Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Terkenang cut satariah

Raker mahkamah agung dengan dep. agama dan pengadilan tinggi agama se-indonesia, untuk meningkatkan pembinaan badan peradilan agama dalam hubungannya dengan mahkamah agung. (ag)

26 Juni 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUDAH-mudahan tidak akan ada lagi kasus seperti yang menyangkut Cut Satariah . Perempuan Aceh ini, tanggal 14 Desember 1976 dicerai suaminya: si suami mengucapkan talaq di depan Kepala Kampung Blok Sawah, Sigli, Aceh Utara, di depan para saksi. Tapi agar sesuai dengan UU Perkawinan, ia kemudian mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama di Sigli. Tapi Pengadilan Agama, dalam sidang 26 Juli 1977, menolak permohonan cerainya. Padahal bukan saja talaq telah dijatuhkan. Masa iddah pun, yang menurut ketentuan agama berjangka 3 bulan 10 hari, sudah lewat -- dan tak ada ketentuan hakim agar mereka menikah lagi. Karena itu Rasyidin, si suami, naik banding ke Mahkamah Syariah Provinsi. Dan di situlah, 6 Desember 1977, Mahkamah Provinsi membatalkan keputusan bawahannya -- seraya memerintahkan membuka sidang "guna menyaksikan perceraian" mereka. Tapi Cut Satariah, entah siapa yang menunjukkan jalan, naik ke Mahkamah Agung (MA). Dan MA pun, 15 Maret 1979, ganti membatalkan keputusan Mahkamah Provinsi. Puyeng, bukan? Cut Satariah sendiri terbengong-bengong. Secara resmi, katanya, ia masih istri Rasyidin. Tapi ia insaf juga, menurut agama ia sudah lama bukan istrinya. Dan nasibnya tidak berubah. Sebab, kata Rasyidin: "Saya akan tetap mengakui putusan Mahkamah Syariah " Nah. Kasus itulah agaknya yang oleh seorang anggota DPR, Sjufri H. Tanjung dari F-PP, dikemukakannya dalam himbauannya sekitar MA, seperti dimuat Kompas 14 Juni. Yakni agar di MA ada "hakim agung yang benar-benar paham hukum Islam", minimal dua orang. Maklum pengangkatan 30 hakim agung sudah akan dilaksanakan dalam waktu dekat: diharap bulan Juli DPR sudah selesai menggodok para calon mereka. Tapi jawaban dari pihak MA membikin kaget si anggota DPR. Busthanul Arifin SH, Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama (singkatannya: Tuada Uldilag), dalam siaran persnya hanya sehari kemudian mernyebut pernyataan Sjufri sebagai "menunjukkan pengetahuan yang dangkal dari yang bersangkutan sendiri, baik mengenai hukum Islam maupun hukum pada umumnya." Sjufri terkejut. Ia kemudian mengakui, kepada TEMPO, di MA memang ada seorang ahli agama Islam, yang dikatakannya 'hebat' -- yakni Busthanul sendiri -- "walaupun ia tidak mampu memanfaatkan keahliannya." Katanya, lalu: "Usul saya itu sebenarnya untuk membantu Pak Busthanul, bukan untuk menikamnya." Tambahan lagi, kata lulusan Fakultas Tarbiah IAIN Sumatera Utara itu, "adanya hakim yang tahu hukum Islam itu sebenarnya keinginan seluruh umat Islam." Tapi masalah 'dualisme' peradilan di Indonesia, yang menyangkut hukum agama, bukan baru kali ini saja muncul. Pengajuan perkara Cut Satariah sendiri ke MA merupakan salah satu contoh: bukan Mahkamah Syariah Provinsi Aceh yang menyalurkan permintaan kasasi, melainkan Satariah sendiri. Pengadilan agama seolah tak mengakui MA sebagai atasan. Bahkan Direktur (waktu itu) Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, H. Ichtijanto SA, SH, menyatakan bahwa keputusan pengadilan agama tingkat banding bersifat final. Di samping memang belum ada undang-undang organik yang mengatur upaya kasasi untuk peradilan agama, juga kata Ichtijanto, dalam suratnya 1 Mei 1978 kepada ketua pengadilan agama tingkat I dan banding seluruh Indonesia, "karena hingga kini belum ada hakim agung bidang agama di Mahkamah Agung" (TEMPO, 14 April 1979). "Tapi itu dulu," kata H. Muchtar Zarkasyi SH, pengganti H. Ichtijanto, kepada TEMPO. Muchtar berbicara di sela-sela rapat kerja bersama MA dengan Departemen Agama dan pengadilan tinggi agama seluruh Indonesia, di Jakarta, 18-19 bulan ini. Raker bersama itu sendiri, yang bermaksud terutama untuk meningkatkan pembinaan badan peradilan agama dalam hubungannya dengan MA, merupakan bukti kerjasama. Ini bahkan sudah yang kedua kalinya -yang pertama 29 Mei 1981. Seperti dituturkan Muchtar (40 tahun, lulusan FH-UI, memangku jabatan sejak 14 April 1981), sejak setahun lalu sebenarnya sudah jelas peningkatan hubungan antara Departemen Agama dan MA yang kini di bawah Mudjono SH itu. Misalnya MA meminta tenaga, dan pihak peradilan agama memberikan dua orang sarjana fakultas syari'ah. Juga acapkali MA minta bantuan saksi ahli dari Departemen Agama, H. Wasith Aulawi MA, dalam mengambil putusan. Dan kemudian raker yang sudah dua kali ini. Jabatan Busthanul Arifin sendiri (lulusan Sumatera Thawalib Padang Panjang, madrasah yang didirikan ayab Hamka, sebelum ke fakultas hukum) di MA, sebagai Tuada Uldilag tadi, menegaskan fungsi MA dalam "membimbing, mengawasi, meliput dan mengayomi" peradilan agama, "khususnya di bidang teknis peradilan," seperti dikatakan Prawoto Gandasubrata SH, Wakil Ketua MA, dalam sambutan Raker. Menteri Agama, dalam pidato pengarahannya pada raker kemarin itu mengharapkan agar hubungan kerja kedua kalangan itu dapat mempertahankan keyakinan, bahwa hukum syariah "tidak diragukan sedikit pun penerapannya oleh pihak-pihak pencari keadilan." Tapi Menteri juga menyebut, bahwa terutama sebelum 1975 hakim dan aparat peradilan agama terdiri dari mereka yang sebenarnya tidak memiliki tingkat pendidikan yang benar-benar tinggi dalam hukum Islam. Tentu ada maksud perbaikan dalam kesadaran seperti itu. Khususnya sehubungan dengan kebutuhan pembaruan dalam pelaksanaan hukum Islam sendiri -- seperti yang sebagian sudah tertuang dalam UU Perkawinan -- sehubungan dengan munculnya "generasi baru" dalam kelembagaan hukum Islam. Dan hanya dengan begitu kasus seperti yang dialami Cut Satariah tidak akan berulang. Bukan hanya tidak cocoknya keputusan sebuah lembaga pengadilan dengan keyakinan keagamaan penduduk. Tapi juga pengertian akan perlindungan hukum agama kepada Satariah sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus