Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>Nahdlatul ulama</B></font><BR />Setelah Rapat Kajen Dirombak

Kepengurusan baru NU ditolak Jawa Timur. Wakil Kepala BIN As’ad Said masuk posisi kunci.

26 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BASIS utama warga nahdliyin meradang. Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur menolak Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 2010-2015 yang baru saja diumumkan oleh Rais Am Sahal Mahfudh dan Ketua Umum Tanfidziyah Said Aqil Siroj di gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Senin pekan lalu.

Sikap penolakan itu dituangkan dalam surat yang dikirim via faksimile ke kantor pusat NU di Jakarta. Surat diteken Wakil Rais Syuriah NU Jawa Timur Kiai Agoes Ali Masyhuri, Wakil Ketua Tanfidziyah Wahid Asa, dan Sekretaris Masyhudi Muchtar. ”Nawala mufaraqah itu hasil rapat gabungan pengurus syuriah dan tanfidziyah,” kata Masyhudi Muchtar, Jumat pekan lalu.

Pleno perlawanan digelar di Surabaya, Rabu pekan lalu. Semua elite ulama di tempat kelahiran ormas Islam terbesar di Indonesia itu hadir. Selain Agoes Ali Masyhuri, tampak Kiai Miftakhul Akhyar, dan pemimpin Pesantren Ploso, Kediri, yang disegani, Kiai Zainuddin Djazuli. Mereka berang lantaran hasil rapat formatur di rumah Kiai Sahal, Pondok Pesantren Maslakul Huda, di Kajen, Pati, Jawa Tengah, Senin dua pekan lalu, dirombak.

Rapat formatur yang berlangsung di Kajen itu merupakan tindak lanjut hasil Muktamar NU yang ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan, Maret lalu. Saat itu muktamirin memilih kembali Kiai Sahal sebagai rais am, ulama pemuncak di struktur jam’iyah ini. Adapun Hasyim Muzadi, mantan Ketua Umum NU, batal berebut posisi rais am, setelah di babak pertama pemilihan, suaranya tertinggal jauh dibanding Kiai Sahal.

Rais am dan ketua umum terpilih, plus sejumlah ulama, menjadi formatur untuk membentuk kepengurusan. Mereka rapat di Kajen. Namun belakangan susunannya berubah. ”Pengumuman struktur PBNU, 19 April, itu melanggar anggaran dasar karena berbeda dengan hasil Kajen,” kata Kiai Agoes Ali Masyhuri. Jawa Timur menuntut agar hasilnya dikembalikan seperti semula hingga batas akhir 27 April atau 30 hari dari muktamar.

Rapat Kajen menghasilkan dua wakil rais am, yakni Kiai Musthofa Bisri dan Hasyim Muzadi. As’ad Said Ali dan Slamet Effendy Yusuf masing-masing dijadikan wakil ketua umum. Belakangan Hasyim digeser menjadi rais syuriah. Slamet Effendy diturunkan sebagai ketua tanfidziyah. ”Jawa Timur kecewa karena sebagai kiblat NU, aspirasinya diabaikan,” kata seorang rais syuriah. Rais am dan wakilnya dipegang dua kiai Jawa Tengah, sedangkan ketua umumnya dari Jawa Barat. ”Jawa Timur berkepentingan agar Hasyim Muzadi tetap wakil rais am,” kata seorang kiai di syuriah pusat.

Ada pula faktor As’ad Said, tokoh intelijen. ”Masuknya Pak As’ad merusak kaderisasi NU,” kata Miftakhul Akhyar, anggota formatur di Kajen. As’ad adalah Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), yang diangkat Presiden Abdurahman Wahid. Posisinya tak berubah meski BIN dipimpin empat figur berbeda. As’ad dikhawatirkan menjadi representasi pemerintah ke tubuh NU. ”Masuknya As’ad bisa mengerdilkan NU,” kata sumber Tempo. Benarkah? ”Saya enggak mau berkomentar,” kata Slamet Effendy.

Wakil Rais Am Kiai Musthofa Bisri terperangah atas sangkaan itu. Sebab, As’ad, yang lahir di Kudus, Jawa Tengah, 60 tahun lalu, bukan orang asing. Ia pernah nyantri kepada Kiai Ali Ma’shum di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, sembari kuliah hubungan internasional di Universitas Gadjah Mada. ”Dia dan anak-anaknya sering membantu NU, jadi dia bukan yang tiba-tiba pulang,” kata Gus Mus kepada Tempo. ”Pak As’ad masuk pengurus karena santrinya, bukan intelnya,” kata Masdar F. Mas’udi, salah seorang pengurus syuriah.

Menurut Sekretaris Syuriah Yahya C. Staquf, As’ad bisa masuk atas permintaan Kiai Sahal. ”Kemampuan manajerialnya diharapkan menopang Pak Said Aqil,” kata Yahya. Soal jiwa nahdliyin, tak diragukan. ”Di darahnya ada stempel NU.” Saat mondok dan kuliah di Yogyakarta, As’ad mendirikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, organisasi onderbouw NU. As’ad juga bersaudara dengan Sahal dari garis keturunan Mbah Mutamakin. ”Ia pintar berbahasa Arab dan Inggris, jaringannya luas, toh sebentar lagi pensiun,” kata Masdar.

As’ad mengaku tak jadi masalah masuk NU karena bukan partai politik. Pengasuh Yayasan As-Salafiyah, Kajen, Jawa Tengah, ini membuka diri untuk diteliti riwayat hidupnya. ”Tak mungkin saya tolak, ketika saya diminta membantu NU,” ujarnya. Said Aqil memilih As’ad karena pengetahuannya yang luas. Keterlibatannya dalam intelijen negara selama 36 tahun diharapkan bisa mengatasi krisis pemberdayaan warga NU. ”Dia punya karier bagus di bidang yang rumit dan bukan titipan siapa pun,” kata Said.

Dwidjo U. Maksum, Wahyu Muryadi (Jakarta), Rohman Taufiq (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus