ISOLASI dan sikap anti-asing yang dilakukan pemerintah Kamboja
sekarang banyak bersumber dari tradisi negara tersebut. Sejarah
Kamboja diwarnai oleh agresi demi agresi, yang akhirnya membuat
wilayah bekas kerajaan Khmer yang besar dulu sekecil batas
Kamboja sekarang.
Yang paling banyak mengganggu Kamboja sepanjang sejarahnya
adalah ambisi teritorial dari dua tetangganya: Vietnam dan
Muangthai. Vietnam menurut Kamboja telah mencaplok daerah kaya
peninggalan kerajaan Khmer di sekitar delta Mekong. Muangthai
pada masa perang dunia II mengambil beberapa propinsi Kamboja,
dengan restu tentara Jepang waktu itu.
Bisa dimaklumi bahwa zaman Sihanouk ditandai oleh usahanya untuk
menjaga tapal batas wilayah negaranya, memelihara netralitas
Kamboja dan mengusahakan pengakuan internasional atas keutuhan
nasional negaranya. Akibatnya juga, Kamboja menjalankan politik
berdasarkan sifat-sifat nasionalisme yang kuat, bahkan pernah
memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika, tahun 1963.
Kejadian di atas terjadi sebelum mulainya perang saudara di
sana. Perang Saudara yang kemudian berlangsung dengan getir dan
brutal membuat tradisi isolasi dan nasionalisme Kamboja menjadi
seradikal sekarang. Perang saudara tersebut, umumnya dianggap
mulai berlangsung pada bulan Maret 1970, setelah Lon Nol
mengambil alih kekuasaan dari Sihanouk.
Tetapi, perang saudara dapat dikatakan sudah mulai sejak April
1967. Ketika itu, pemimpin sayap kiri dari front persatuan
SANGKUM yang didirikan Sihanouk, minggat dan masuk hutan.
Pemimpin tersebut (namanya Khieu Samphan), pernah jadi Menteri
dalam pemerintahan Sihanouk dan waktu itu anggota Parlemen.
Berturutan, juga ikut minggat dua pemimpin lainnya, Hou Yuon dan
Hu Nim. Ketiga orang tersebut masih muda, lulusan Universitas
Sorbonne dan dikenal sangat kuat nasionalismenya. Tesis Khieu
Samphan bahkan mengecam akibat kolonialisme Perancis terhadap
perekonomian Kamboja setelah merdeka.
Mereka bergabung dengan petani-petani yang waktu itu juga
memberontak pajak berat dan kehidupan sulit, di propinsi
Battambang. Lazimnya, mereka dikenal sebagai "Tiga Serangkai"
dan sekarang menduduki jabatan teras dalam politik Kamboja.
Khieu Samphan adalah Presiden Kampuchea, Hou Yuon menjadi
Menteri Dalam Negeri dan Keamanan, sedangkan Hu Nim menjabat
Menteri Penerangan.
Polarisasi
Namun, perang saudara antara periode 1967 dan 1970 belumlah
ditandai oleh skala yang cukup besar, karena Sihanouk masih
berkuasa. Operasi militer walaupun sering tapi tidak intensif.
Intrik politik di Phnom Penh lebih menarik daripada bertempur di
Battambang. Perang saudara yang benar-benar getir dan kejam,
baru mulai setelah kudeta Lon Nol akhir Maret 1970.
Kudeta tersebut benar-benar mempertajam polarisasi di antara
rakyat Kamboja. Di satu pihak, ada golongan Lon Nol. Di lain
pihak, ada Sihanouk yang karena tekadnya untuk membalas dendam,
tidak mempunyai pilihan lain tapi bergabung dengan grup "Tiga
Serangkai". Dengan demikian, terbentuklah Front Persatuan
Nasional Kampuchea, berintikan grup gerilya dari "Tiga
Serangkai" dan Sihanouk serta pengikut-pengikutnya.
Popularitas Sihanouk di kalangan rakyat desa memberi jaminan
kepada Front Kampuchea (UNK) untuk mendapatkan calon-calon
anggota tentaranya. Mulailah perang saudara yang getir untuk
masa lima tahun, Maret 1970 sampai April, 1975.
Mungkin dalam sejarah modern tidak banyak perang saudara yang
segetir nasib rakyat Kamboja. Paling tidak, dibandingkan dengan
apa yang terjadi di negara tetangganya (Laos dan Vietnam),
perang saudara di Kamboja suatu rekor. Pertama, di Kamboja yang
bertempur adalah sesama bangsa, tidak banyak orang asing yang
mati di gelanggang. Ini berbeda den8an di Vietnam Selatan dulu,
di mana banyak orang Amerika, Pilipina, Korea Selatan dan
Australia ikut bertempur. Juga berbeda dengan di Laos, di mana
banyak orang Muangthai diterbangkan untuk melawan Pathet Lao.
Memang pernah tentara-tentara Amerika dan Vietnam Selatan/Thieu
bertempur pada periode antara Mei sampai Juli, 1970. Setelah itu
tidak ada keterlibatan langsung di medan perang, paling-paling
bantuan diberikan dalam bentuk pemboman, politik, bantuan
militer dan keuangan.
Perbedaan lainnya adalah mengenai sifat perang saudara itu
sendiri. Di Vietnam, sering sekali terjadi perundingan, yang
berarti adanya ruangan bernafas untuk pasukan di medan
pertempuran. Bahkan gencatan senjata sudah hal yang biasa.
Demikian pula di Laos, gencatan senjata dan pemerintahan koalisi
adalah jalan keluar politik yang cukup dikenal. Sebaliknya, di
Kamboja tidak pernah ada gencatan senjata dan perundingan damai
antara kedua pihak yang bertentangan. Benar-benar perang
habis-habisan, yang kalah hancur, yang menang bersorak, walaupun
mungkin dengan hati pedih.
240.000 Setahun
Karena sifatnya yang demikian, korban-korban yang jatuh juga
tidak tanggung-tanggung. Mungkin korban yang paling banyak dalam
sejarah perang saudara di zaman sekarang. Selama periode 1970
sampai 975, kedua pihak (Lon Nol dan FUNK) mengakui jatuhnya
korban 600 ribu jiwa di tiap golongannya. Dengan begitu, yang
meninggal seluruhnya adalah 1,2 juta jiwa penduduk dewasa, atau
kira-kira 13% dari seluruh penduduk Kamboja, yang jumlahnya
sekitar 8 juta jiwa. Ini jauh di atas prosentase perang Vietnam
yang lamanya 30 tahun atau perang Laos yang lamanya 20 tahun.
Dan perang saudara Kamboja hanya berlangsung lima tahun. Jadi,
rata-rata sekitar 240 ribu orang terbunuh setahunnya.
Akibat lainnya dapat dilihat dari meningkatnya jumlah pengungsi
di kota Phnom Penh. Kota yang tadinya berpenduduk sekitar 300
ribu jiwa, pada akhir perang saudara berpenghuni lebih dari dua
juta orang. Kebanyakan pengungsi adalah anak-anak dan orangtua,
atau mereka yang mencoba bersembunyi dan tidak terlibat dalam
usaha saling membunuh bangsanya sendiri.
Dengan memahami sifat getir dan brutal dari perang saudara itu
saja, barangkali mudah dimengerti mengapa Kamboja yang sekarang
benar-benar menjalankan politik isolasi dan anti-asing. Tentulah
"Tiga Serangkai" dan teman-temannya menyadari betapa besarnya
peranan negara-negara asing dalam membuat Kamboja mengalami
perang saudara segetir itu. Mungkin sekali, dengan politik
isolasi tersebut, mereka sedikit banyak-berusaha mencegah
terjadinya lagi perang saudara sambil mencoba membangun suatu
solidaritas baru di antara rakyat yang pernah bertempur satu
sama lain, dengan tradisi nasionalisme yang radikal dan sikap
anti-asing sebagai salah satu pilarnya yang terkuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini