Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bocoran kawat perwakilan Amerika Serikat di Indonesia mulai dimunculkan pekan lalu. Bocoran itu memang telah didengang-dengungkan sejak akhir tahun lalu. Menurut WikiLeaks, ada 3.059 kawat diplomatik yang berasal dari kedutaan besar di Jakarta maupun konsulat jenderal di Surabaya.
Bocoran kawat perwakilan AS adalah informasi. Ini tentu bukan sekadar bualan diplomat AS yang dilaporkan ke negara asalnya. Berbagai informasi dikumpulkan para diplomat AS dari beragam sumber. Ada yang resmi, pula yang tidak resmi.
Pengumpulan informasi merupakan salah satu tugas seorang diplomat di negara tempat ia ditugasi. Informasi yang dilaporkan akan digunakan sebagai bahan pengambilan kebijakan dari negeri asal diplomat.
Ketika para diplomat menyampaikan laporan, mereka tidak terlalu memusingkan unsur kehati-hatian, kuat-lemahnya pembuktian dari segi hukum, atau kekhawatiran reaksi negara atau pejabat setempat yang dilaporkan.
Ini karena mereka berpikir dan percaya bahwa kawat diplomatik tidak akan bocor. Karena itu tidak mengherankan bila informasi yang dikumpulkan bisa apa saja, dari gosip politik, cerita di balik berita, hingga informasi yang benar-benar layak dipercaya.
Seorang diplomat AS yang bertugas di Libya, misalnya, melaporkan bahwa berdasarkan informasi orang dalam, pemimpin Libya Muammar Qadhafi tidak dapat bepergian tanpa perawat seniornya yang berasal dari Ukraina.
Bahkan para diplomat melakukan tafsir-tafsir yang menjurus pada perendahan martabat pejabat, sekadar untuk memudahkan penerima informasi di Washington. Hubungan Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin dengan Presiden Dmitry Medvedev disebut sebagai hubungan antara Batman dan Robin.
Bocornya kawat diplomatik di tangan WikiLeaks tentu tidak dinyana atau diperkirakan sebelumnya oleh pemerintah dan Kementerian Luar Negeri AS. Ini yang membuat kepanikan luar biasa di kalangan pemerintah AS.
Kepanikan terlihat ketika pada November tahun lalu Duta Besar AS di London berkunjung ke kantor Perdana Menteri Inggris David Cameron. Ia perlu memberi tahu tentang bocoran kawat para diplomat AS.
Di antara informasi yang akan diungkap adalah pembahasan kepribadian mantan perdana menteri Gordon Brown dan kemungkinannya menang dalam pemilihan umum. Di samping itu juga dibicarakan kajian terhadap kemungkinan David Cameron menjadi perdana menteri. Juga dibahas ihwal pembicaraan rahasia dengan Libya sehubungan dengan pengembalian pelaku peledakan pesawat Pan Am di Lockerbie.
Tujuan WikiLeaks membocorkan kawat diplomatik yang mereka dapatkan secara tidak sah memang untuk menjatuhkan kedigdayaan AS di mata dunia meski mereka hanya mengklaim sebagai whistleblower. Sejauh ini WikiLeaks telah berhasil. Bocornya kawat AS sedikit banyak merusak hubungan Washington dengan negara sahabatnya. Bahkan bocoran lebih melegitimasi ketidakharmonisan hubungan AS dengan negara yang dianggap musuhnya.
Namun bocoran kawat ini ternyata tidak sekadar berdampak pada AS. Bocoran kawat telah berdampak pada negara dan pejabat setempat yang dilaporkan oleh diplomat AS. Di sejumlah negara bocoran WikiLeaks telah memakan korban pemecatan atau pengunduran diri para pejabat.
Di Jerman, umpamanya, pada awal Desember lalu, Helmut Metzner, petinggi di kementerian luar negeri, dipecat karena ia mengaku sebagai sumber bagi intelijen AS. Ia mengakui hal tersebut karena dalam bocoran kawat WikiLeaks disebutkan bahwa ada pejabat yang mensuplai informasi tentang pemerintahan Angela Merkel untuk perwakilan AS di Jerman.
Apa yang terjadi di sejumlah negara karena bocornya kawat Perwakilan Amerika Serikat itu sekarang melanda Indonesia.
Harus diakui, WikiLeaks piawai dalam mengelola informasi ilegal yang mereka peroleh. Untuk memberi efek sensasi, sejumlah kawat diplomat AS yang ditempatkan di Indonesia pun diberikan kepada The Age dan Sydney Morning Herald secara eksklusif.
Mungkin ini strategi Julian Assange, yang berkewarganegaraan Australia. Tentu ia sangat paham bahwa hubungan Indonesia-Australia selalu mengalami pasang-surut. Ia juga tahu betapa agresifnya media Australia terhadap Indonesia.
Bisa jadi informasi yang berasal dari bocoran kawat itu ditujukan untuk menekan AS agar mengakui bahwa kawat mereka bocor. Hingga saat ini AS selalu mengambil kebijakan tidak mengkonfirmasi ataupun menolak (neither confirm nor deny) bahwa kawat-kawat tersebut datang dari perwakilan AS.
Pihak Istana terus melakukan bantahan sejak berita pertama kali ditayangkan oleh dua media Australia. Atas permintaan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Duta Besar AS di Jakarta, Scot Marciel, telah menyampaikan penyesalan.
Namun penyesalan sebenarnya tidak ditujukan atas bocornya kawat perwakilan AS. Penyesalan disampaikan atas apa yang menimpa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan keluarga akibat ulah WikiLeaks. Namun, karena isu bocornya kawat dan isu yang menimpa SBY disampaikan secara bersamaan, muncul kesan seolah-olah ada penyesalan dari Kedutaan Besar AS atas ulah para diplomat AS terhadap SBY dan keluarganya.
Hingga saat ini di Indonesia belum ada pejabat yang dipecat atau mengundurkan diri sehubungan dengan bocoran WikiLeaks. Gugatan pemerintah Indonesia terhadap The Age dan SMH meski pernah dipertimbangkan ternyata urung dilakukan. Memang sulit mencari kesalahan The Age ataupun SMH, walau mereka tidak melakukan cross check terhadap pihak-pihak yang disebut dalam bocoran itu.
The Age dan SMH sebagai koran tua dan beroplah besar di Australia pasti telah berhitung secara matang tentang dampak hukum dan finansial ketika menurunkan berita tersebut.
Kedua koran ini gampang berkelit dari tuntutan hukum dengan mengatakan informasi yang dijadikan berita bukan berasal dari wartawannya yang melakukan investigasi. Mereka hanya mendasarkan informasi yang diberikan secara eksklusif oleh WikiLeaks.
Namun, bila hendak mencari kesalahan, tentu ada. Pertama adalah judul berita yang diberikan. Judul berita tentu tidak diberikan oleh WikiLeaks, tetapi oleh wartawan yang menulis berita atau editornya. Judul berita sangat tendensius memojokkan SBY.
Kedua, tentang informasi yang dijadikan berita. Dua media itu tentu memiliki kebebasan memilah-milah bocoran kabel kawat mana yang akan dipublikasi. Artinya, pemilahan dapat menjadi unsur kesengajaan untuk memojokkan seseorang.
Ketiga, dalam berita yang dipublikasi tidak jelas informasi mana yang berasal dari pejabat dan mana yang dari LSM, akademisi, wartawan, atau anggota DPR.
Penyebutan beberapa nama pejabat membuat kesan seolah-olah informasi yang didapat berasal dari pejabat tersebut. Padahal yang disampaikan oleh pejabat mungkin tidak segarang informasi yang disampaikan LSM ataupun akademisi. Informasi yang garang di mata diplomat AS justru menunjukkan tingkat kredibilitasnya sangat rendah.
Penayangan bocoran kawat juga bisa dilihat dalam perspektif lain. Misalnya dari cara pemerintah menangani pengendalian kerusakan (damage control). Terlihat pemerintah kurang tajam dalam menentukan siapa yang harus bertanggung jawab dalam pengendalian kerusakan. Apakah pemerintah AS, Australia, dua media massa Australia, atau WikiLeaks? Bantahan yang dilakukan oleh Istana, pemerintah, dan elite ditujukan kepada siapa? Publik internasional ataukah publik Indonesia?
Jawabannya sudah dapat dipastikan: publik Indonesia. Publik Indonesia dikhawatirkan menggunakan bocoran WikiLeaks untuk melegitimasi kecurigaan yang selama ini terus berkembang.
Pemerintah pun berupaya melakukan pengendalian kerusakan dengan memanfaatkan bocoran WikiLeaks untuk membangkitkan rasa nasionalisme publik Indonesia melawan media Australia. Hanya, yang mengikuti keinginan pemerintah ini justru para elite di pemerintahan serta tokoh-tokoh partai politik. Sedangkan kalangan aktivis antikorupsi justru menggunakan bocoran WikiLeaks sebagai entry point untuk menguak praktek korupsi di tingkat elite.
Pemerintah boleh dikata beruntung karena bocoran informasi WikiLeaks kali ini tidak berkepanjangan. Mungkin saja kehebohan tertutup dengan berita gempa di Jepang atau bom buku di Jakarta. Namun ini bukan berarti pemerintah bisa berleha-leha. Perlu diingat, masih banyak bocoran kawat yang belum dipublikasi. Kemarin Presiden Yudhoyono yang diserang, entah esok siapa lagi.
Di sinilah pentingnya pemerintah terus mendewasakan para pejabat, elite, dan publiknya dalam menyikapi bocoran WikiLeaks. Jangan sampai pemerintah terkesan reaktif hanya karena bocoran kali ini menyangkut SBY dan keluarganya.
*) Guru besar hukum internasional FH-UI, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo