Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA Presiden Joko Widodo mengangkat relawan dan orang-orang dari partai pendukungnya ke berbagai jabatan penting di badan usaha milik negara, inilah caranya membayar utang budi politik. Sebetulnya cara ini bukan barang baru, malah sudah dianggap lazim. Presiden-presiden RI sebelumnya pun melakukan hal yang sama. Tapi lazim tak selalu benar.
Kebiasaan yang seolah-olah "mentradisi" itu semestinya dilakukan hati-hati. Prinsip "the right man on the right place" haruslah tetap menjadi acuan utama. Gelombang membalas budi itu dimulai tak lama setelah Jokowi dilantik sebagai presiden. Pada akhir 2014, Jenderal TNI Purnawirawan Budiman, bekas KSAD yang santer dikabarkan sebagai pendukung Jokowi, diangkat sebagai komisaris PT PLN.
Berikutnya menyusul Diaz Hendropriyono, anak Jenderal Purnawirawan A.M. Hendropriyono. Diaz, yang dulu Ketua Tim Sukses Kawan Jokowi-salah satu sayap relawan-ditempatkan sebagai komisaris di PT Telkomsel. Sampai sekarang setidaknya sudah 16 orang mengisi jabatan penting di BUMN-umumnya sebagai komisaris. Ada yang namanya sudah dikenal publik, ada pula yang selama ini bekerja di balik layar sehingga namanya terdengar asing.
Memang tak ada pelanggaran aturan atas penunjukan itu. Pemerintah adalah pemegang saham BUMN. Sebagai pemegang saham, pemerintah berhak memilih orang untuk ditempatkan di sana. Biasanya penempatan dilakukan sebagai "kompensasi" atas jabatan lain dari orang yang ditunjuk. Kompensasi diberikan karena gaji dari jabatan itu dianggap kurang sehingga perlu diberi tambahan dengan menjadi komisaris. Maka, sudah lama berlaku, staf khusus presiden atau wakil presiden, misalnya, biasanya juga menjadi komisaris di salah satu BUMN.
Penempatan seperti itu dianggap masih patut karena mereka adalah pejabat negara sehingga penunjukan sebagai petinggi di BUMN pun merupakan bagian dari penugasan sebagai pejabat negara. Tentu ada syaratnya, yaitu mereka mesti memiliki kompetensi sehingga layak menjabat komisaris. Bagaimanapun, komisaris adalah posisi penting. Mereka bertugas mengawasi kinerja direksi perusahaan milik negara itu.
Asas kepatutan itu akan terganggu bila ujuk-ujuk seseorang dari kalangan relawan atau partai politik memegang posisi penting BUMN. Pertanyaannya, karena mereka bukan pemegang jabatan setara dengan pejabat negara, dasar penunjukan mereka sebagai apa? Pertanyaan ini layak diajukan karena penunjukan serampangan berpotensi merugikan BUMN yang kebagian "penugasan" itu. Apalagi ada sebuah BUMN yang empat dari tujuh komisarisnya berasal dari relawan atau politikus.
Semestinya Jokowi, yang pada saat kampanye pemilihan presiden menjanjikan pemerintahan terbuka dan bebas kolusi, mempertimbangkan soal ini. Tak ada larangan menunjuk seseorang menjadi komisaris BUMN, tapi harus melalui seleksi ketat. Meski tak ada ketentuan bahwa komisaris harus melalui uji kepatutan, analisis atas rekam jejak serta kompetensinya tetap diperlukan, demi terwujudnya asas pemerintahan yang terbuka dan profesional.
Seharusnya pula kinerja para komisaris itu dievaluasi dengan ketat. Perlu dibentuk tim ad hoc independen yang melakukan seleksi dan penilaian pelaksanaan tugas mereka. Jika ternyata tak mampu menjalankan tugas, sudah selayaknya komisaris itu diganti, tak perlu menunggu periode kepresidenan Jokowi usai. Masih banyak orang lain yang mampu mengemban fungsi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo