Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Juru Bicara Partai Gerindra Bidang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Konstitusi Munafrizal Manan menanggapi soal penggunaan isu pelanggaran HAM untuk menghantam calon presiden sekaligus ketua umum partainya, Prabowo Subianto, dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Isu pelanggaran HAM itu kembali mencuat setelah Prabowo sempat bertemu dengan aktivis 98 sekaligus politikus PDIP, Budiman Sudjatmiko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Munafrizal menyatakan bahwa masyarakat Indonesia tak percaya jika Prabowo melakukan pelanggaran HAM. Hal itu, dia lihat dari perolehan suara Prabowo pada Pilpres 2014 dan 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Buktinya Prabowo Subianto didukung rakyat sebanyak 62.576.444 suara (46,85 persen) dalam Pilpres 2014 dan sebanyak 68.650.239 (44,50 persen) suara dalam Pilpres 2019," tutur Munafrizal dalam keterangan tertulis, Jumat, 28 Juli 2023.
Hingga saat ini, Munafrizal menyatakan tidak ada keputusan hukum yang menyatakan Prabowo Subianto bersalah dalam pelanggaran HAM pada 1997-1998. Karena itu, dia menilai pandangan sejumlah orang yang menganggap dan memperlakukan Prabowo seolah-olah nyata bersalah menurut hukum adalah tidak adil.
"Padahal, setiap orang berhak mendapatkan perlakuan yang adil," kata dia.
Pelanggaran HAM harus dibuktikan secara hukum
Dia mengingatkan bahwa pelanggaran HAM merupakan domain hukum sehingga harus dibuktikan berdasarkan pada fakta dan bukti yuridis yang sangat kuat. Dalam hukum pidana, pembuktian hukum tidak boleh sedikit pun ada keraguan yang beralasan (beyond reasonable doubt).
"Apalagi yang tidak beralasan, dan juga pembuktian hukumnya harus lebih terang daripada cahaya (in criminalibus, probationes bedent esse luce clariores), sehingga kebenaran materiil hukumnya tak terbantahkan," kata alumni LLM International Human Rights Law and Criminal Justice, Universiteit Utrecht itu.
Oleh sebab itu, ucap Munafrizal, menuduh seseorang sebagai pelaku pelanggaran HAM berat harus memenuhi syarat teknis hukum yang tidak mudah.
"Itulah mengapa pendekatan yudisial yang telah dilakukan dalam perkara Tanjung Priok, Timor-Timur, Abepura, dan Paniai justru berujung dengan putusan pengadilan HAM yang membebaskan para terdakwa. Dan putusan pengadilan selalu menimbulkan perdebatan pro-kontra baru," kata dia.
Selanjutnya, minta agar isu pelanggaran HAM tidak dijadikan komoditas politik
Dia pun mengingatkan agar tak ada pihak yang menggunakan isu pelanggaran HAM sebagai komoditas politik pada Pilpres 2024. Menurut dia, nilai-nilai terlalu mulia untuk dijadikan komoditas politik.
"Menggunakan isu HAM untuk tujuan kepentingan politik pemilihan presiden justru merendahkan marwah hak asasi manusia itu sendiri. Nilai-nilai HAM terlalu mulia untuk sekadar dijadikan sebagai komoditas politik," kata dia.
Munafrizal menambahkan, peristiwa 1997 atau 1998 tidak terlepas dari kompleksitas sejarah. Ia mendorong agar setiap pihak menilai sejarah secara proporsional, sebab masa lalu tetap akan menyertai kehidupan manusia dan masa depan juga perlu di songsong.
"Mari hentikan segala ujaran kebencian, rasa permusuhan, dan benih perpecahan. Kita harus senantiasa menjaga perdamaian dan persatuan RI yang sangat besar, kaya, dan indah ini, yang memiliki potensi menjadi negara maju dan makmur pada masa depan," ujarnya.
Isu pelanggaran HAM Prabowo kembali mencuat
Isu pelanggaran HAM kembali mencuat menjelang Pilpres 2024. Pemicunya adalah pertemuan antara politikus PDIP sekaligus aktivis 98 Budiman Sudjatmiko dengan Prabowo Subianto beberapa waktu lalu.
Pertemuan tersebut mendapatkan protes dari mantan rekan-rekan Budiman sesama aktivis 98. Mereka menilai Prabowo Subianto sebagai orang yang harus bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM penculikan sejumlah aktivis pada 1997-1998. Saat itu, Prabowo menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
Menurut catatan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) ada 13 orang yang hilang dan tak diketahui rimbanya hingga saat ini. Empat diantaranya adalah para aktivis Partai Rakyat Demokratik yaitu: Wiji Thukul, Bima Petrus, Herman Hendrawan, dan Suyat.
Akibat aksinya ini, Prabowo sempat diperiksa oleh tim yang dikenal dengan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang beranggotakan jenderal-jenderal senior. Mereka adalah Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo sebagai ketua dan enam anggota berpangkat letnan jenderal, yaitu Djamari Chaniago, Fachrul, Yusuf Kartanegara, Agum Gumelar, Arie J. Kumaat, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Dewan Kehormatan Perwira akhirnya memutuskan untuk memberhentikan Prabowo Subianto dari dinas militer.
Meskipun demikian, Prabowo Subainto memang belum sempat diadili secara hukum dalam kasus ini. Rekomendasi DPR pada 2009 agar pemerintah membentuk pengadilan HAM ad hoc dan mengusut kasus penculikan 13 aktivis yang masih hilang pun tak berjalan hingga saat ini. Pemerintahan Presiden Jokowi justru memilih jalur non hukum dengan membentuk Tim penyelesaian nonyudisial pelanggaran HAM berat (PPHAM) melalui Keppres No.17/2022.