Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tuhan tidak perlu dibela

Informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan islam sebenarnya tak perlu "dilayani". cukup di imbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang "positif konstruktif". tuhan tak perlu dibela.

26 Juni 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SARJANA X yang baru menamatkan studi di luar negeri pulang ke tanah air. Delapan tahun ia tinggal di negara yang tidak ada orang muslimnya sama sekali. Di sana juga, tak satu pun media massa Islam mencapainya. Jadi pantas sekali X terkejut ketika kembali ke tanah air. Di mana saja ia berada, selalu dilihatnya ekspresi kemarahan orang muslim. Dalam khotbah Jumat yang didengarnya seminggu sekali. Dalam majalah lslam dan pidato para mubaligh dan da'i. Terakhir ia mengikuti sebuah lokakarya. Di sana diikutinya dengan bingung uraian seorang ilmuwan eksakta tingkat top, yang menolak wawasan ilmiah yang diikuti mayoritas para ilmuwan seluruh dunia, dan mengajukan 'teori ilmu pengetahuan menurut Islam' sebagai alternatif. Bukan penampilan alternatif itu sendiri yang merisaukan sarjana yang baru pulang itu, melainkan kepahitan kepada wawasan ilmu pengetahuan modern yang terasa di sana. Juga idealisasi wawasan Islam yang juga belum jelas benar apa batasannya bagi ilmuwan yang berbicara itu. Semakin jauh X merambah 'rimba kemarahan' kaum muslimin itu, semakin luas dilihatnya wilayah yang dipersengketakan antara wawasan ideal kaum muslimin dan tuntutan modernisasi. Dilihatnya wajah berang di mana-mana: di arsip proses pelarangan atas cerpen Ki Panjikusmin Langit Makin Mendung. Dalam desah napas putus asa dari seorang aktivis organisasi Islam ketika ia mendapati X tetap saja tidak mau tunduk kepada keharusan menempatkan 'merk Islam' pada kedudukan tertinggi atas semua aspek kehidupan. X bahkan melihat wajah kemarahan itu dalam serangan yang tidak kunjung habis terhadap 'informasi salah' yang ditakuti akan menghancurkan Islam. Termasuk semua jenis ekspresi diri, dari soal berpakaian hingga tari Jaipongan. Walaupun gelar doktor diperolehnya dalam salah satu cabang disiplin ilmu-ilmu sosial, X masih dihadapkan pada kepusingan memberikan penilaian atas keadaan itu. Ia mampu memahami sebab-sebab munculnya gejala 'merasa terancam selalu' yang demikian itu. Ia mampu menerangkannya dari sudut pandangan ilmiah, namun ia tidak mampu menjawab bagaimana kaum muslimin sendiri dapat menyelesaikan masalah itu sendiri. Karena, menurut pemahamannya, gejala 'keberangan' itu menyangkut aspek ajaran agama yang paling inti. Di luar kompentensinya, keluhnya dalam hati. Karena itu diputuskannya untuk pulang kampung asal, menemui pamannya yang jadi kiai pesantren. Jagoan ilmu fiqih ini disegani karena pengakuan ulama lain atas ketepatan keputusan agama yang dikeluarkannya. Si 'paman kiai' juga merupakan perwujudan kesempurnaan perilaku beragama di mata orang banyak. Apa jawab yang diperoleh X ketika ia mengajukan 'kemusykilan' yang dihadapinya itu? "Kau sendiri yang tidak kemarahan itu adalah pelaksanaan {ugas amar ma'ruf nahi munkar," ujar sang paman dengan kelembutan yang mematikan. "Seharusnya kau pun bersikap begitu pula, jangan lalu menyalahkan mereka." Terdiam tidak dapat menjawab, X tetap tidak menemukan apa yang dicarinya. Orang muda ini lalu kembali ke ibukota. Mencari seorang cendekiawan muslim kelas kakap, siapa tahu dapat memberikan jawaban yang memuaskan hati. Dicari yang moderat, yang dianggap mampu menjembatani antara formalisme agama dan tantangan dunia modern kepada agama. Ternyata lagi-lagi kecewa. 'Sebenarnya kita harus bersyukur mereka masih mengemukakan gagasan alternatif parsial, sehingga Islam sendiri tidak dihadapkan sebagai alternatif ideologis terhadap tatanan yang ada!' demikian jawab yang diperolehnya. Ia tidak mampu mengerti mengapa kemarahan seperti - itu masih lebih baik dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Orang muda yang satu ini tercenung tanpa mampu merumuskan apa yang seharusnya ia pikirkan. Haruskah pola berpikirnya diubah secara mendasar, mengikuti keberangan itu sendiri? AKHIRNYA, ia diajak seorang kawan seprofesi untuk menemui seorang guru tarekat. Dan disitulah ia memperoleh kepuasan. Jawabannya ternyata sederhana saja. "Allah itu Maha Besar. Ia tidak memerlukan pembuktian akan kebesaranNya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya. "Al-Hujwiri mengatakan: bila engkau menganggap Allah ada hanya karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ia "menyulitkan" kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya." Kalau diikuti jalan pikiran kiai tarekat itu, informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu terlalu 'dilayani'. Cukup diimbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang "positif konstruktif". Kalau gawat, cukup dengan jawaban yang mendudukkan persoalan secara dewasa dan biasa-biasa saja. Tidak perlu dicari-cari. Islam perlu dikembangkan, tidak untuk dihadapkan kepada serangan orang. Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan orang. Maka ia pun tenteram. Tidak lagi merasa bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibe, walaupun juga tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus