Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH kado ulang tahun buat Raja Thailand Bhumibol Adulyadej, 5 Desember nanti, disiapkan di Bogor, Jawa Barat, sejak dua tahun lalu. Ini kado istimewa buat sang Raja, karena—tentu kalau sukses—bisa mengakhiri konflik yang telah memakan korban ribuan nyawa di wilayah selatan negara itu: kesepakatan damai pemerintah dengan gerilyawan Pattani.
Setelah berhasil merangkai kesepakatan damai pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyinggung kemungkinan terlibat dalam penyelesaian konflik di Thailand Selatan. Ia antara lain menugasi Farid Husain, salah satu juru runding pemerintah dalam perundingan dengan GAM di Helsinki, Finlandia, 2005. ”Coba kau lihat Farid, apa ada kemungkinan kita masuk ke situ,” kata Kalla.
Komunikasi dengan para tokoh gerilyawan Pattani pun dirintis. Pintu masuk dibuka oleh orang-orang GAM di Swedia, yang mengenal elite Pattani. Seperti GAM, para pemimpin gerilyawan Pattani juga banyak bermukim di luar negeri. Juha Christiansen, duet Farid Husain di Helsinki ketika menjadi penghubung dengan GAM, juga dikontak.
Inisiatif Kalla muncul setelah menerima pesan dari Malik Mahmud, petinggi GAM di Swedia. Menurut Farid, Malik Mahmud mengatakan bahwa para tokoh Pattani meminta bantuan Kalla menengahi konflik mereka dengan pemerintah. Melihat pengalaman di Helsinki, para petinggi Pattani menaruh harapan kepada Wakil Presiden.
Meski sejarah konfliknya lebih panjang, masalah yang dihadapi ”pemberontak” Pattani mirip GAM. Menurut pengamat politik Fachry Ali, konflik berawal ketika Kesultanan Melayu Pattani dianeksasi Kerajaan Muangthai pada abad ke-11. Konflik tak meledak karena hak sosiokultural Pattani tetap diakui. ”Penguasanya tetap Raja Pattani, kecuali mereka harus bayar upeti ke Muangthai,” kata Fachry.
Pada 1901, penjajah Inggris memunculkan Traktat Anglo Siam. Secara resmi, sistem pemerintahan Kesultanan Melayu Pattani dihapus tanpa persetujuan rakyatnya. Sebagian Kesultanan Pattani bersama Malaysia masuk wilayah kolonial Inggris.
Pada 1936 terjadi pemakzulan Raja Thailand. Monarki absolut hilang dan perdana menteri menjadi kepala pemerintahan. Sayangnya, sang perdana menteri membuat kebijakan asimilasi radikal. Hak sosiokultural Pattani diberangus. Ia bahkan melarang warga Melayu Pattani berbahasa Melayu, pengajaran dan penggunaan nama Melayu juga dilarang.
Rakyat Pattani kecewa. Akhirnya terjadilah pemberontakan pada 1947 yang berlanjut hingga kini. ”Konfliknya sudah turun-temurun,” kata Fachry. Kekerasan kembali memuncak empat tahun lalu saat pemerintah Thailand di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra melancarkan operasi militer ke wilayah selatan, yang menewaskan setidaknya 3.400 orang.
Membawa mereka ke meja perundingan bukanlah hal gampang. Usaha lebih serius baru tampak berhasil setengah tahun lalu. Delegasi Perdana Menteri Samak Sundaravej yang berkunjung ke Jakarta, Maret lalu, meminta Jusuf Kalla menjadi mediator. Kalla setuju dengan syarat: harus ada mandat dari pemerintah Thailand. Dengan izin dari Raja Bhumibol, mandat dari Samak diberikan.
Masalah selanjutnya adalah penentuan wakil gerilyawan Pattani. Maklum, setidaknya ada enam faksi yang memiliki kepentingan berbeda. Untuk menunjuk wakil, beberapa kali pertemuan dilakukan, di antaranya di Kedah, Penang, dan Langkawi, Malaysia. Gongnya adalah pertemuan besar semua tokoh kunci muslim Pattani yang tersebar di berbagai negara di Mekkah, Arab Saudi, sambil melakukan ibadah umrah. Sembilan puluhan orang hadir dalam pertemuan di Tanah Suci ini.
Pertemuan di Mekkah menjelang bulan puasa itu menyepakati dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Muslim Pattani. ”Ini merupakan gabungan enam faksi yang mewakili muslim Pattani di meja perundingan,” ujar Farid kepada Tempo. Wahyudin Mohammad ditunjuk sebagai pemimpin delegasi yang kemudian datang ke Istana Bogor, 20-21 September lalu.
Resep manjur Helsinki lalu diterapkan. Perundingan Bogor itu berlangsung akrab memakai bahasa Thailand, Melayu, Indonesia, dan diterjemahkan ke bahasa Inggris. Pihak Pattani diwakili Wahyudin Muhammad, Bachtiar Chotal, Abu Ikrima, Sa’adul Maliki, dan Muhammad Abdul Aziz. Adapun pemerintah Thailand diwakili Jenderal Khwanchart Klahan, Jenderal Pongsak Intra Wongsak, Letnan Jenderal Nopparat Yodmivool, Mayor Jenderal Jerd Pobsook, dan Kolonel Wichai Chucherd.
Jusuf Kalla didampingi Farid dan Djohermansyah Djohan, Deputi Bidang Politik di kantor Wakil Presiden. Rektor Paramadina Anis Baswedan dan pengamat politik Fachry Ali diminta Kalla ”mempelajari konstitusi Thailand”. Duta Besar Indonesia untuk Thailand, M. Hatta, juga hadir untuk memonitor. Sedikit acara selingan, kedua delegasi bergiliran menghadap Presiden Yudhoyono.
Sumber Tempo mengungkapkan para gerilyawan Thailand Selatan mengajukan tuntutan mirip yang dulu diajukan GAM. Misalnya, mereka meminta penarikan pasukan Angkatan Bersenjata dari Thailand Selatan. Juga pemberian program ”cash and carry” bagi kombatan selayaknya yang diberikan pemerintah Indonesia kepada bekas GAM.
Pada ronde itu disepakati dua hal penting, yaitu tidak ada lagi tuntutan ”merdeka” serta perlunya diadakan pemilihan kepala daerah di Thailand Selatan. Soal ini, Farid menolak bicara. ”Itu sudah substansial, saya tidak boleh bicara,” ujarnya. Khwanchart setali tiga uang. ”Saya tidak boleh berbicara saat ini,” ujarnya seperti dikutip Bangkok Post.
Anis juga menolak mengungkap isi perundingan. Tapi ia yakin kesepakatan damai akan segera terjadi. Menurut dia, Thailand percaya kepada Indonesia karena yakin tidak mendukung separatisme dan pihak Pattani percaya bahwa Indonesia tidak mungkin meninggalkan kaum muslim yang merupakan mayoritas penduduk Pattani. ”Pokok masalah sudah disepakati, tinggal membahas perkara sampingan,” kata sumber Tempo.
Perundingan akan dilanjutkan di Istana Bogor, awal dan pertengahan bulan depan. Sebelum ulang tahun Raja Bhumibol, menurut Farid, perundingan diharapkan sudah membuahkan hasil. Dengan begitu, hadiah ulang tahun siap ”dipersembahkan”. Apalagi, menurut sebuah sumber, kedua pihak tampaknya baru sadar bahwa perkara yang mereka ributkan sebenarnya sudah diatur konstitusi.
Sedikit ”kerikil” justru muncul di Tanah Air. Perundingan yang tadinya digagas berlangsung rahasia itu menjadi terbuka setelah adanya pengumuman Dino Patti Djalal, juru bicara kepresidenan. ”Presiden menugasi Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai mediator,” kata Dino. Menurut sumber di kantor Kalla, gagasan ini tak ada kaitan dengan Presiden. Dino dipersalahkan karena ”terlampau masuk ke substansi yang seharusnya dirahasiakan”, dengan mengatakan bahwa perundingan menelurkan sejumlah poin penting.
Jusuf Kalla kabarnya berang atas pengumuman itu. Pernyataan Dino bisa mengancam kelangsungan perundingan. ”Gara-gara kita tidak tahu etika,” katanya. Dino akhirnya datang ke kantor Kalla sebelum Lebaran untuk meminta maaf atas kekeliruan ini. Dimintai konfirmasi soal ini, Dino menjawab, ”Sudah saya luruskan masalahnya dengan Wakil Presiden, tidak perlu diungkit-ungkit lagi.”
Agus Supriyanto, Wahyu Muryadi, Sahala Lumban Raja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo