PADA suatu malam menjelang akhir Februari lalu Onky Alexander, yang sejak tiga bulan sebelumnya dinyatakan buron oleh polisi, menepati janji berjumpa dengan wartawan. Buronan itu dalam wawancara sekitar dua jam membentangkan panjang lebar tentang kusut masainya peristiwa-peristiwa yang dialaminya sehubungan dengan tuduhan sebagai pelaku penipuan yang dibebankan padanya. Ia memang sedang mencoba membela diri secara publik, dan hal itu tampil dalam sajian liputan wawancara yang kemudian dimuat. Polisi, dalam hal ini pihak Polres Jakarta Barat, langsung menilai: seharusnya wartawan memberitahukan kejadian itu pada mereka sebagai wujud partisipasi dan tanggung jawab masyarakat. Inilah yang melahirkan kembali perdebatan tentang hak-hak istimewa wartawan, terutama karena pernyataan polisi menimbulkan pelbagai tanggapan, baik dari kalangan wartawan maupun para ahli hukum. Hak tolak wartawan, khususnya yang dirumuskan dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-undang No. 21 Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967, dianggap dapat menjadi perisai menghadapi tuntutan polisi. Pemerintah sendiri waktu memberikan pengantar RUU tersebut sudah mengutarakan maksudnya, yakni untuk lebih memperjelas pengakuan dan jaminan terhadap hak tolak wartawan di dalam menjalankan fungsinya. Pada intinya pasal itu meliputi hak-hak wartawan sebagai berikut: Pertama, untuk dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi dalam sidang pengadilan Kedua, untuk menolak memberikan keterangan yang diminta penyidik, yakni keterangan tentang nama, jabatan, alamat, kecuali dalam hal menyangkut ketertiban dan keamanan negara yang ditentukan dengan keputusan tersendiri oleh hakim atas permintaan wartawan. Keputusan itu harus segera diberikan, dan selama keputusan belum ada, wartawan yang telah mengajukan permohonan dimaksud tetap mempunyai hak tolak. Hak tolak atau dalam beberapa buku dan tulisan mengenai ini pada masa lampau disebut hak ingkar sudah lama menjadi perdebatan menarik. Para ahli hukum Belanda pun, yang masa itu sangat mempengaruhi pemikiran hukum di Indonesia, tidak jarang berbeda pendapat. J.M. van Bemmelen, sebagai contoh, secara tegas mengemukakan bahwa hak ingkar wartawan bertentangan dengan sistem yang diterima oleh pembuat undang-undang bagi kejahatan pers, yaitu Pasal 61 dan 62 KUHP. Menurut van Bemmelen, dengan tiadanya hak ingkar, wartawan dapat lebih mempertanggungjawabkan publikasinya. Pandangan beliau tentu tidak sepenuhnya benar apalagi jika dikaji dalam konteks perkembangan pers sekarang. Pembahasan hak tolak tidak berkaitan degnan penerapan Pasal 61 dan 62 KUHP yang lebih berurusan dengan penuntutan atas penerbit dan pencetak, dan wartawan sebagai profesi yang tidak terisolasi dari dinamika sistem politik jelas memerlukan proteksi. Prof. Oemar Seno Adji (almarhum) sekitar dua puluh tahun yang lalu juga menulis bahwa persoalan hak ingkar wartawan merupakan suatu ''uitvloisel'' dari pertentangan pertimbangan etis dan yustisiil. Pertimbangan etis yang akan mengakibatkan penolakan oleh seorang wartawan untuk menyebut sumber berita dihadapkan dengan pertimbangan yustisiil yang menghendaki adanya keterangan yang dihadapi oleh hakim perkara. Beliau kemudian mengusulkan kompromi, tidak perlu ada yang mutlak di antara keduanya. Etika profesional wartawan, yang dirumuskan dalam kode etik internasional maupun kode etik jurnalistik wartawan Indonesia, bukan sekadar rangkaian kewajiban moral dan pertanggungjawaban yang bersumber pada hati nurani, tapi pada dasarnya juga merujuk sampai batas tertentu pada dimensi ''nonintervensi'' dalam menjalankan profesi dan fungsi kewartawanan. Dalam keadaan lain, secara hukum bahkan berlaku Pasal 170 KUHAP yang menyatakan: (a) Mereka yang karena pekerjaan, harkat-martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan padanya (b) Hakim yang menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintan tersebut. Masalah wawancara dengan Onky Alexander seyogyanya tidak terus diperpanjang, apalagi memperkarakan sang wartawan. Bukan saja tidak jelas dasar hukumnya, akan tetapi pada kasus ini mengedepankan beberapa persoalan yaitu asas praduga tak bersalah tetap harus diusung tinggi, dan dalam masalah ini Onky Alexander bukan seorang terpidana. Di samping itu ''tingkat seriusitas'' kejahatan yang dituduhkan jika pun kelak terbukti di pengadilan tidak seberat seperti dalam kualifikasi Pasal 15 UU No. 21 Tahun 1982. Selain itu dimensi peran wartawan dewasa ini menjadi lebih luas, mengingat arti penting pers sebagai pranata sosial dan pramata pembangunan yang dituntut lebih ''proaktif'' dalam menyajikan berita dan liputan masalah sebagai respons atas peningkatan kebutuhan dan kesadaran masyarakat akan informasi. Reportase faktual yang mengandalkan teknik konvensional dengan gaya tunggal nada sudah lama ditolak sebagai bentuk jurnalisme abad informasi. Masyarakat yang jenuh dengan informasi kering menuntut laporan-laporan yang lebih investigatif dan interpretatif. *)Dosen Sosiologi Hukum serta Kriminologi & Pembangunan FISIP UI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini