Zaim Saidi
Peneliti di Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Jakarta.
Sidang Consultative Group on Indonesia (CGI) yang berlangsung akhir Juli lalu menyetujui utang baru US$ 5,9 miliar untuk pemerintah Indonesia. Sidang itu sebelumnya diusulkan ditunda oleh sejumlah LSM dan tokoh partai politik. Alasannya, pemerintah sekarang ini tidak legitimate untuk memutuskan sesuatu, apalagi hal ihwal utang-piutang, juga tidak serius memikirkan dampak beban utang pada generasi mendatang.
Kalau ditelaah lebih jauh, kalangan LSM bisa punya banyak alasan untuk mempersoalkan utang-utang kita, terutama yang diwarisi dari masa lalu. Sebagaimana diulas oleh Joseph Hanlon dalam artikelnya, Dictators and Debt, setidaknya ada dua hal, yaitu utang najis (odious debt) dan moral hazard, yang bisa dijadikan alasan kuat bagi penghapusan (warisan) utang masa lalu tersebut. Tentu, termasuk untuk utang yang diwariskan rezim Soeharto kepada kita semua.
Soal yang pertama adalah kuatnya kemungkinan utang-utang yang diambil Orde Baru masuk dalam kategori utang najis. Dalam pengertian yang umum, utang najis adalah hasil utang yang dipakai untuk kegiatan yang bertentangan dengan kehendak rakyat. Konsep ini sendiri sudah dikenal sejak sekitar satu abad yang lalu. Agaknya kita perlu menelaah konsep ini dengan baik karena menyangkut kewajiban suatu generasi atas sesuatu—dalam hal ini membayar utang—yang tidak dilakukannya.
Pada 1898, ketika diambil alih oleh pemerintah Amerika Serikat (AS), Kuba mewarisi utang dari Spanyol. Negeri ini tentu saja menuntut agar AS membayar utang tersebut, tapi AS menolaknya. Alasannya: utang itu dipaksakan kepada rakyat Kuba tanpa seizin mereka dan dilakukan dengan tekanan senjata pula. Lebih jauh, pihak AS menyatakan, dalam keadaan demikian, pihak kreditur sudah seyogianya sejak awal mengambil risiko. Konsep utang najis ini kemudian dikenal dalam khazanah hukum internasional ketika pada 1923 seorang hakim AS memasukkannya dalam suatu kasus serupa yang terjadi antara Inggris dan Kosta Rika.
Utang najis kembali menjadi isu internasional terutama karena kasus negara Afrika yang tengah mengalami pergantian rezim, misalnya Afrika Selatan dan Rwanda. Kasus Afrika Selatan jelas berkaitan dengan kebijakan apartheidnya pada masa lampau, sedang di Rwanda karena utangnya dipakai oleh rezim berkuasa yang terlibat dalam pembantaian rakyatnya sendiri (genocidal regime). Desakan untuk menghapuskan utang najis belakangan juga dilakukan para kreditur sendiri. Di sejumlah negara kreditur, desakan ini kuat dilakukan, baik oleh warga negara (misalnya LSM) maupun negara, seperti yang antara lain dilakukan oleh Komite Pembangunan Internasional Majelis Rendah (House of Commons) Inggris.
Dengan rujukan di atas, bisakah utang rezim Soeharto masuk dalam kategori utang-utang yang tak perlu dibayar? Tentang bagaimana Orde Baru menggunakan utang-utangnya, banyak fakta yang bisa dikemukakan. Misalnya tentang banyaknya ''pengungsi pembangunan'' pada masa lalu yang diketahui dunia internasional, misalnya kasus Kedungombo atau Nipah. Korban tak langsung bisa disebutkan, contohnya dalam kasus Tanjungpriok, kasus Lampung, dan sejenisnya. Bisa ditambahkan, dalam dimensi yang berbeda, adalah kerusakan lingkungan, penggerusan hutan, dan sumber daya alam lain yang akhirnya juga merugikan rakyat akibat salah kebijakan (ill policies). Lalu, soal megakorupsi dan kolusi, serta kebocoran dana pembangunan (setidaknya 30 persen) sebagaimana diakui oleh kreditur sendiri, seperti Bank Dunia. Pendeknya, dalam standar negara-negara kreditur sendiri, bukankah rezim Soeharto termasuk dalam kategori rezim yang otoriter dan korup?
Soal kedua adalah isu moral hazard, yang barangkali bisa dikatakan sebagai ironi dari yang pertama di atas. Sebuah moral hazard timbul bila tersedianya suatu jaminan bagi sebuah risiko yang mungkin muncul di masa depan justru mendorong perilaku yang memperbesar terjadinya risiko tersebut.
Bagi para kreditur, rezim Orde Baru adalah a good boy karena selalu taat mencicil utang. Atau, setidaknya mereka tahu bahwa dunia internasional akan menekan rezim ini bila sampai menunggak utang. Karena inilah, meski diketahui korup, otoriter, dan merugikan rakyat, Soeharto tetap dianggap credit worthy. Ketaatan rezim Soeharto mencicil utang menjadi reward (jaminan) bagi para kreditur untuk peminjaman berikutnya, dan mereka bisa tak acuh terhadap kenyataan yang ada pada masa sebelumnya.
Sama halnya, bagi investor internasional lain, kesediaan lembaga semacam IMF menjadikan dirinya sebagai the last resort bagi Orde Baru setiap terjadi krisis membuat mereka tak akan jera untuk terus mengucurkan utang. Contoh mutakhir tentang hal ini adalah bail-out yang dilakukan pemerintah bagi para bankir busuk dengan dana (utang baru) dari IMF akhir-akhir ini.
Pemberian utang secara serampangan tentunya bisa dihambat bila pelakunya, baik pengutang maupun pemberi utang, dihukum. Demikian juga bila kewajiban pembayaran kembali utang-utang najis tetap dipaksakan kepada korban (dari rezim yang berutang), praktek ini akan terus-menerus berlangsung. Untuk mencegah berlanjutnya perilaku ''kalau terjadi apa-apa toh ada yang nanggung'' semacam itu, utang-piutang Orde Baru pada masa lalu memang perlu dikaji secara kritis.
Bila berbagai konstatasi di atas dapat diyakinkan, baik berdasarkan argumen moral hazard maupun odious debt, secara moral dan politis, utang Orde Baru boleh jadi memang tak perlu dibayar. Kalau tidak seluruhnya, ya, sebagian. Pertanggungjawabannya jelas tidak bisa dibebankan hanya pada rezim (baru) penggantinya. Sebagian risiko harus ditanggung oleh pihak kreditur sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini