Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA Pertamina menghapus bensin Premium sebetulnya layak dipuji. Upaya ini sesuai dengan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi, badan ad hoc yang dibentuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, November tahun lalu. Namun, bermaksud menekan ruang gerak mafia minyak yang selama ini bermain di arena pengadaan Premium, Pertamina malah terkesan setengah hati.
Premium bakal digantikan Pertalite, bahan bakar dengan kadar research octane number (RON) 90-dua poin di atas Premium. Kedua varian tidak diproduksi di dunia sehingga tidak memiliki harga pembanding. Acuan internasional yang sering digunakan, Means of Platts Singapore (MOPS), hanya berlaku untuk bahan bakar dengan RON 92 atau di atasnya. Ketiadaan standar inilah yang membuat pengadaan Premium mudah dimanipulasi.
Rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas adalah menghapus total Premium. Itu poin penting menyusul penghapusan subsidi bahan bakar minyak, yang memungkinkan pemerintah menghemat Rp 205 triliun anggaran tahun ini.
Berdasarkan penelusuran tim yang diketuai Faisal Basri itu, salah satu pintu strategis mafia migas adalah pengadaan. Impor minyak, misalnya, sengaja dibuat tidak transparan, baik proses tender, penentuan harga, maupun standar kualitasnya. Kasus impor minyak mentah Zatapi, pada 2008, adalah bukti. Pemasok mengklaim Zatapi lebih murah US$ 0,28 daripada harga pasaran-klaim yang tak pernah diuji kebenarannya. Investigasi majalah ini memastikan bahwa kualitas Zatapi jauh lebih rendah dari seharusnya.
Pengadaan minyak mentah untuk Premium jelas makanan yang gurih, terutama sebelum kebijakan subsidi dicabut Presiden Joko Widodo. Atas nama ketersediaan bahan bakar minyak, pengadaan Premium tak boleh tersendat. Publik tak tahu persis batasan volume impor, juga ke mana saja Premium mengalir-tidak mustahil sebagian diselundupkan ke luar negeri. Situasi ini, menurut Tim Reformasi, tidak banyak berubah setelah kebijakan subsidi dicabut. Premium tetap gurih. Kualitas dan harganya yang lebih rendah daripada Pertamax membuat masyarakat lebih suka mengkonsumsi Premium.
Kini Pertamina memunculkan Pertalite. Menurut Pertamina, ini dilakukan karena konsumen menginginkan bensin dengan kualitas lebih baik tapi lebih murah daripada Pertamax. Nantinya, Pertalite akan dijual Rp 8.000 per liter, ada di tengah harga Premium (Rp 7.600 per liter) dan Pertamax (Rp 8.600 per liter).
Dengan kata lain, secara fundamental, lakon tak berubah. Rantai produksi Pertalite sama saja dengan Premium. Bensin dengan oktan tinggi dicampur dengan sejumlah zat aditif untuk menurunkan angka oktan. Mafia migas dengan mudah memanfaatkan situasi ini.
Menteri Energi Sudirman Said semestinya memahami permainan ini. Ia tidak boleh abai apalagi menyerah dengan argumentasi bahwa Pertamina belum memiliki kilang untuk menampung bahan bakar beroktan 92. Selama bensin tanpa patokan harga internasional tetap diproduksi, selama itu pula mafia migas terus beraksi.
Jika benar Presiden Joko Widodo ingin memberantas mafia migas seperti yang kerap dia janjikan, menghapus total Premium langkah yang tepat-sesuatu yang tak bisa dilakukan setengah hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo