Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Buzzer dikenal sebagai aktor penting dalam penggalangan opini di dunia maya yang menjalankan fungsi pemasaran untuk menjual sebuah produk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir melalui kominfo.go.id, strategi pemasaran yang diterapkan para buzzer ini terbagi menjadi dua, yaitu melalui kampanye positif dan negatif. Namun, buzzer ini identik dengan kampanye negatif yang membuat tumbuh suburnya fenomena hoaks, ujaran kebencian, fitnah, dan lain sebagainya,
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi ini diperparah karena belum ada aturan khusus yang mengatur tentang cara kerja buzzer politik yang melanggar aturan kampanye negatif. Selain itu, buzzer yang sebagian besar memakai akun anonim dan merahasiakan identitas mereka. Ini mengakibatkan aparat penegak hukum tak mudah untuk melacak keberadaannya.
Buzzer ini bukan hanya berarti arti negatif saja. Bisa jadi mereka dianggap buzzer karena memiliki pengaruh yang kuat bagi para followers-nya di media sosial dan ini dipandang efektif memasarkan suatu produk.
Sehingga, pekerjaan sebagai buzzer juga sangat menjanjikan. Karena yang berpengaruh bukan hanya artis, tetapi juga mereka yang memiliki followers hingga jutaan orang bisa menjadi buzzer yang memiliki penghasilan yang cukup tinggi. Karena pengaruhnyalah, jasa buzzer ini sering dipakai termasuk dalam politik.
Buzzer politik ini memiliki fungsi yang sama dengan buzzer lainnya. Hanya saja yang dijual bukan brand, tetapi revolusi informasi dan globalisasi yang memainkan peran penting dalam mengubah pola dan konten tradisional kampanye politik. Ini juga merupakan bagian dari taktik pemasaran yang paling canggih dan profesional.
Media sosial yang sering digunakan buzzer politik ini adalah Twitter, ini menjadi salah satu media yang digunakan generasi muda yang dapat digunakan sebagai alat sosialisasi tentang Pemilu.
Buzzer ini bertindak sebagai opinion leader karena memiliki akun yang kontennya unik, relevan, berguna, dan frekuensi tweet yang konsisten setiap hari dengan kualitas interaksi yang tinggi.
Hal ini bisa dilihat dari Pilkada DKI Jakarta 2017 silam, sebagai Pilkada yang sempat memanas dan dikaitkan dengan kasus yang menjerat Gubernur nonaktif DKI Jakarta saat itu. Hal ini yang menonjolkan perbedaan kelompok mayoritas dan minoritas. Bahkan menurut Direktur Eksekutif Amnesty International perwakilan Indonesia, Usman Hamid sebagai kemunduran dalam perlindungan HAM. Memanasnya hal ini dikabarkan tidak lepas dari andil para buzzer.
Pilihan editor : Dewan Pers Tidak Ingin Pers Menjadi Buzzer Parpol dalam Pemilu 2024