SARJANA X yang baru menamatkan studi di luar negeri pulang ke
tanah air. Delapan tahun ia tinggal di negara yang tidak ada
orang muslimnya sama sekali. Di sana juga, tak satu pun media
massa Islam mencapainya.
Jadi pantas sekali X terkejut ketika kembali ke tanah air. Di
mana saja ia berada, selalu dilihatnya ekspresi kemarahan orang
muslim. Dalam khotbah Jumat yang didengarnya seminggu sekali.
Dalam majalah lslam dan pidato para mubaligh dan da'i.
Terakhir ia mengikuti sebuah lokakarya. Di sana diikutinya
dengan bingung uraian seorang ilmuwan eksakta tingkat top, yang
menolak wawasan ilmiah yang diikuti mayoritas para ilmuwan
seluruh dunia, dan mengajukan 'teori ilmu pengetahuan menurut
Islam' sebagai alternatif.
Bukan penampilan alternatif itu sendiri yang merisaukan sarjana
yang baru pulang itu, melainkan kepahitan kepada wawasan ilmu
pengetahuan modern yang terasa di sana. Juga idealisasi wawasan
Islam yang juga belum jelas benar apa batasannya bagi ilmuwan
yang berbicara itu.
Semakin jauh X merambah 'rimba kemarahan' kaum muslimin itu,
semakin luas dilihatnya wilayah yang dipersengketakan antara
wawasan ideal kaum muslimin dan tuntutan modernisasi. Dilihatnya
wajah berang di mana-mana: di arsip proses pelarangan atas
cerpen Ki Panjikusmin Langit Makin Mendung. Dalam desah napas
putus asa dari seorang aktivis organisasi Islam ketika ia
mendapati X tetap saja tidak mau tunduk kepada keharusan
menempatkan 'merk Islam' pada kedudukan tertinggi atas semua
aspek kehidupan. X bahkan melihat wajah kemarahan itu dalam
serangan yang tidak kunjung habis terhadap 'informasi salah'
yang ditakuti akan menghancurkan Islam. Termasuk semua jenis
ekspresi diri, dari soal berpakaian hingga tari Jaipongan.
Walaupun gelar doktor diperolehnya dalam salah satu cabang
disiplin ilmu-ilmu sosial, X masih dihadapkan pada kepusingan
memberikan penilaian atas keadaan itu. Ia mampu memahami
sebab-sebab munculnya gejala 'merasa terancam selalu' yang
demikian itu. Ia mampu menerangkannya dari sudut pandangan
ilmiah, namun ia tidak mampu menjawab bagaimana kaum muslimin
sendiri dapat menyelesaikan masalah itu sendiri. Karena, menurut
pemahamannya, gejala 'keberangan' itu menyangkut aspek ajaran
agama yang paling inti. Di luar kompentensinya, keluhnya dalam
hati.
Karena itu diputuskannya untuk pulang kampung asal, menemui
pamannya yang jadi kiai pesantren. Jagoan ilmu fiqih ini
disegani karena pengakuan ulama lain atas ketepatan keputusan
agama yang dikeluarkannya. Si 'paman kiai' juga merupakan
perwujudan kesempurnaan perilaku beragama di mata orang banyak.
Apa jawab yang diperoleh X ketika ia mengajukan 'kemusykilan'
yang dihadapinya itu? "Kau sendiri yang tidak kemarahan itu
adalah pelaksanaan {ugas amar ma'ruf nahi munkar," ujar sang
paman dengan kelembutan yang mematikan. "Seharusnya kau pun
bersikap begitu pula, jangan lalu menyalahkan mereka."
Terdiam tidak dapat menjawab, X tetap tidak menemukan apa yang
dicarinya. Orang muda ini lalu kembali ke ibukota. Mencari
seorang cendekiawan muslim kelas kakap, siapa tahu dapat
memberikan jawaban yang memuaskan hati. Dicari yang moderat,
yang dianggap mampu menjembatani antara formalisme agama dan
tantangan dunia modern kepada agama.
Ternyata lagi-lagi kecewa. 'Sebenarnya kita harus bersyukur
mereka masih mengemukakan gagasan alternatif parsial, sehingga
Islam sendiri tidak dihadapkan sebagai alternatif ideologis
terhadap tatanan yang ada!' demikian jawab yang diperolehnya. Ia
tidak mampu mengerti mengapa kemarahan seperti - itu masih lebih
baik dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Orang muda yang satu ini tercenung tanpa mampu merumuskan apa
yang seharusnya ia pikirkan. Haruskah pola berpikirnya diubah
secara mendasar, mengikuti keberangan itu sendiri?
AKHIRNYA, ia diajak seorang kawan seprofesi untuk menemui
seorang guru tarekat. Dan disitulah ia memperoleh kepuasan.
Jawabannya ternyata sederhana saja. "Allah itu Maha Besar. Ia
tidak memerlukan pembuktian akan kebesaranNya. Ia Maha Besar
karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama
sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas
kekuasaan-Nya.
"Al-Hujwiri mengatakan: bila engkau menganggap Allah ada hanya
karena engkau yang merumuskannya, hakikatnya engkau sudah
menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ia "menyulitkan"
kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya.
Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat
Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya."
Kalau diikuti jalan pikiran kiai tarekat itu, informasi dan
ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak
perlu terlalu 'dilayani'. Cukup diimbangi dengan informasi dan
ekspresi diri yang "positif konstruktif". Kalau gawat, cukup
dengan jawaban yang mendudukkan persoalan secara dewasa dan
biasa-biasa saja. Tidak perlu dicari-cari.
Islam perlu dikembangkan, tidak untuk dihadapkan kepada serangan
orang. Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan
adanya keraguan orang. Maka ia pun tenteram. Tidak lagi merasa
bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibe, walaupun juga
tidak menolak dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita
lihat dalam perkembangan di masa depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini