Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pileg

KPAI Akan Buat Pedoman Panduan Pengawasan Pemilu untuk Cegah Eksploitasi Anak

KPAI akan mempublikasikan panduan pengawasan Pemilu dan Pilkada berbasis hak anak setelah putusan MK mengizinkan kampanye politik di sekolah

23 Agustus 2023 | 13.09 WIB

Ilustrasi pemilu. REUTERS
Perbesar
Ilustrasi pemilu. REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) akan mempublikasikan panduan pengawasan Pemilu dan Pilkada berbasis hak anak setelah putusan Mahkamah Konstitusi mengizinkan kampanye politik dilakukan di sekolah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sylvana Apituley, Komisioner KPAI, menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 65/PUU-XXI/2023 yang tidak melarang secara total kampanye politik oleh pelaksana, peserta dan tim kampanye di tempat pendidikan, sebagaimana diberlakukan bagi tempat ibadah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

“Panduan ini nantinya dapat digunakan oleh masyarakat luas untuk ikut melakukan pengawasan yang efektif di lapangan,” kata Sylvana dalam keterangan tertulis, Selasa, 22 Agustus 2023.

Selain itu, KPAI sudah berkordinasi dengan pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk ikut memberi masukan dalam revisi Peraturan KPU tentang kampanye. Sylvana menuturkan hal ini untuk memastikan perlindungan anak dan pemenuhan hak anak yang optimal dalam PKPU tersebut. 

Masukan KPAI antara lain dengan mendorong adanya pengaturan yang detail, jelas dan komprehensif terkait kampanye di sekolah, serta memastikan penetapan sangsi yang jelas dan tegas bagi pihak-pihak yang melanggar. 

“Putusan MK ini menyadarkan KPAI betapa belum semua pihak awas dan memprioritaskan hak-hak konstitusional anak, yang seringkali tersembunyi di balik kesadaran dan kepentingan dominan orang dewasa,” ujarnya. 

Sylvana mengatakan sekolah semestinya menjadi ruang publik netral tempat disemainya nilai-nilai kemanusiaan bagi semua siswi tanpa terkecuali, tanpa diskriminasi. Ia menegaskan sekolah harus bebas dari kepentingan politik personal atay individual dan golongan. 

Kampanye di sekolah

Menurut Sylvana, segala bentuk kampanye politik di sekolah, khususnya dalam rangka Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, adalah penyalahgunaan ruang publik netral, berpotensi melanggengkan dan memperluas kemungkinan terjadinya pelanggaran hak-hak konstitusional anak sebagaimana dilindungi oleh UUD 1945 pasal 28B ayat 2, yaitu setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

“Salah satu ancaman yang berbahaya bagi anak adalah konten kampanye yang tidak sesuai kenyataan, yang berdampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan masa depan anak,” kata Sylvana.

Sylvana mengungkapkan berbagai bentuk materi kampanye yang tidak sesuai dan dapat merusak perkembangan emosi dan mental anak. Kampanye berupa agitasi, propaganda, stigma dan hoaks yang mengadu domba tentang lawan politik, ajakan untuk mencurigai dan membenci, serta politisasi identitas yang dapat memperuncing disharmoni, akan membentuk persepsi, sikap dan prilaku sosial anak yang negatif pula. 

“Seperti melabel negatif orang lain (lawan politik), membenci, agresif, dan akhirnya melakukan kekerasan, termasuk terhadap teman sendiri yang (dirinya atau orangtuanya) berbeda pilihan politik,” tutur Sylvana.

Sylvana menegaskan lembaga sekolah, terutama sekolah-sekolah dengan jumlah murid pemilih pemula yang cukup besar, juga rentan melakukan pelanggaran pidana pemilu, terutama saat diperebutkan oleh peserta Pemilu atau Pilkada untuk menjadi target kampanye politik. Hal ini membuka peluang terjadinya pelanggaran pidana pemilu, sekaligus memperbesar potensi terjadinya manipulasi, eksploitasi dan penyalahgunaan anak. 

Sementara itu, Sylvana menuturkan ancaman kekerasan yang melibatkan massa pendukung peserta Pemilu atau Pilkada, juga adalah salah satu bahaya yang harus diwaspadai dapat terjadi pada saat kampanye dilaksanakan di sekolah. 

Apabila hal ini tidak dicegah, ucap Sylvana, negara dapat dinilai melakukan pembiaran dan gagal dalam melindungi anak dari penyalahgunaan dalam politik, sebagaimana diatur dalam pasal 15a Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik.

“Pengawasan KPAI yang konsisten selama 10 tahun terakhir membuktikan hal ini,” ujarnya.

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus