Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>Kasus Gayus</B></font><BR />Gayus Urung ke Kuningan

Komisi Pemberantasan Korupsi enggan mengambil alih kasus Gayus Tambunan. Tempat kejadian perkara sudah becek.

29 November 2010 | 00.00 WIB

<font face=arial size=1 color=brown><B>Kasus Gayus</B></font><BR />Gayus Urung ke Kuningan
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

HIDANGAN yang tersaji di satu ruangan rumah tahanan Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, itu tak disentuh para penjaga, Rabu dua pekan lalu. Beragam makanan yang diantarkan suruhan Gayus Halomoan Tambunan semula disiapkan untuk disantap bersama seusai salat Idul Adha.

Suruhan yang menyuguhkan hidangan itu berulang kali meminta agar makanan dicicipi. Namun lima polisi yang bertugas saat itu tetap tak beranjak. ”Mereka takut dituduh menerima suap dari Gayus karena makanan itu,” kata seorang penghuni rumah tahanan kepada Tempo.

Terbongkarnya pemberian upeti Rp 368 juta dari Gayus kepada kepala rumah tahanan, Komisaris Polisi Iwan Siswanto, dan puluhan juta rupiah untuk anak buahnya menjadi momok bagi para penjaga yang sekarang bertugas. Uang itu disogokkan Gayus agar bisa bebas keluar-masuk sel.

Sejak Juli lalu, terdakwa kasus suap dan mafia pajak ini tercatat meninggalkan rumah tahanan 68 kali. Terakhir, Gayus bersama istri dan anaknya tepergok menonton pertandingan tenis di Nusa Dua, Bali, pada 4-6 November lalu. Karena kasus ini, sejak Senin pekan lalu Gayus dipindahkan ke rumah tahanan kelas 1 Cipinang, Jakarta Timur.

Setelah suap Gayus untuk polisi kembali terkuak, desakan agar Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih kasus ini gencar lagi. Pengajar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Bambang Widodo Umar, menilai sudah saatnya KPK bertindak. ”Ini kasus besar,” katanya. Pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Edy O.S Hiariej, menimpali, ”Syarat yang ada sudah lebih dari cukup.”

Gayus juga menyatakan siap jika kasusnya ditarik KPK. ”Daripada serba tanggung begini,” kata kuasa hukum Gayus, Adnan Buyung Nasution. Buyung memang gemas akan lambannya pengusutan kasus di kepolisian. Sebab, di kantong Gayus tersimpan kasus pajak dengan nilai triliunan rupiah. Dalam persidangan, Gayus berulang kali mengaku menerima aliran dana US$ 7 juta (Rp 65 miliar) untuk ”penyelesaian” urusan pajak dari tiga perusahaan batu bara Grup Bakrie, yaitu PT Bumi Resources Tbk., PT Kaltim Prima Coal, dan PT Arutmin Indonesia.

Dalam dokumen pemeriksaan Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri, Oktober tahun lalu, Gayus mengaku menggarap 149 wajib pajak perorangan dan badan usaha. Di situ tercatat pula beberapa wajib pajak besar seperti perusahaan tambang di Nusa Tenggara, perusahaan minyak internasional, operator telepon seluler ternama, perusahaan kertas papan atas, dan pabrik semen.

Mendapat desakan, tiga pemimpin KPK, yaitu Bibit Samad Rianto, Chandra M. Hamzah, dan M. Jasin, bertemu dengan Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo, Selasa pekan lalu. Tersiar kabar, pertemuan itu membahas serah-terima kasus Gayus dari kepolisian ke KPK. Sesuai dengan undang-undang, KPK memang bisa mengambil alih kasus yang sedang ditangani kepolisian. Namun, ”Perkara Gayus tetap di kepolisian,” kata Timur, seusai pertemuan.

Melalui juru bicaranya, Julian Aldrin Pasha, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendukung keputusan itu. Sumber Tempo mengatakan KPK memang tidak ingin menangani perkara Gayus. Sebab, penanganan kasus ini sudah kacau-balau sejak awal. ”Dokumen dan barang bukti kasus ini sudah berserakan ke mana-mana,” katanya. ”Tempat kejadian perkara sudah becek.”

Sumber lain mengatakan, sejak Gayus pertama kali datang ke Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum pada 19 Maret 2009, KPK sudah diminta masuk. ”Namun tidak direspons.” Anggota Satuan Tugas, Denny Indrayana, membenarkan pernah meminta KPK mengusut kasus Gayus. Sampai saat ini, katanya, Satuan Tugas tetap menginginkan KPK terlibat. ”Tidak harus mengambil alih, bisa dengan supervisi,” ujar Denny.

Setri Yasra, Anton Septian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus