Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asvi Warman Adam
KONTROVERSI sejarah tak pernah usai. Kini guru dan siswa dibingungkan oleh kurikulum baru yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22, 23, 24 Tahun 2006. Dalam kurikulum tersebut, istilah Gerakan 30 September dibakukan menjadi G30S/PKI, seperti yang digunakan pada masa Orde Baru.
Padahal, pada era reformasi, media massa sudah memuat tulisan dan wawancara di televisi tentang berbagai versi mengenai percobaan kudeta 1965. Selain itu, periodisasi sejarah Indonesia setelah merdeka dibagi atas tiga babak: 1945–1955 (masa awal kemerdekaan), 1955–1967 (Orde Lama), dan 1967–1998 (Orde Baru). Pembabakan semacam ini menimbulkan pertanyaan dan kontroversi baru.
Kebingungan masyarakat itu telah dimulai sejak Soeharto berhenti menjadi presiden, Mei 1998, ketika bermunculan tulisan di media massa dan buku tentang sejarah masa Orde Baru, yang berbeda dengan yang diajarkan selama ini di sekolah. Masyarakat, terutama guru dan siswa, bertanya-tanya tentang kebenaran sejarah.
Untuk mengatasi masalah ini, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan pedoman bagi guru mengenai aspek kontroversial dalam sejarah Indonesia. Dalam pedoman yang proses penerbitannya juga kontroversial dijelaskan secara singkat tentang berbagai kasus, seperti Serangan Umum 1 Maret 1949, Gerakan 30 September, Supersemar, dan Timor Timur.
Pedoman itu masih memiliki berbagai kekurangan. Karena itu, direncanakan penerbitan buku standar Sejarah Indonesia sebagai pengganti buku Sejarah Nasional Indonesia yang ditulis pada 1970-an. Namun, buku yang, konon, akan terdiri atas delapan jilid itu belum terbit sampai sekarang. Yang sudah selesai dicetak baru sampul depannya.
Dengan demikian, sampai hari ini terdapat kevakuman dalam pembenahan pengajaran sejarah di Indonesia. Sebab, buku pelajaran sejarah selama ini ditulis dengan mengacu kepada buku standar tersebut. Sementara kurikulum baru (KTSP, kurikulum tingkat satuan pendidikan) 2006 masih belum tersosialisasi dengan baik.
Sebetulnya, sejak 2001 pemerintah sudah mempersiapkan kurikulum berbasis kompetensi, yang kemudian disebut kurikulum 2004. Namun, kurikulum itu diganti. Alasannya, kurikulum 2004 itu belum pernah disahkan oleh Menteri, tetapi buku pedoman dan disket kurikulum 2004 itu sudah tersebar ke sekolah-sekolah.
Belajar dari Filipina
KITA perlu belajar dari negara tetangga, Filipina, tentang bagaimana menyelesaikan persoalan pelik dalam bidang sejarah. Sejak zaman kolonial negara ini sudah memiliki komisi sejarah dengan tujuan dan cakupan wewenang yang berbeda. Enam bulan setelah merdeka, dibentuk Komisi Sejarah Filipina pada 1947 yang berada di bawah presiden.
Sekitar 400 monumen atau patung bersejarah dibangun dalam rangka mengembangkan nasionalisme melalui sejarah. Yang menarik adalah monumen perjuangan yang ada di Lapu-Lapu, sebuah kota kecil di Pulau Cebu. Pada bagian depan monumen itu tertulis ”Di tempat ini Ferdinand Magellan meninggal 27 April 1521 karena terluka dalam berhadapan dengan prajurit yang dipimpin oleh Lapu-Lapu, tokoh Pulau Machtan.”
Tugu peringatan itu dibuat pada masa kolonial, 1941. Namun, pada 1958, di belakang monumen itu dicantumkan tulisan yang berbeda: ”Di tempat ini terjadi pertempuran pada 27 April 1521 antara orang-orang Filipina yang dipimpin oleh Lapu-Lapu dan Spanyol yang dipimpin oleh Magellan. Dalam pertempuran yang dimenangkan oleh orang-orang Filipina, Magellan dibunuh dan Lapu-Lapu dianggap sebagai orang Filipina pertama yang menentang agresi bangsa Eropa.”
Pada era Marcos, 1972, kegiatan komisi ini ditertibkan dengan mengubahnya menjadi Institut Nasional Sejarah, yang lebih menitikberatkan perhatian pada penelitian akademis. Setelah Marcos jatuh, lembaga ini tidak berubah namanya, namun kembali menjalankan juga fungsi semula, yakni mengembangkan nasionalisme melalui sejarah.
Lembaga ini memberi masukan dalam penyusunan buku teks sejarah, juga dalam penentuan mata uang yang terkait sejarah. Dipersoalkan, misalnya, mengapa gambar pahlawan Filipina, Jose Rizal, digunakan pada mata uang satu peso, sedangkan tokoh lainnya lebih tinggi nilainya.
Di Indonesia, penentuan tokoh sebagai ilustrasi mata uang ini kelihatannya semata-mata tergantung dari Bank Indonesia. Institut Nasional Sejarah di Filipina juga mengurus nama-nama jalan, nama kota (kalau di Indonesia tentunya termasuk nama kabupaten yang mengalami pemekaran), bahkan nama lapangan di dalam kota. Dewasa ini mereka sedang meneliti kembali bintang delapan pada bendera Filipina yang dulu ditetapkan tanpa mengakomodasi kepentingan kelompok muslim di Mindanao.
Jadi, di Indonesia, kewenangan yang tersebar di berbagai departemen dan lembaga seperti Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Sosial, dan Sekretariat Militer Presiden (dalam menetapkan pahlawan nasional dan pemberian tanda jasa) bisa dialihkan kepada Komisi Nasional Sejarah yang langsung berada di bawah presiden. Komisi ini pula yang memberi masukan dalam pendidikan sejarah di sekolah.
Ketika muncul pertanyaan apakah Susilo Bambang Yudhoyono Presiden RI yang ke-6 atau ke-8 (termasuk Syafruddin Prawiranegara, Ketua PDRI, dan Asaat, Pemangku Jabatan Presiden RI ketika RI menjadi bagian dari RIS), maka komisi ini pula yang bertugas menjawabnya. Komisi Nasional Sejarah perlu dibentuk agar berbagai kontroversi historis dapat diselesaikan dengan baik dan tanpa ragu-ragu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo