Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agung Y. Achmad
Bahasa mencerminkan budaya bangsa. Pada banyak kesempatan setiap bangsa berhak diwakili pemimpinnya. Ia terpilih karena dipercaya mampu membahasakan kepentingan—dan sentimen kolektif—bangsanya. Karena itu, mengandaikan seorang pemimpin yang piawai berbahasa dalam konteks penyelenggaraan negara dan kehidupan berbangsa bukanlah hal yang remeh-temeh. Ucapan sang pemimpin, sebagai bagian dari praktek berbahasa yang berbudaya, memiliki makna dan implikasi luas.
Bagaimana kapasitas para calon pemimpin negeri ini?
Inilah pekan-pekan terakhir bagi masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden, yang didukung tim sukses yang di dalamnya terdapat sejumlah pakar lintas disiplin ilmu dan bidang keahlian, melakukan aksi politik pencitraan dan kampanye. Aktivitas ini sarat akan urusan kebahasaan, seperti term, slogan, idiom, atau frasa tertentu.
Pasangan Mega-Pro, misalnya, mengusung slogan ekonomi kerakyatan sebagai ikon utama kampanyenya. Menjadikan terminologi ini sebagai arus utama tentu saja sebuah positioning yang disengaja, selain memanfaatkan image kurang sedap neoliberalis yang menempel pada sosok Boediono yang berpasangan dengan SBY, pesaingnya. Sebaliknya, SBY-Boediono memajukan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai bukti keberpihakan pasangan ini terhadap nasib rakyat. Karena itu, pasangan ini mematok slogan: ”Lanjutkan!”
Pasangan JK-Win tak mau kalah. JK mengklaim bahwa BLT adalah gagasan yang ia cetuskan di sidang kabinet sebelum menjadi kebijakan pemerintah. Selanjutnya, citra yang dibangun adalah pasangan JK-Win pantas memimpin Indonesia karena lebih memahami persoalan birokrasi dan negara. Karena itu, JK-Win memajang slogan ”lebih cepat lebih baik”.
Hampir tidak ada persoalan bahasa pada slogan-slogan di atas. Gabungan dua kata atau lebih itu bersifat nonpredikatif. Dari sisi komunikasi verbal, masalahnya hanya terletak pada seberapa konsisten para kandidat itu untuk tidak melontarkan term-term yang bertentangan dengan image yang sudah mereka bangun. Selanjutnya, publik memberikan penilaian.
Uji validitas itu telah terjadi. Dan di sini kualitas berbahasa para kandidat tersibak, lantaran menyiratkan konteks nonlingualnya yang suram. Ketiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden berebut isu ”kerakyatan”, khususnya JK dan SBY, pada kasus Bantuan Langsung Tunai. Isu ekonomi kalangan rakyat banyak ini tentu saja strategis. Masalahnya, tersedia banyak nomenklatur kerakyatan, misalnya ”Politik Berdikari” seperti yang pernah dikemukakan Bung Karno pada 17 Agustus 1965, atau Trisakti Tavip (Tahun Vivere Pericoloso) persis setahun sebelumnya.
Gejala sindir-menyindir antarkandidat itu, selain bergaya jadul, memperlihatkan bahwa elite di negeri ini umumnya ciut khazanah bahasanya. Alih-alih cerdas memilih diksi, mereka tidak jeli terhadap implikasi yang ditimbulkan oleh teks-teks yang mereka tulis atau ucapkan. Selama 63 tahun merdeka, negeri ini tak pernah dipimpin seorang presiden yang ucapan-ucapannya segar dan unik seperti Bung Karno. Pidato-pidatonya sangat berkelas dan penuh referensi.
Otentisitas ucapan seorang presiden adalah bukti kematangan seorang negarawan. Melalui cara itulah rakyat mengetahui di mana posisi sang pemimpin terhadap persoalan bangsa.
Lebih dari sekadar teks (slogan, idiom, frasa), pidato atau artikulasi seorang presiden senantiasa tidak terlepas dari konteks nonlingualnya. Publik tidak akan melulu menilai secara leksikal artikulasi pemimpinnya, tetapi juga akan memeriksa ulang ke komitmen moral, reputasi, dan integritas sang pemimpin, terutama dalam situasi sulit demi kepentingan negara, dan seterusnya. Bila konteks nonlingualnya bertentangan dengan teks yang dia ucapkan atau dia tulis, dengan mudah rakyat akan mengatakan: ”pemimpin kami bohong”.
Mengacu kepada idiom, frasa, atau terminologi para kandidat di atas, kita berhak bertanya: bagaimana seorang elite bisa dipercaya prorakyat bila ia punya ”hobi” menjual aset-aset negara, atau ia sendiri dibesarkan dan berdiri di dalam jejaring kapitalisme? Mungkinkah seseorang yang citranya gagah akan benar-benar menjadi presiden berkelas, sementara ia—sungguh—tak sekuat yang rakyat bayangkan?
Kata-kata seorang pemimpin meniscayakan kearifan tertentu. Bangsa ini telah lama menunggu kehadiran seorang presiden yang cerdas dan lugas tutur bahasanya, berselera humor tinggi, menebar keceriaan, merefleksikan situasi kerakyatan yang kental, dan yang ucapannya berhak mewakili suara hati lebih dari dua ratus juta orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo