HIBURAN pada acara makan malam itu diawali dengan lagu Cina. Muncul dua pasang penari muda Cina, pakaian berkilaukilau, gendang kecil bertengger di pinggang, menari lincah meliuk-liuk. Memang seronok. Lalu disusul joget Melayu, yang ditarikan dua pasang muda-mudi, tidak kalah manis dan seronoknya. Pada acara ketiga tampil penari tunggal, gadis langsing keturunan India, menarikan tarian yang amat dinamis. Dengan begitu, terwakili sudah ketiga ras utama di negeri Malaysia. Dan itulah tarian Bhinneka Tunggal Ika Malaysia: tari-tarian Melayu, Cina, dan India. Rasanya, semacam bhinneka yang belum tunggal ika. Tapi apa mau dikata, orang harus tunduk sujud pada kenyataan sejarah dan kenyataan demografis. Kebhinnekaan ini malah bisa menegakkan bulu kuduk lantaran dua dari tiga komponennya bercikal bakal di negeri lain. Terutama cengkeraman akar Cina dalam kehidupan ekonomi cukup merisaukan. Bangsa Indonesia bisa bersyukur. Tiap kali menghidangkan acara Bhinneka Tunggal Ika, yang ditampilkan adalah keragaman kesenian dan kebudayaan pribumi Nusantara. Pilihan tersedia berlusin-lusin, lama dan baru, dari Sabang sampai Merauke. Tinggal pilih untuk disesuaikan dengan situasi dan anggaran belanja. Juga bisa menegakkan bulu kuduk bahwa, dalam urutan, tarian Cina yang kami saksikan ternyata mendahului tarian Melayu di negeri Melayu. "Anda jangan heran," kata seorang rekan. "Di Pulau Penang ini orang Cina mayoritas. Bukan cuma itu, gubernur (chief minister) d sini orang Cina." Pada hari yang sama, seperti halilintar di siang bolong, kebijaksanaan kependudukan yang baru muncul sebagai berita utama New Straits Times. Penduduk optimum Malaysia adalah 70 juta jiwa, begitu kata Pedana Menteri dr. Mahathir. Astagafirullah, target menjadi lima kali lipat penduduk 1980, yang berjumlah 13,9 juta. Coba bayangkan, Menteri Emil Salim atau Presiden Soeharto mencanangkan kelipatan yang sama (5 X 147,5 juta): penduduk optimum Indonesia sebesar 740 juta. Bisa terganggu tidur Dr. Haryono Suyono dan Prof. Otto Soemarwoto. Datin Dr. Noor Laily Aziz, dirjen Badan Keluarga Berencana Nasional Malaysia, pada Seminar Kependudukan di Cameron Highlands, Pahang (1981), dengan meyakinkan berkata begini. "Seperti Anda ketahui, menurunkan laju pertambahan penduduk melalui reduksi fertilitas tidak hanya menunjang pertumbuhan ekonomi yang mantap, tetapi juga menunjang perbaikan kesehatan dan kesejahteraan keluarga. Pada tingkat keluarga, praktek KB dapat dilihat sebagai kemajuan yang sehat dari keluarga, sehingga tiap anggota keluarga dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat pada umumnya. Pada tingkat makro, KB dilihat dalam rangka masalah kependudukan yang luas, yang mencakup faktorfaktor demografi, sosial, dan ekonomi, dengan anggapan bahwa aktivitas yang ditujukan kepada keluarga merupakan sarana untuk mencapai tujuan nasional." Sukar dibayangkan apa kata beliau sekarang. Program KB di Malaysia terpaksa banting setir menjadi Program Keluarga Besar. Mereka akan bicara tentang Norma Keluarga Besar yang Bahagia dan Sejahtera (NKBBS). Ibu-ibu teladan adalah mereka yang mempunyai anak banyak - barangkali delapan anak ke atas. Perlu mereka ciptakan textbook yang baru, karena semua yang ada merupakan macam-macam keterangan dan argumentasi tentang Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Dan apakah petugas pemerintah yakin bahwa keluarga besar akan membawa kesejahteraan? Jangan-jangan nanti seperti Bulgaria: usaha pemerintah meningkatkan angka kelahiran boleh dikatakan tidak berhasil. Di dalam literatur kependudukan Asia Tenggara, Malaysia menduduki tempat tersendiri. Sejak awal abad ke-19 sampai Perang Dunia I, migrasi internasional merupakan faktor penting dalam cepatnya pertambahan penduduk. Untuk kepentingannya, penjajah Inggris mendatangkan orang India dan Cina, guna membuka daerah pertanian dan pertambangan di tempat-tempat yang berpenduduk jarang. Pendatang bertambah dengan meningkatnya kebutuhan akan pekerja kasar pada kebun karet dan tambang timah. Pada Sensus Penduduk 1980, penduduk Malaysia berjumlah 13,9 juta. Terdiri dari orang Melayu 53%, Cina 35%, India dan Pakistan 10%, serta lainnya 2%. Secara demografis Melayu masih dominan, tetapi kemenangannya tipis bila kedua ras lainnya digabun. Dan perlu dicatat bahwa, dari sudut penurunan fertilitas, kelompok Cina dan India mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan Melayu. Dari 1947 sampai 1970 TFT (Tingkat Fertilitas Total) Cina di Malaysia Barat turun 34,7%, dari 7,2 menjadi 4,7. TFT India dan Pakistan turun 38,0%, dari 7,9 menjadi 4,9 dan TFT Melayu turun 13,3%, dari 6,0 menjadi 5,2. Keadaan menjadi terbalik. Tingkat fertilitas Melayu sudah lebih tinggi dari kedua kelompok lainnya. Kemajuan sosial ekonomi, peningkatan usia kawin, dan Program KB sudah memberikan sumbangsihnya kepada penurunan fertilitas di Malaysia. Dewasa ini tingkat fertilitas kurang lebih sama dengan Indonesia: Tingkat Kelahiran Kasar sebesar 31 dan Tingkat Fertilitas Total 4,3. Namun, karena tingkat kematian juga menurun denan pesat, tingkat pertambahan penduduk masih tinggi. Dengan Tingkat Kematian Kasar sebesar 7 (atau separuhnya Indonesia), tingkat pertambahan penduduk 2,4% setahun. Menurut perkiraan Population Reference Bureau, penduduk Malaysia yang berjumlah 15,0 juta pada 1983 akan menjadi 21,1 juta pada 2000, dan 27,3 juta pada 2020 - kalau trend sekarang berjalan terus. Jadi, untuk mencapai penduduk optimum 70 juta itu dalam waktu yang tidak sangat lama, trend ini perlu dirombak secara menyeluruh. Selesai menonton tarian itu, saya perbincangkan dengan rekan dari Malaysia perihal kebijaksanaan dr. Mahathir yang baru itu. Apakah asumsinya benar? Konsekuensinya terhadap lingkunan? Apakah ada alasan terselubung, supaya Melayu secara demografis lebih kuat? Tetapi apakah itu bukan bumerang - akibat beranak banyak, keadaan sosial ekonomi orang Melayu bisa lebih tercecer ketimbang orang Cina dan India? Pembicaraan sampai kepada mendatangkan orang Indonesia secara besar-besaran, pendatang halal dan pendatang haram. Dan rekan saya tersenyum lebar. - Tidak. Minta ampun. Di Kuala Lumpur, citra orang Indonesia sudah rusak, perlu diperbaiki. Kalau ada pencurian dan perampokan, tentu penjahatnya orang Indonesia. Tidak cuma merampok tetapi juga memperkosa. Dan kami tidak punya penembak misterius. - Kalau begitu, jangan-jangan Anda merasa lebih mudah menangani orang Cina dan India ketimbang orang Indonesia. - Ha ha haa.... Saya kira begitu. Susah menjinakkan orang Indonesia. - Tetapi ini serius. Kalau banyak keturunan Indonesia di Malaysia, Anda mempunyai keuntungan berlipat ganda. Anda akan mempunyai acara Bhinneka Tunggal Ika yang semarak, dengan urutan: Tari Melayu, Tari Dayak, Tari Minang, Tari Jawa, Tari Sunda, Tari Bugis, Tari Bawean, Tari Batak, Tari Cina, dan Tari India. - Waduh, malah lebih menakutkan lagi. Ha ha haa.... - Ha ha haa ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini