Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEGITU terpilih sebagai presiden, Susilo Bambang Yudhoyono berziarah ke makam para sesepuh. Sementara itu, di Jakarta, orang masih kasak-kusuk menerka siapa yang bakal masuk kabinet nanti. ?Bursa? kian hari kian ramai. Apalagi SBY berniat membuat tradisi politik baru: tak ada budaya telepon untuk calon menteri. ?Saya lebih suka dialog dan mengadu konsep,? ujarnya. Pekan ini, sejumlah kandidat menteri bakal langsung menghadap SBY. Apa yang akan dilakukan dalam dialog itu? Heru C. Nugroho dari Tempo menanyakan hal penting itu kepada SBY di Yogyakarta, Kamis pekan lalu. Berikut petikannya.
Anda masih sempat berziarah. Ada makna khusus?
Tak ada sesuatu yang luar biasa. Saya sungkem dan minta doa restu kepada ibu saya di Blitar, kemudian ziarah ke makam Bung Karno sebagai proklamator dan presiden pertama. Kemudian ke Pacitan, ke makam ayahanda. Saya bertemu teman-teman dan mengunjungi sekolah dasar saya dulu di Pacitan. Kemudian saya ziarah ke (makam) mertua saya, Sarwo Edi, di Purworejo. Terus saya kembali ke Jakarta, langsung ziarah ke makam Bung Hatta. Saya ingin melakukan kewajiban saya menghormati pemimpin terdahulu, mantan presiden dan wapres.
Anda sempat berdialog dengan rakyat setempat?
Saya sempat berdialog dengan penduduk Wonogiri, terutama daerah sangat kering yang membutuhkan pasokan air bersih. Mereka ingin air bersih betul-betul terwujud.
Apa lagi harapan mereka?
Mereka menginginkan perubahan. Kesejahteraan makin baik, keamanan makin baik, keadilan makin tegak. Yang mereka inginkan tidak luar biasa, sebetulnya. Karena saya mengemban amanah, saya akan melakukan kerja sekeras dan sebaik mungkin bersama pemerintahan yang saya pimpin.
Itu sebabnya seleksi menteri mirip model fit and proper test?
Itu berlebih-lebihan. Saya enggak pernah menggunakan kata-kata fit and proper test. Saya akan melakukan dialog dengan mereka agar menteri dan calon menteri bukan hanya ditelepon. Tapi ada dialog, dong. Dalam waktu lima tahun itu, masalahnya apa dan konsepnya bagaimana untuk menyelesaikan kalau saya pilih nanti.
Mengapa tak langsung pakai hak prerogatif presiden?
Bukan berarti saya tak mengerti hak prerogatif. Jangan salah menafsirkan. Saya lebih senang dengan cara tadi. Kalau ada dialog, kan semuanya ada komunikasi dan merasa bertanggung jawab. Rakyat juga tahu bahwa pemimpin dan menterinya itu mengerti persoalan. Rakyat tahu mereka itu punya tekad kuat mengatasi persoalan apabila yang bersangkutan saya angkat menjadi menteri. Jadi, itu wajar sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo