Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPALA Arsyad Sanusi mendadak pusing. Tayangan televisi di kamar tidurnya, Selasa pekan lalu, membuat bekas hakim Mahkamah Konstitusi itu tersentak. Istrinya, Enny, ikut terbangun. Berdua mereka memelototi siaran langsung rapat Panitia Kerja Mafia Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat. Arsyad lemas. Enny langsung mengurut kepala suaminya. ”Sabar, Papi,” kata Arsyad kepada Tempo, Kamis pekan lalu, menirukan istrinya. Tak lama, pekik Arsyad menggema di rumah mereka di kawasan Jemur Handayani, Surabaya: ”Ini pembunuhan karakter!”
Adalah pernyataan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar yang mengganggu Arsyad, yang baru pulang umrah. Di hadapan anggota Panitia Kerja Komisi Pemerintahan DPR, Janedjri membeberkan hasil investigasi lembaganya tentang kasus surat palsu penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum. Surat palsu yang menguntungkan calon anggota DPR dari Partai Hati Nurani Rakyat, Dewi Yasin Limpo, itu, kata Janedjri, dirancang di kediaman Arsyad di Apartemen Pejabat Lembaga Tinggi Negara.
Menurut Janedjri, surat palsu tertanggal 14 Agustus 2009 itu dikonsep Arsyad bersama anggota staf Mahkamah Konstitusi bernama Masruri Hasan dan disaksikan Dewi. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. mendukung pernyataan Janedjri. ”Surat palsu dibuat di kediaman Arsyad,” ujarnya. Dalam surat palsu itu disebutkan perolehan suara Partai Hanura di daerah pemilihan Sulawesi Selatan I bertambah, sehingga Dewi berhak melenggang ke Senayan.
Arsyad membantah pernyataan dua bekas koleganya itu. Ia mengaku tak pernah diperiksa tim investigasi Mahkamah yang dipimpin hakim Abdul Mukthie Fadjar. Arsyad mengaku hanya diberi pesan oleh Mukthie agar berhati-hati dalam kasus pemalsuan surat. ”Saya tak tahu harus berhati-hati untuk apa,” katanya.
Tapi Arsyad membenarkan Masruri Hasan pernah berkunjung ke apartemennya dan bertanya tentang jawaban atas kasus Dewi yang akan diserahkan ke KPU. Arsyad, yang menangani kasus Dewi, mengaku curiga dan meminta Hasan tak menjawab pertanyaan Komisi. Musababnya, Hasan tak memiliki kewenangan menjawab surat KPU yang mempertanyakan putusan Mahkamah Konstitusi atas kasus Dewi.
Arsyad mengaku mengenal Dewi saat ia bertugas di Sulawesi Selatan. Tapi ia tak ingat waktu kunjungan Hasan dan soal kehadiran Dewi. ”Peristiwanya sudah dua tahun lalu. Tapi, ada atau tak ada Dewi, saya tak pernah merancang surat itu,” ujarnya. Dewi juga mengaku tak tahu tentang surat palsu. ”Saya biasa ke rumah Arsyad untuk makan-makan dan pengajian,” kata adik Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo ini. Adapun Masruri Hasan—kini hakim di Papua—tak bisa dihubungi.
Tak hanya Arsyad yang disebut terlibat dalam pemalsuan surat. Awal Juni lalu, Mahfud melaporkan Andi Nurpati, bekas anggota Komisi Pemilihan Umum yang sekarang menjadi Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat, ke kepolisian. Andi diduga ikut meloloskan surat itu saat penetapan calon legislator terpilih. Setelah surat diketahui palsu, KPU mencoret nama Dewi.
Pekan ini, Panitia Kerja Mafia Pemilu bakal memanggil Arsyad dan Andi. Sama seperti Arsyad, Andi mengaku siap buka-bukaan. ”Saya tak terlibat dalam kasus pemalsuan surat itu. Penentuan calon terpilih sudah melalui prosedur yang benar,” kata Andi di kantor Komisi Pemilihan Umum, Rabu pekan lalu.
Andi boleh saja berkelit dari kasus pemalsuan surat. Tapi Panitia Kerja tak hanya menyasar kasus surat palsu. Anggota Komisi Pemerintahan DPR, Arif Wibowo, mengatakan Panitia Kerja akan menyelidiki berbagai kecurangan sejak tahapan Pemilihan Umum 2009 dimulai. ”Kami mendengar salah satu kecurangan terjadi saat verifikasi partai politik,” kata politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Sejumlah sumber Tempo di KPU mengakui banyak kecurangan dalam proses penetapan partai yang lolos verifikasi pada 7 Juli 2008. Misalnya, Partai Islam semula tak lolos karena gagal memenuhi syarat kepengurusan di dua pertiga jumlah provinsi. ”Tapi Andi Nurpati mengotak-atik angka kepengurusan Partai Islam agar bisa lolos,” kata sejumlah sumber.
Malam itu, di ruang Ketua Komisi Pemilihan Umum, anggota KPU, I Gusti Putu Artha, menolak meloloskan Partai Islam karena yakin persyaratan pengurus tingkat provinsi partai ini tak memenuhi syarat. Sumber Tempo yang mengikuti rapat mengatakan Andi ngotot partai itu memenuhi syarat. Putu meminta rapat diskors. Ia meminta data yang diserahkan Partai Islam diteliti kembali. ”Saya tiap hari mengamati perkembangan verifikasi dan tahu persis partai itu tak lolos,” katanya. Baru menjelang hari berganti, KPU menetapkan 34 partai peserta pemilihan tanpa menyertakan Partai Islam.
Putu tak tahu mengapa Andi Nurpati berkukuh membela Partai Islam. Inilah yang menurut Arif Wibowo bakal ditelusuri Panitia Kerja. Adapun Andi Rasyid Djalil, Ketua Umum Partai Islam, tak bisa dimintai keterangan. Dua nomor telepon selulernya tak bisa dihubungi.
Penyelidikan Panitia Kerja tak berhenti pada pemilihan umum. Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR Hakam Naja mengatakan Panitia Kerja bakal menyelidiki berbagai kasus pemilihan kepala daerah yang diduga melibatkan anggota KPU. ”Semua yang berkaitan dengan mafia pemilihan pasti kami kejar,” ujar politikus Partai Amanat Nasional ini.
Salah satunya kasus pemilihan Bupati Tolitoli, Sulawesi Tengah. Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum, Nur Hidayat Sardini, menceritakan, kasus Tolitoli bermula dari meninggalnya calon wakil bupati Amirudin Nua, yang berpasangan dengan Aziz Bestari. Berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, pasangan calon itu harus dinyatakan gugur. KPU setempat lalu berkonsultasi dengan Andi Nurpati. Andi ngotot mempertahankan pasangan calon itu. ”Hasil pemeriksaan kami, Andi mendesak Ketua Komisi Pemilihan mengeluarkan surat yang menyatakan pasangan calon itu tetap menjadi peserta,” kata Nur.
Belakangan, KPU menyadari kesalahannya dan membatalkan kesertaan pasangan Azis-Amirudin. Tapi salinan surat itu telanjur disebarkan di Tolitoli. Pendukung pasangan nomor urut satu itu mengamuk dan membuat kisruh. Akhirnya, Andi diadili Dewan Kehormatan KPU dan dinyatakan bersalah. ”Jadi dia dipecat bukan hanya karena bergabung dengan Demokrat,” ujar Nur.
Andi menyangkal semua tuduhan. Ia menegaskan proses verifikasi partai dan keluarnya surat sudah sesuai dengan prosedur. Lagi pula, semua keputusan yang diambil bukan atas paksaannya. ”Tanggung jawabnya kolektif,” katanya. Ia malah menilai niat Panitia Kerja Mafia Pemilu mengada-ada karena hal itu telah lama usai. ”Kenapa baru dipersoalkan sekarang?” ujarnya. ”Jangan-jangan karena saya masuk Demokrat.”
Pramono, Dianing Sari, Alwan Ridha Ramdani (Jakarta), Ardiansyah Razak Bakri (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo