Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Undang-Undang Penjerat Mafia

21 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA gara-gara bersenggolan, seorang anak muda tewas tertusuk di sebuah kafe di kawasan Kemang dua pekan lalu. Sebuah kejadian yang sebenarnya tidak luar biasa di kota besar seperti Jakarta ini. Namun, yang membuatnya jadi pembicaraan di Ibu Kota, sampai sejauh ini belum ada seorang pun yang ditangkap. Padahal polisi sudah meminta keterangan 47 orang. Penusukan terjadi di ruang yang sedang dipenuhi 300-an pengunjung.

Kelambanan polisi menguak kasus ini wajar jika meruapkan kecurigaan, terutama karena pembunuhan ini diawali pertengkaran dua kelompok anak muda dari kalangan elite Jakarta. Adakah keterlibatan "orang kuat" sehingga membuat polisi sungkan menjalankan kewajibannya?

Pertanyaan ini meruyak karena tersulut kesan takutnya para saksi memberikan keterangan. Paling tidak, itulah informasi yang menyebar melalui beragam perangkat komunikasi masyarakat. Apalagi tawaran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, lembaga resmi yang dibentuk untuk memberikan perlindungan pada saksi, pun tak disambut. Maka dugaan bahwa peristiwa ini melibatkan sosok yang ditakuti orang ramai jadi mudah dipercaya.

Sebagian masyarakat lantas membisikkan kata "mafia" sebagai sumber terbitnya kegentaran para saksi. Bila sangkaan itu benar, polisi memang akan mengalami kesulitan membawa kasus pembunuhan ini ke pengadilan. Tanpa ada yang berani jadi saksi, polisi akan kekurangan bukti untuk meyakinkan jaksa dan hakim bahwa tersangka yang diprosesnya siap diajukan ke meja hijau.

Melawan mafia memang tak mungkin dilakukan dengan mengandalkan hukum konvensional seperti diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di semua penjuru bumi. Itu sebabnya di berbagai negara dibentuk undang-undang khusus untuk memberantas mafia, sebutan untuk kegiatan kriminal yang terorganisasi. Salah satu pelopornya adalah Amerika Serikat, yang melahirkan Undang-Undang RICO pada 1970, yang terbukti cukup ampuh menghancurkan berbagai jaringan mafia di negeri itu.

Undang-undang pemberantasan mafia pada dasarnya memudahkan pembuktian kegiatan kriminal terorganisasi dengan memaparkan tak hanya tindakan kriminal pelaku, tapi juga entitasnya. Keterlibatan sebuah organisasi dalam tindakan kriminal yang terpola dalam rentang sepuluh tahun jadi bukti yang sah untuk menghukum pimpinan organisasi tersebut puluhan tahun penjara. Tindakan mengancam saksi korban atau saksi pelaku yang memilih bekerja sama dengan aparat hukum (justice collaborator) juga dinyatakan sebagai pelanggaran hukum berat.

Ancaman atau pola perintah melakukan tindak pidana pun tak perlu dibuktikan dalam bentuk keterangan saksi, tapi bisa berupa hasil penyadapan. Ini terbukti menjadi jurus ampuh dalam menjerat para don mafia di Amerika Serikat dan pasti akan bermanfaat di Indonesia karena KUHP belum mengakui hasil rekaman elektronik sebagai bukti.

Jurus lain yang tak kalah saktinya adalah kewenangan yang diberikan untuk menyita aset para tersangka kejahatan terorganisasi dalam waktu segera. Ini mengakibatkan para bos mafia jadi kesulitan membayar pengacara mahal. Ditambah lagi korban kejahatan terorganisasi diberi hak menggugat pelaku kejahatan terorganisasi dan mendapatkan kompensasi tiga kali lipat dari kerugian yang dideritanya. Walhasil, para pemimpin mafia tak hanya meringkuk di penjara dalam waktu amat lama, tapi juga dimiskinkan.

Para anggota jaringan mafia ini bukan hanya anggota masyarakat biasa. Sebuah pos polisi—termasuk wakil kepala pos itu di Amerika—sempat dinyatakan sebagai entitas kejahatan terorganisasi karena menjadi bagian dari jaringan pengedaran narkoba. Jaksa, hakim, politikus busuk, dan pengacara hitam yang menjadi bagian dari kejahatan terorganisasi juga dapat dijerat dengan undang-undang ini.

Keberhasilan Undang-Undang RICO sebagai senjata hukum untuk memberantas mafia ini membuat banyak negara lain merasa perlu melakukan hal yang sama. Di Jerman, keampuhannya serupa. Inggris dalam tiga tahun saja berhasil menjerat 5.000-an anggota jaringan kejahatan terorganisasi.

Kini masyarakat Indonesia mulai menjadi korban kejahatan terorganisasi dan melihat dengan terang-benderang bagaimana tak berdayanya aparat hukum bila berhadapan dengan mafia. Maka inilah saatnya Indonesia menyusun undang-undang khusus seperti RICO dan menggunakannya untuk memberantas mafia di republik kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus