Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemalsuan vaksin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Setelah 13 tahun, para orang tua yang mengharapkan bayinya memiliki kekebalan tubuh agar lebih kuat menghadapi penyakit seperti campak dan polio ternyata harus menerima kenyataan pahit. Cairan yang disuntikkan ke tubuh atau diteteskan lewat mulut buah hatinya itu ternyata tidak menimbulkan imunitas. Vaksin tersebut justru berisiko pada kesehatan sang bayi.
Bukan hanya karena kandungannya berisi 0,5 cc cairan antibiotik yang tak berkaitan dengan urusan kekebalan bayi, melainkan juga karena proses pembuatannya sama sekali tidak steril. Menurut pengakuan pembuatnya, mereka memasukkan cairan vaksin abal-abal itu ke dalam botol bekas vaksin asli yang diperoleh dari rumah sakit. Jelaslah vaksin palsu ini mengandung berbagai cemaran berbahaya.
Dengan cara itu, para pemalsu dapat menekan ongkos produksi serendah-rendahnya sekaligus meraup keuntungan setinggi-tingginya. Mereka juga lihai karena mampu mengelabui para calon konsumen, yang percaya bahwa vaksin yang diinjeksikan ke tubuh anak mereka itu asli. Kita tidak tahu berapa banyak bayi dan anak-anak yang tidak pernah akan memiliki daya tahan yang kuat terhadap serangan campak, polio, tetanus, atau hepatitis B.
Celakanya, sejak Kepolisian Indonesia mengumumkan kasus ini dua bulan lalu, publik hanya tahu ada 38 klinik, rumah sakit, dan apotek yang sudah menyebarluaskan vaksin palsu ini. Publik cemas dan diliputi ketidakpastian soal seberapa luas peredaran vaksin ini. Kecemasan kian bertambah karena ini merupakan kejahatan terorganisasi yang melibatkan banyak pelaku di sejumlah wilayah. Kepolisian atau Kementerian Kesehatan mesti mengumumkannya untuk menenangkan publik.
Kepolisian pun sebaiknya bergegas membawa kasus ini ke pengadilan. Para pelaku sangat layak dihukum maksimal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Baik para pembuat maupun pengedar obat palsu bisa dipidana paling lama 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar. Hukuman maksimal ini perlu diberikan untuk memberikan efek jera sekaligus mencegah terulangnya tindakan serupa.
Di luar tindakan hukum, pemerintah harus segera memusnahkan sisa vaksin palsu ini. Sekali lagi, langkah ini sebaiknya juga diumumkan ke publik untuk meyakinkan masyarakat bahwa vaksin palsu sudah tidak ada lagi di pasar. Langkah berikutnya adalah memperketat pengawasan obat-obatan, termasuk vaksin, di rumah sakit, klinik, tempat praktek dokter, dan apotek, sebagai salah satu ujung mata rantai peredaran obat.
Kasus pemalsuan ini seharusnya menjadi pembelajaran bersama untuk menata ulang sistem pengawasan vaksin khususnya dan obat umumnya di Indonesia. Jika sistem pengawasan selama ini tidak menghasilkan perbaikan yang substansial, kemungkinan besar kasus serupa akan terulang. Apalagi, sejak terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014, pembinaan dan pengawasan terhadap apotek telah dilimpahkan kepada dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota.
Kita tahu persis bahwa tidak semua provinsi atau pemerintah kabupaten/kota memiliki keahlian atau standar yang sama dalam pengawasan apotek. Peraturan menteri itu harus dicabut dan kewenangan pengawasan dikembalikan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dewan Perwakilan Rakyat sebaiknya menyegerakan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan untuk memperkuat lembaga ini, sehingga mereka punya kewenangan penyidikan dan penindakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo