Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Sudibyo
Kata ”republik” dalam nama Televisi Republik Indonesia tentu bukan sekadar jargon. Kata itu merujuk pada cita-cita dan semangat luhur: agar stasiun televisi itu ikut berperan menguatkan kultur suatu masyarakat. TVRI jelas berbeda dengan televisi swasta. Yang terakhir adalah lembaga komersial karena dimiliki oleh swasta. TVRI sebaliknya: ia (seharusnya) mengutamakan agenda publik.
Namun, melihat TVRI belakangan, cita-cita itu jauh panggang dari api. Pertama, dari siaran dan pesan yang disampaikannya, sulit mencari perbedaan TVRI dan stasiun televisi komersial. Jika kita menutup pojok atas layar televisi, tempat logo TVRI tertera, sulit menyadari bahwa kita sedang menonton stasiun itu. Jenis program, orientasi dan materi siaran, pendekatan dan gaya penyajian TVRI setali tiga uang dengan televisi komersial. Tidak ada yang khas pada program TVRI, yang mencerminkan karakternya sebagai lembaga penyiaran publik.
Kedua, yang lebih sering sampai ke telinga publik adalah kabar tak sedap tentang konflik internal yang tak ada ujungnya. Rezim telah berganti, politik telah berubah, namun TVRI terus-menerus menjadi sasaran kepentingan pelbagai kekuatan politik.
TVRI pasca-1998 menjadi arena pertarungan antara keinginan untuk membangun lembaga penyiaran publik yang ideal dan kehendak untuk mempertahankan TVRI sebagai media pemerintah. Pertarungan ini tidak otomatis usai ketika DPR menjadikan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik seperti tecermin dalam UU Penyiaran Nomor 32/2002. Pemerintah tak mendukung secara politik, terutama dalam hal bujet.
Pemerintah lalu menjadikan TVRI menjadi BUMN. Statusnya diubah dari perusahaan jawatan menjadi perseroan terbatas. Tujuannya agar lebih berorientasi pada profit. Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai visi tentang lembaga penyiaran publik.
Lebih serius dari itu, pemerintah juga masih memandang pers dengan paradigma lama. Media masih dipandang sebagai ”mitra pemerintah”, sebagai ”perangkat pembangunan nasional”. TVRI masih dipandang sebagai ”anak” yang tak boleh kritis terhadap orang tua.
Memberikan peranan yang lebih besar kepada DPR untuk menentukan nasib TVRI juga menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, secara legal formal, ini berarti pemerintah memberikan peluang kepada publik untuk turut menentukan nasib dan eksistensi TVRI. Di lain pihak, kebijakan ini berarti mengundang partai politik untuk menancapkan kepentingannya di stasiun televisi tertua di Indonesia itu.
Apakah TVRI akan menjadi penyalur aspirasi publik atau penyalur kepentingan partai politik? Jawaban atas pertanyaan ini sangat ditentukan oleh apakah keputusan-keputusan pemerintah tentang TVRI dilandasi pertimbangan idealis-profesional atau pertimbangan politik praktis. Apakah agenda restrukturisasi TVRI mencerminkan keinginan untuk mengefisienkan dan meningkatkan produktivitas stasiun itu atau mencerminkan kebutuhan partai politik menjelang pemilu 2009. Untuk yang terakhir, publik sangat mudah merasakan: ribut-ribut soal TVRI selalu terjadi menjelang pemilihan legislator dan pemilihan presiden.
Kebutuhan orang ramai agar TVRI menjadi televisi publik sulit ditampik. Televisi swasta yang berorientasi profit sulit diharapkan menjadi lembaga penerangan publik yang fair. Itulah sebabnya memelihara mimpi tentang TVRI sebagai lembaga publik tetap harus dilakukan, meski kita tahu mewujudkan mimpi itu sama sulitnya dengan menggapai awang-awang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo