Umar Kayam
Budayawan
Persoalan Aceh kini semakin berlarut-larut. Sejak Habibie mengobral janji kepada rakyat Aceh—janji ini sejak semula disangsikan—(TEMPO, edisi 6-12 April 1999), suasana Aceh tidak mereda, malah semakin kisruh saja. Omongan tentang "pendekatan budaya", baik yang dikemukakan Habibie maupun Wiranto, memang tidak pernah dijelaskan secara rinci. Yang banyak dikemukakan, di samping perbaikan sarana fisik (lapangan terbang, jalan, pelabuhan), adalah penambahan sekolah, universitas, madrasah, beasiswa, bahkan penguburan kembali korban penculikan yang terjadi pada zaman DOM atau daerah operasi militer. Tetapi itukah "pendekatan budaya" buat memecahkan semua masalah Aceh? Katakanlah sudah ada yang dikerjakan, tapi hanya sebagian (kecil). Buktinya, rakyat Aceh masih saja ketakutan dan lari mengungsi. Dan tembak-menembak masih saja berlangsung.
Kalau kebudayaan bukan semata-mata diartikan sebagai benda yang telah jadi, suatu finished product, tapi sebagai proses dialektis dalam masyarakat atau negara, tempat sistem-sistem saling menarik, maka apa yang kemudian tampak sebagai suatu "potret budaya" adalah hasil dari dialektika tarik-menarik sistem dalam masyarakat yang berlangsung bertahun-tahun. Itulah potret suatu sintesis budaya. Sekolah, madrasah, masjid, asrama tentara, meunasah, dan sebagainya adalah bagian dari pernik-pernik budaya. Mereka semua terlibat dalam tarik-menarik antarsistem yang sesungguhnya merupakan dialog berbagai tesis dan antitesis yang muncul di masyarakat. Maka, kalau pendekatan yang dipilih untuk memecahkan persoalan Aceh adalah "pendekatan budaya", pemerintah haruslah menggarap semua unsur dalam sistem di masyarakat. Sistem kekuasaan, sistem sosial, sistem ekonomi, sistem kesenian, sistem bahasa, dan sebagainya. Maka, apa yang disebut "karakter bangsa Aceh" adalah suatu potret budaya Aceh, hasil dari dialektika berbagai tesis dalam sistem-sistem masyarakat. Itulah, saya kira, yang kita kenal sebagai "kepribadian Aceh", "sifat Aceh", dan juga sebagai sintesis dari suatu dialektika "potret budaya".
Memilih pendekatan budaya tentulah bukan dengan memilih metode konfrontasi dan cara-cara kekerasan militer. Memilih pendekatan budaya adalah memilih agenda jangka panjang yang menuntut kesadaran proses dialogis, penuh dengan bahasa kompromi dan to take and give. Pendekatan ini harus dimulai dengan menerima sintesis budaya Aceh sebagai suatu modal utama dahulu, tanpa syarat atau tuntutan. Karakter Aceh diterima dulu sebagai modal pertama (dan utama) dalam dialog itu. Pemerintah melakukan persuasi dan bersama masyarakat Aceh merancang antitesis baru terhadap, misalnya, "konfrontasi kekerasan" yang sudah telanjur menjadi tesis yang mapan dari sistem kekuasaan di Aceh. Maka, tesis "bahasa kekerasan" haruslah ditawar dengan antitesis yang menawarkan alternatif baru, yakni "bukan bahasa kekerasan".
Dialog merumuskan "pendekatan budaya" itu bisa dimulai dari pelaksanaan pertemuan "meja bundar" yang seluas mungkin (mejanya yang bundar itu sebesar mungkin) bertempat di Masjid Besar Banda Aceh, yang dianggap tempat yang paling netral dan dihormati semua lapisan masyarakat Aceh. Yang akan duduk dalam dialog besar itu adalah orang pemerintah pusat (menteri-menteri kabinet dan eselon-eselon tertinggi departemen), tokoh penting Pemerintah Daerah Aceh (Gubernur Aceh, pembantu-pembantu gubernur yang terpenting, bupati-bupati), tokoh militer pusat (para jenderal yang aktif sebagai pengambil keputusan Markas Besar TNI), alim ulama Aceh, budayawan Aceh, tokoh pendidikan, tokoh partai politik dan masyarakat Aceh, tokoh pemuda dan mahasiswa, dan yang juga sangat penting adalah tokoh Gerakan Aceh Merdeka, panglima-panglimanya, tokoh pemberontak lainnya. Pertemuan besar yang pertama itu terutama akan berfungsi sebagai ice breaking, pertemuan untuk mencairkan "kebekuan" dan "kekakuan" hubungan. Setidaknya lepas dari suasana keterikatan formal.
Pertemuan itu berupa suatu musyawarah besar yang harus benar-benar dialogis, tanpa emosi yang menggelegak berlebihan. Suasana yang seperti itu sangat penting karena dalam musyawarah itu akan dirancang bersama "bagaimana menyiapkan berbagi tesis dan antitesis yang akan membawa ke suatu sintesis budaya Aceh yang baru, yang akan mapan dalam jangka waktu yang cukup lama dalam suasana aman dan damai." Rancangan yang mahaluas ini sesungguhnya dapat dipadatkan dalam bahasa lebih sederhana: rancangan besar "pembangunan masyarakat Aceh". Melalui rancangan ini, sistem-sistem yang hadir dalam tubuh masyarakat Aceh ditinjau kembali, termasuk sistem kekuasaannya, sistem ekonominya, dan sistem keseniannya.
Dalam "rembukan" di Masjid Besar seperti ini, tak boleh ada suatu laras senjata (apalagi letusan bedil). Pertemuan itu akan mengarah ke persiapan dan pelaksanaan musyawarah semacam itu di tingkat masyarakat yang lebih rendah (kabupaten, kecamatan, kelurahan, korem, kodim), tempat pembicaraan-pembicaraan akan lebih teknis dan detial. Misalnya, tentang bagaimana menghidupkan semua kemungkinan di masyarakat tingkat bawah, seperti pembangunan dan pengembangan sekolah, madrasah, perkumpulan kesenian rakyat, pemeliharaan masjid dan surau, lapangan olahraga dan rekreasi rakyat lainnya. Korem dan kodim TNI akan dilebur menjadi komando pertahanan dan keamanan rakyat yang menampung dan merekrut semua unsur, termasuk bekas pejuang GAM dan gerombolan lainnya. Dan "bahasa bedil lama" diganti dengan "bahasa perlindungan dan keamanan rakyat".
Hal ini bukan sesuatu yang mustahil, terutama bila pemerintah (Habibie dan Wiranto) pernah menyatakan komitmen mereka untuk melaksanakan "pendekatan budaya". Seharusnya mereka lebih serius dan penuh determimasi untuk melaksanakannya. Aceh, seperti daerah kita yang lain, adalah bagian yang sangat penting dari kita, dari Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini