SEBUAH surat terbuka dalam bentuk iklan yang mengisi satu halaman penuh dimuat di The New York Times minggu lalu. Dengan nada sedih dan hampir putus asa, para penulis surat itu mencela kebijaksanaan pemerintahan Clinton terhadap Bosnia selama ini. Kebijaksanaan itu dianggap gagal mencegah tindakan-tindakan kejam pemerintah Serbia yang dipimpin Slobodan Milosevic. Seorang pejabat PBB disebut-sebut bercerita tentang gadis kecil yang dilihatnya di rumah sakit Srebrenica. Paruhan bawah mukanya hancur oleh peluru Serbia. Si pejabat mengaku berharap dan berdoa supaya gadis itu meninggal saja. Dan ia memang meninggal. Suratnya berlanjut: ''Haruskah kita berdoa agar mereka semua mati, Tuan Presiden?'' Rekomendasi para penanya sendiri cukup tegas. Presiden Clinton didesak untuk meningkatkan pengiriman makanan dan obat ke Bosnia, tidak menghalangi lagi penjualan senjata kepada orang muslim, dan mengadakan intervensi militer di udara untuk melindungi kota-kota yang sedang diserang oleh Serbia. Iklan ini dipasang oleh American Jewish Congress, salah satu organisasi ternama dan terpandang yang sudah lama memperjuangkan aspirasi kaum Yahudi di Amerika. Bagi orang yang belum kenal masyarakat Yahudi, berita ini pasti menakjubkan. Israel, negara Yahudi di Timur Tengah itu, bermusuhan dengan negara-negara muslim di sekelilingnya. Kok, orang Yahudi membela orang Islam? Harus saya akui bahwa saya pun rada kaget sejenak. Tetapi sebenarnya masalahnya cukup jelas. Di Eropa, dan belahan dunia lain yang dihuni orang Eropa, kaum Yahudi sudah lama menjadi bangsa bernasib malang. Dalam sejarah Eropa, khususnya Eropa Tengah dan Timur, sering terjadi pogrom, pembantaian masal terhadap orang Yahudi. Dalil utama yang selalu dikemukakan adalah bahwa orang Yahudi sebagai penyalib Kristus tak berhak hidup di masyarakat Kristen. Puncak kebencian ini tercapai pada pertengahan abad ke-20, tatkala partai Nazi di Jerman di bawah kepemimpinan Adolf Hitler membunuh sekitar enam juta orang Yahudi. Sebagian besar dengan gas racun dalam kamp tahanan seperti Auschwitz. Sesudah Perang Dunia II berakhir, kami, orang Barat beragama atau berbudaya Kristen, menyadari betul bahwa apa yang dilakukan oleh rezim Nazi terhadap kaum Yahudi merupakan sebuah dosa besar. Kami juga sadar bahwa kami semua, bukan cuma pemerintahan Hitler atau bangsa Jerman, ikut bersalah, setidak- tidaknya karena kami tidak mencoba menyelamatkan korban-korban keganasan anti-Semit itu. Sejak itu, sikap dan perlakuan kami terhadap orang Yahudi menjadi jauh lebih baik. Orang Yahudi sendiri mengambil dua pelajaran dari pengalaman nahas mereka. Pertama, mereka bersikeras bahwa mereka harus punya rumah sendiri, seperti bangsa lain di dunia, tempat mereka bisa hidup bebas dari ancaman kemusnahan. Rumah itu tentunya Israel. Selama hampir lima puluh tahun orang Yahudi dari seluruh dunia, terlebih-lebih yang tinggal di Amerika, banting tulang untuk menjamin kelestarian negara baru itu. Pelajaran kedua bersifat lebih universal. Mereka menjadi sangat peka terhadap penderitaan orang lain. Contoh yang sangat menonjol adalah gerakan hak sipil di Amerika, tuntutan orang hitam untuk diperlakukan dan dihargai sebagai manusia penuh, sederajat dengan orang putih. Sampai sekarang, sumbangan kaum Yahudi, dalam bentuk dana dan keterlibatan pribadi, secara proporsional jauh melebihi kontribusi golongan lain, kecuali tentunya orang hitam sendiri. Sayangnya, dua pelajaran ini kadang-kadang berbenturan dalam pelaksanaannya. Di Timur Tengah, pemerintah Israel belum bersedia menerima hak bangsa Palestina untuk punya negara sendiri. Sebagai akibat dari konflik yang tak terselesaikan ini, banyak warga Israel dan orang Yahudi di mancanegara berprasangka buruk terhadap orang Palestina, Arab, dan muslim. Terasa adanya kecenderungan untuk mengidentikkan perlawanan kepada negara Israel kini dengan permusuhan Jerman kepada kaum Yahudi di Eropa dahulu. Tak jarang orang Timur Tengah sendiri mengipaskan api ini dengan retorika yang mereka pinjam dari propaganda Nazi. Misalnya dengan penerbitan kembali Protocols of the Elders of Zion, ''rencana rahasia para tetua Yahudi untuk menguasai seluruh dunia'' itu, yang sebenarnya dikarang sebagai provokasi oleh polisi Tsar Rusia pada abad kesembilan belas. Saya sendiri bukan orang Yahudi, Kristen, ataupun Islam, melainkan cenderung bergabung dengan penganut agama Abraham. Maksud saya, agama Abraham Lincoln, presiden Amerika ke-16. Beliau tidak bersedia menjadi anggota salah satu gereja atau agama tetapi mengaku yakin akan adanya sesuatu yang mendahului dan melebihi kita. Makin lanjut usia saya, makin banyak tingkah manusia yang menggoyahkan keyakinan itu. Jadi, saya berterima kasih sekali kepada pemimpin dan anggota American Jewish Congress. Surat mereka membuktikan kembali bahwa kita tidak harus selalu tenggelam dalam pandangan sempit pribadi dan golongan, tetapi bisa menggapai sesuatu yang lebih besar dan abadi. *)Guru besar ilmu politik The Ohio State University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini