diplomatik dengan suatu negara, menurut Chalid, tak relevan lagi dikaitkan dengan dasar ideologi. Alasan yang menghambat pencairan hubungan berkisar pada masalah psikologis dan keamanan. Alasan psikologis adalah trauma bangsa Indonesia terhadap peristiwa G.30.S/PKI, sedang oal keamanan adalah ketakutan pada subversi terutama di bidang ekonomi. Menurut Chalid bahaya subversi selalu ada, baik dengan maupun tanpa adanya hubungan diplomatik. "Kalau kita mampu, tak perlu takut," ujar tokoh Partai Persatuan Pembangunan ini. Kesimpulannya, segala keraguan dan alasan yang selama ini menghambat sudah bisa diatasi dan memungkinkan Indonesia mencairkan hubungan diplomatik dengan RRC. "Sampai-sampai saya punya kesimpulan, yang berkeberatan normalisasi itu mungkin mempunyai kepentingan tertentu dengan hubungan dagang tidak langsung," ujar Chalid. Chalid nampaknya bercanda. Namun soal hubungan dagang tidak langsung RI-RRC ini memang telah lama menjadi obrolan yang menarik. Selama tiadanya hubungan diplomatik dengan RRC ini, hubungan dagang kedua negara berjalan lancar lewat Singapura dan Hongkong. Tapi perimbangannya sangat timpang. Menurut Chalid, tahun lalu ekspor Indonesia ke RRC melalui negara ketiga hanya US$22 juta sedang impor sekitar US$500 juta (pada 1978, menurut catatan Biro Pusat Statistik, impor Indonesia dari RRC meliputi jumlah US$ 321 juta). "Selisih ini kan merugikan kita Keuntungan jelas pada calo," kata Chalid. Secara terang-terangan Chalid menuding peran Singapura sebagai perantara hubungan dagang yang timpang ini. Singapura sampai saat ini tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan RRC. Perdana Menteri Lee Kuan Yew sendiri beberapa kali menegaskan negaranya akan menjalin hubungan diplomatik dengan RRC hanya setelah Indonesia mencairkan hubungannya dengan RRC. Tapi Lee pernah berkunjung ke RRC, dan Menlu Huang Hua sendiri 2 pekan lalu mengunjungi Singapura. Bagaimanapun, wajar kalau sebelum melaksanakan normalisasi orang mempertimbangkan untung ruginya tindakan itu. Pemerintah sendiri menganggap keuntungan dari pencairan hubungan diplomatik dengan RRC saat ini hampir tidak ada (lihat: Wawancara dengan Menlu Mochtar). Tapi cukup banyak orang yang melihat adanya keuntungan dari pencairan ini. Jusuf Wanandi misalnya, melihatnya dari kepentingan jangka panjang. Dengan adanya hubungan diplomatik dengan RRC, bisa diadakan sinkronisasi langkah kedua negara agar tidak dijadikan permainan oleh negara-negara Barat dan Jepang dalam penanaman modal dan pasar. Dengan kata lain, bisa dihindari persaingan antara kedua negara dalam mencari pasar, dana dan sumber teknologi. Adanya hubungan diplomatik menurut Jusuf juga membantu lebih gampangnya diselesaikan persoalan yang terjadi di kawasan Asia-Pasifik yang menyangkut kepentingan kedua pihak. Betapapun, sudah jelas sekarang pencairan hubungan diplomatik tidak akan bisa dilaksanakan dalam waktu dekat. Begitu banyak masalah yang harus diselesaikan dulu -- seperti diungkapkan Menlu Mochtar -- sebelum pencairan dilaksanakan. Tapi -- sebagaimana juga dikatakan Mochtar -- langkah-langkah ke arah pencairan hubungan itu sudah dilakukan. Sejauh ini, adalah pihak RRC yang selalu mengatakan siap membuka kembali hubungan diplomatik dengan RI. Sedang pihak RI dengan bermacam alasan selalu menghindar. Adam Malik -- semasa masih menjabat Menlu -- begitu sering mengatakan bahwa pencairan bisa dilakukan besok pagi, namun ada hal-hal yang perlu dilakukan sebelum normalisasi bisa dilakukan. Disebut Adam misalnya, status para warga keturunan Cina yang belum jelas. TERNYATA masalah para Cina perantauan ini memang dianggap Indonesia masalah terpenting. Namun langkah untuk memperjelas status mereka ini sudah dilakukan dengan dikeluarkannya Inpres no. 2/1980 dan Keppres 13/1980 awal tahun ini. Dengan Inpres ini diharapkan pemberian Surat Bukti Kewarganegaraan RI bisa dipercepat sebelum batas waktu 17 Agustus 1980, sedang Keppres 13/1980 mengatur mengenai pelaksanaan penyelesaian permohonan kewarganegaraan (naturalisasi). Kejelasan status para Cina perantauan ini memang diperlukan mengingat kebijaksanaan pemerintah RRC pada mereka ini tidak jelas. Jumlah Cina perantauan di Asia Tenggara sekitar 15 juta dan bagi Cina mereka ini penting sebagai sumber ekonomi dan politik. Pendiri Republik Cina, Sun Yat-sen adalah seorang Cina perantauan. Pemerintah Kuomintang pada 1929 menyatakan bahwa semua orang Cina, termasuk perantauan, adalah warganegara Cina. Pemerintah RRC kemudian mengambil sikap yang sama. Dalam Konstitusinya 1954 antara lain dinyatakan bahwa keanggotaan Kongres Rakyat Nasional juga meliputi warga Cina yang ada di luar negeri. Disebutkan juga bahwa RRC akan melindungi hak dan kepentingan yang adil dari warganya yang ada di luar negeri. Tapi pada Konstitusi 1975 pasal yang menyatakan hak keanggotaan Cina perantauan di Kongres Rakyat Nasional ditiadakan, walau kebijaksanaan untuk melindungi hak dan kepentingan mereka tetap dipertahankan. Perubahan Konstitusi yang dilakukan pada 1978 tak mengubah ketentuan itu. Jelas pemerintah RRC tetap mempertahankan hubungan dengan para Cina perantauan ini. Inilah yang menimbulkan kecurigaan beberapa pemerintah negara Asia Tenggara pada para warga Cina mereka. Rupanya untuk mengatasi itu, sejak 1957 RRC menganjurkan pada para Hoakiao untuk rneleburkan diri dengan masyarakat sekelilingnya termasuk menjadi warganegata setempat. Tapi Revolusi kebudayaan mengubah pandangan ini, dan para Hoakiao kemudian dianggap kaum borjuis atau kapitalis. Beijing mengubah sikapnya kembali pada 1977 tatkala Deng Xiao-ping kembali pada garis 1957 dengan menganjurkan para Hoakiao untuk patuh pada hukum negara tempat mereka tinggal dan menjadi warganegara setempat. Namun, kebijaksanaan baru itu -- seperti pernah tercermin dalam tajuk Jen-min jih pao -- tetap menganggap para Hoakiao itu "kawan dan keluarga kita". Tampaknya selama ketidakjelasan ini berlarut-larut pencairan hubungan diplomatik RI-RRC masih sulit dilaksanakan. Karena memang sulit menghilangkan sama sekali kekhawatiran, suatu waktu para Hoakiao ini akan bisa "dimanfaatkan" oleh RRC, selama ikatan formal itu tidak diputuskan. Masih ada lagi hal-hal lain. Sekalipun agaknya pendapat umum rakyat Indonesia sekarang ini sudah bisa menerima gagasan normalisasi, beberapa hal yang menyangkut "rasa" juga perlu dibereskan. Antara lain soal perlakuan pemerintah RRC pada para pelarian PKI yang ada di Beijing, perayaan Hari Ulang Tahun PKI dan sebagainya. Mungkin itu sebabnya suatu langkah khusus harus dilakukan sebelum langkah pertama ke arah pencairan hubungan diplomatik bisa dilakukan. Perutusan resmi pertama RRC, yang menurut suatu sumber akan tiba di Jakarta dalam beberapa bulan mendatang, rupanya mempunyai tugas itu: mengetuk pintu dan mengucapkan kulo nuwun. Bagaimanapun juga kebekuan hubungan diplomatik RI-RRC tidak lagi setebal dulu. Setelah 13 tahun, es itu mencair juga pelan-pelan. Sejak 1977 misalnya Perwakilan Tetap RI di New York telah ditunjuk sebagai satu-satunya saluran dalam rangka usaha pencairan hubungan diplomatik ini. Dan kunjungan tidak resmi para pejabat kedua negara sudah sering dilakukan. Walau keterlibatan RRC dalam G30S/PKI secara tuntas belum bisa diungkap, trauma selama 15 tahun yang menghinggapi rakyat Indonesia nampaknya makin berkurang. Kekhawatiran bahwa para tokoh PKI yang ada di Beijing bisa merupakan ancaman agaknya menghilang. "Orang-orang PKI yang kini dapat perlindungan di RRC sudah lanjut usia dan tidak lagi menjadi keklatan yang mengkhawatirkan. Dus tidak ada regenerasi PKI di RRC," kata Chalid Mawardi. Bagaimana tentang kemungkinan subversi komunis? "Ya kita gebuk, kalau memang kita sudah mampu," jawab Chalid. Infiltrasi dari Utara, kalaupun ada, pasti tak akan sehebat dulu. Apalagi keadaan di dalam negeri Naga itu sendiri sedang berubah 180 derajat: Mereka bahkan sedang berpikir-pikir untuk membongkar mausoleum Mao Tse-tung. Namun demikian beberapa pejabat dan anggota DPR kita toh beranggapan kunci berada pada pihak RRC untuk melanjutkan langkah pencairan. "Mereka yang lebih memerlukan kita. Kita tidak akan munduk-munduk (membungkuk-bungkuk) untuk meminta pemulihan hubungan diplomatik. Mereka yang harus lebih dulu minta maaf," kata seorang pejabat tinggi Deplu. Nah, kalau sampai waktunya pemimpin di Beijing itu mau mengaku salah, apakah Indonesia akan menyambutnya dengan "maaf lahir batin?" Jawab seorang pejabat intel yang mengetahui "ya mestinya begitu, menurut basa-basi diplomatik." Yah, mestinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus