Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Warisan Perang Saudara Di Kamboja

Perang saudara di Kamboja yang berlangsung selama 15 tahun terkenal ganas dan brutal. Sekitar 13% penduduk dewasa telah menjadi korban. Kini akibatnya, Kamboja menjalankan politik isolasi.

21 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ISOLASI dan sikap anti-asing yang dilakukan pemerintah Kamboja sekarang banyak bersumber dari tradisi negara tersebut. Sejarah Kamboja diwarnai oleh agresi demi agresi, yang akhirnya membuat wilayah bekas kerajaan Khmer yang besar dulu sekecil batas Kamboja sekarang. Yang paling banyak mengganggu Kamboja sepanjang sejarahnya adalah ambisi teritorial dari dua tetangganya: Vietnam dan Muangthai. Vietnam menurut Kamboja telah mencaplok daerah kaya peninggalan kerajaan Khmer di sekitar delta Mekong. Muangthai pada masa perang dunia II mengambil beberapa propinsi Kamboja, dengan restu tentara Jepang waktu itu. Bisa dimaklumi bahwa zaman Sihanouk ditandai oleh usahanya untuk menjaga tapal batas wilayah negaranya, memelihara netralitas Kamboja dan mengusahakan pengakuan internasional atas keutuhan nasional negaranya. Akibatnya juga, Kamboja menjalankan politik berdasarkan sifat-sifat nasionalisme yang kuat, bahkan pernah memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika, tahun 1963. Kejadian di atas terjadi sebelum mulainya perang saudara di sana. Perang Saudara yang kemudian berlangsung dengan getir dan brutal membuat tradisi isolasi dan nasionalisme Kamboja menjadi seradikal sekarang. Perang saudara tersebut, umumnya dianggap mulai berlangsung pada bulan Maret 1970, setelah Lon Nol mengambil alih kekuasaan dari Sihanouk. Tetapi, perang saudara dapat dikatakan sudah mulai sejak April 1967. Ketika itu, pemimpin sayap kiri dari front persatuan SANGKUM yang didirikan Sihanouk, minggat dan masuk hutan. Pemimpin tersebut (namanya Khieu Samphan), pernah jadi Menteri dalam pemerintahan Sihanouk dan waktu itu anggota Parlemen. Berturutan, juga ikut minggat dua pemimpin lainnya, Hou Yuon dan Hu Nim. Ketiga orang tersebut masih muda, lulusan Universitas Sorbonne dan dikenal sangat kuat nasionalismenya. Tesis Khieu Samphan bahkan mengecam akibat kolonialisme Perancis terhadap perekonomian Kamboja setelah merdeka. Mereka bergabung dengan petani-petani yang waktu itu juga memberontak pajak berat dan kehidupan sulit, di propinsi Battambang. Lazimnya, mereka dikenal sebagai "Tiga Serangkai" dan sekarang menduduki jabatan teras dalam politik Kamboja. Khieu Samphan adalah Presiden Kampuchea, Hou Yuon menjadi Menteri Dalam Negeri dan Keamanan, sedangkan Hu Nim menjabat Menteri Penerangan. Polarisasi Namun, perang saudara antara periode 1967 dan 1970 belumlah ditandai oleh skala yang cukup besar, karena Sihanouk masih berkuasa. Operasi militer walaupun sering tapi tidak intensif. Intrik politik di Phnom Penh lebih menarik daripada bertempur di Battambang. Perang saudara yang benar-benar getir dan kejam, baru mulai setelah kudeta Lon Nol akhir Maret 1970. Kudeta tersebut benar-benar mempertajam polarisasi di antara rakyat Kamboja. Di satu pihak, ada golongan Lon Nol. Di lain pihak, ada Sihanouk yang karena tekadnya untuk membalas dendam, tidak mempunyai pilihan lain tapi bergabung dengan grup "Tiga Serangkai". Dengan demikian, terbentuklah Front Persatuan Nasional Kampuchea, berintikan grup gerilya dari "Tiga Serangkai" dan Sihanouk serta pengikut-pengikutnya. Popularitas Sihanouk di kalangan rakyat desa memberi jaminan kepada Front Kampuchea (UNK) untuk mendapatkan calon-calon anggota tentaranya. Mulailah perang saudara yang getir untuk masa lima tahun, Maret 1970 sampai April, 1975. Mungkin dalam sejarah modern tidak banyak perang saudara yang segetir nasib rakyat Kamboja. Paling tidak, dibandingkan dengan apa yang terjadi di negara tetangganya (Laos dan Vietnam), perang saudara di Kamboja suatu rekor. Pertama, di Kamboja yang bertempur adalah sesama bangsa, tidak banyak orang asing yang mati di gelanggang. Ini berbeda den8an di Vietnam Selatan dulu, di mana banyak orang Amerika, Pilipina, Korea Selatan dan Australia ikut bertempur. Juga berbeda dengan di Laos, di mana banyak orang Muangthai diterbangkan untuk melawan Pathet Lao. Memang pernah tentara-tentara Amerika dan Vietnam Selatan/Thieu bertempur pada periode antara Mei sampai Juli, 1970. Setelah itu tidak ada keterlibatan langsung di medan perang, paling-paling bantuan diberikan dalam bentuk pemboman, politik, bantuan militer dan keuangan. Perbedaan lainnya adalah mengenai sifat perang saudara itu sendiri. Di Vietnam, sering sekali terjadi perundingan, yang berarti adanya ruangan bernafas untuk pasukan di medan pertempuran. Bahkan gencatan senjata sudah hal yang biasa. Demikian pula di Laos, gencatan senjata dan pemerintahan koalisi adalah jalan keluar politik yang cukup dikenal. Sebaliknya, di Kamboja tidak pernah ada gencatan senjata dan perundingan damai antara kedua pihak yang bertentangan. Benar-benar perang habis-habisan, yang kalah hancur, yang menang bersorak, walaupun mungkin dengan hati pedih. 240.000 Setahun Karena sifatnya yang demikian, korban-korban yang jatuh juga tidak tanggung-tanggung. Mungkin korban yang paling banyak dalam sejarah perang saudara di zaman sekarang. Selama periode 1970 sampai 975, kedua pihak (Lon Nol dan FUNK) mengakui jatuhnya korban 600 ribu jiwa di tiap golongannya. Dengan begitu, yang meninggal seluruhnya adalah 1,2 juta jiwa penduduk dewasa, atau kira-kira 13% dari seluruh penduduk Kamboja, yang jumlahnya sekitar 8 juta jiwa. Ini jauh di atas prosentase perang Vietnam yang lamanya 30 tahun atau perang Laos yang lamanya 20 tahun. Dan perang saudara Kamboja hanya berlangsung lima tahun. Jadi, rata-rata sekitar 240 ribu orang terbunuh setahunnya. Akibat lainnya dapat dilihat dari meningkatnya jumlah pengungsi di kota Phnom Penh. Kota yang tadinya berpenduduk sekitar 300 ribu jiwa, pada akhir perang saudara berpenghuni lebih dari dua juta orang. Kebanyakan pengungsi adalah anak-anak dan orangtua, atau mereka yang mencoba bersembunyi dan tidak terlibat dalam usaha saling membunuh bangsanya sendiri. Dengan memahami sifat getir dan brutal dari perang saudara itu saja, barangkali mudah dimengerti mengapa Kamboja yang sekarang benar-benar menjalankan politik isolasi dan anti-asing. Tentulah "Tiga Serangkai" dan teman-temannya menyadari betapa besarnya peranan negara-negara asing dalam membuat Kamboja mengalami perang saudara segetir itu. Mungkin sekali, dengan politik isolasi tersebut, mereka sedikit banyak-berusaha mencegah terjadinya lagi perang saudara sambil mencoba membangun suatu solidaritas baru di antara rakyat yang pernah bertempur satu sama lain, dengan tradisi nasionalisme yang radikal dan sikap anti-asing sebagai salah satu pilarnya yang terkuat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus