Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUMIATI binti Salan Mustapa harus menjalani hari-harinya di kamar nomor 125 bangsal 1B Rumah Sakit King Fahd di Madinah, Arab Saudi. Wanita asal Nusa Tenggara Barat ini terbaring lunglai di bangsal khusus pasien luka bakar berukuran 4 x 6 meter setelah hampir meninggal akibat penganiayaan oleh majikannya.
”Kondisinya baik. Dia sadar, dan makannya banyak,” kata seorang staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah kepada Tempo, Kamis pekan lalu. ”Sumiati sudah bisa berkomunikasi.”
Tempo, yang menyambangi rumah sakit itu, semula diizinkan Direktur Rumah Sakit King Fahd Mohammad Bilal untuk bersua dengan Sumiati. Namun pertemuan itu tak terlaksana setelah seorang pejabat konsulat Indonesia melarang kunjungan tersebut.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri Tatang B. Razaq, yang sejak pekan lalu berada di Madinah, mengatakan Sumiati baru saja menjalani operasi plastik di kepala. Langkah medis ini ditempuh karena kulit batoknya mengelupas akibat jambakan sang majikan. Kemungkinan besar Sumiati masih harus menjalani beberapa operasi lagi. ”Sebab, ada luka di hidung, bibir, dan telinga,” katanya.
Kasus Sumiati bikin gempar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pekan lalu memberangkatkan tim khusus yang dipimpin Menteri Pemberdayaan Perempuan Linda Gumelar ke Arab Saudi.
Menggantang harapan untuk mendapat riyal, Sumiati datang ke Arab Saudi sejak 18 Juli lalu. Namun, baru beberapa pekan bekerja sebagai pembantu rumah tangga, kekerasan yang ia terima.
Kasus ini dilaporkan ke polisi oleh perwakilan Indonesia sehari setelah Sumiati dirawat di Rumah Sakit King Fahd. ”Ada orang yang melaporkan ke kami,” kata Kepala Layanan dan Perlindungan WNI Konsulat Jenderal Indonesia di Jeddah, Didi Wahyudi. Sumiati dilarikan ke King Fahd setelah rumah sakit pertama tempatnya dirawat angkat tangan akibat luka yang dideritanya kelewat parah. Di rumah sakit pertama itu mula-mula ia diangkut anak majikan. Menurut Didi, majikan Sumiati sudah ditahan. ”Anaknya telah memberikan kesaksian bahwa ibunya memang menganiaya,” katanya.
Derita Sumiati memperpanjang daftar tenaga kerja Indonesia yang bermasalah di luar negeri. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, hingga Oktober lalu tercatat 6.604 kasus tenaga kerja Indonesia bermasalah di berbagai negara. Paling banyak di Arab Saudi (5.563 kasus) disusul Malaysia (1.000 kasus). Mayoritas kasus adalah buruh migran yang sakit saat bekerja. Ada pula penganiayaan (1.097 kasus) dan kekerasan seksual serta buruh tidak digaji (898 kasus). Menurut Anis, rekor masalah terjadi di Arab Saudi karena jumlah tenaga kerja Indonesia di sana paling besar. ”Lebih dari satu juta orang,” katanya.
Namun data yang dirilis Migrant Care disanggah Kementerian Tenaga Kerja. Menurut Direktur Bina Penempatan Kementerian Tenaga Kerja Ros Setyawati, jumlah kasus tenaga kerja bermasalah di Arab Saudi hingga pekan lalu hanya 491. Disusul Malaysia, dengan 259 kasus.
Kementerian Luar Negeri mengaku menghadapi kesulitan mengurus tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi. Kantor perwakilan Indonesia harus memantau buruh migran di kawasan seluas 2,4 juta kilometer persegi. Menurut Tatang B. Razaq, kawasan yang luas itu hanya bisa dipantau dari dua tempat: kedutaan di Riyadh dan konsulat jenderal di Jeddah.
Selain itu, kantor perwakilan tidak pernah mendapatkan alamat majikan. Meski nomor identitas tunggal di sana sudah berlaku dengan baik, informasi data individu masyarakat amat dilindungi. ”Alamat yang ada hanya kotak pos,” kata Tatang.
Pemerintah pernah berupaya membujuk pemerintah Arab Saudi untuk mau memberikan denah alamat maji-kan yang mempekerjakan orang Indonesia. ”Namun itu juga ditentang,” ujar Tatang.
Tak hanya itu, pemerintah Arab Saudi susah diajak membahas perjanjian khusus masalah tenaga kerja Indonesia. Padahal beberapa negara lain sudah meneken nota kesepahaman tentang tenaga kerja. Negara itu adalah Malaysia, Korea Selatan, Jepang, Yordania, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, dan Taiwan. Di Taiwan nota kesepahaman diteken oleh pihak swasta karena Indonesia tak punya hubungan diplomatik dengan negara itu. Berikutnya yang akan segera menandatangani nota kesepahaman adalah Suriah, Libya, dan Libanon.
Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar mengisahkan susahnya mengajak pemerintah Arab Saudi berunding untuk membuat nota kesepahaman. Dia mengaku sudah berkali-kali bertemu dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Dalam Negeri Arab serta meminta agar kesepahaman bisa dibahas. ”Jawabannya hanya janji akan mempertimbangkan,” katanya.
Dalam pertemuan terakhir, Muhaimin mendapat jawaban ketus dari Menteri Arab Saudi. ”Sudahlah, percayakan pada undang-undang kami, tanpa harus ada nota kesepahaman,” ujar dia menirukan jawaban sang menteri. Arab Saudi berdalih tidak pernah membuat kesepakatan dengan negara mana pun.
Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Abdulrahman Mohammed Amen al-Khayyat, mengakui negaranya belum bersedia menandatangani nota kesepahaman. Katanya, di Arab Saudi ada delapan juta tenaga migran dari berbagai negara. ”Kalau diteken dengan Indonesia, bisa-bisa semua akan minta,” katanya.
Dia menegaskan pemerintahnya akan memenuhi tuntutan perlindungan hak tenaga kerja Indonesia. Saat ini, Majelis Syura (parlemen) Arab sedang membahas peraturan perundangan mengenai tenaga kerja. ”Termasuk pembantu rumah tangga,” Abdulrahman menambahkan. Soal keterbukaan informasi mengenai majikan, dia mengatakan itu juga sulit dipenuhi. ”Kalau ada masalah, lapor saja ke polisi,” ujar dia. Polisi pasti akan mengurusinya, seperti yang terjadi dalam kasus Sumiati.
Sengkarut masalah tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi, bagi Migrant Care, tidak melulu soal keengganan pemerintah Saudi meneken nota kesepahaman. Dia menyorot lemahnya perlindungan terhadap pekerja rumah tangga. Indonesia hingga saat ini tak memiliki undang-undang pekerja rumah tangga. ”Bagaimana bisa mendesak Arab Saudi kalau kita juga tidak punya undang-undang pekerja rumah tangga,” kata Anis Hidayah.
Seorang diplomat Indonesia di Arab Saudi juga mengeluhkan soal ini. ”Kami ini seperti disuruh membersihkan sampah dari Jakarta,” katanya. Dia menyorot Undang-Undang Nomor 39/2004 yang menyatakan tenaga kerja Indonesia harus ditempatkan ke negara yang melindungi buruh migran dan negara yang memiliki nota kesepahaman. ”Fakta yang terjadi sebaliknya,” kata diplomat itu. ”Pemerintah kita melanggar undang-undang.”
Kementerian Tenaga Kerja melihat persoalan datang pula dari agen penyalur buruh migran. Ros Setyawati berkisah, saat timnya melakukan inspeksi mendadak di sebuah penampungan calon tenaga kerja di kawasan Condet, Jakarta Timur, pekan lalu, pemilik penampungan menghalangi tim pemerintah. Setelah calon buruh itu bertemu perwakilan pemerintah, ”Mereka menangis dan bilang tak mau bekerja ke luar negeri,” kata Ros. ”Jadi, pasti ada persoalan dalam proses rekrutmen.”
Purwani Diyah Prabandari (Jakarta) dan HM Taufiqurohman (Madinah)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo