Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEROLEHAN putaran kedua pemilihan Gubernur Jawa Timur di Bai Pajung, Kecamatan Tanah Merah, Bangkalan, Madura, terasa menyesakkan kubu Khofifah Indar Parawansa. Sebiji suara pun tak bisa mereka jaring di tujuh dari delapan tempat pemungutan suara di daerah itu pada 4 November lalu.
Pada putaran pertama, Juli lalu, pundi-pundi suara ”Kaji”, sebutan pasangan Khofifah-Mudjiono, masih terisi walau tetap tak bisa mengungguli pesaing mereka, Soekarwo-Saifullah Yusuf. ”Cuma di satu tempat kami memperoleh suara,” kata Nyai Salimah, koordinator saksi kubu Khofifah se-Bangkalan. ”Itu pun cuma satu.”
Pengasuh Pondok Pesantren Syaikhon Kholili II ini mengatakan raibnya pendukung Khofifah terjadi karena tak satu pun saksi kandidat ini hadir di lokasi pencoblosan. Ia menuduh para saksi ditekan seorang pengurus desa yang ingin memenangkan pasangan Soekarwo-Saifullah—alias ”Karsa”.
Tudingan ini pula yang diusung Khofifah, 43 tahun, ke Mahkamah Konstitusi dalam persidangan kasus sengketa hasil pemilihan Gubernur Jawa Timur. Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Timur memenangkan Soekarwo dengan selisih suara sangat tipis.
Tempo menelusuri tudingan ini ke Tanah Merah pekan lalu. Ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah Bangkalan Jazuli Nur mengatakan memang ada laporan tentang tekanan itu. Tudingan ini juga telah diverifikasi di lapangan. Hasilnya, ”Saksi dari Kaji juga menandatangani berita acara penghitungan suara di Bai Pajung.” Artinya, laporan absennya para saksi dari kubu Khofifah tak berdasar.
Ketua Panitia Pengawas Bangkalan, Mathur Khusairi, mengatakan laporan kejanggalan perolehan suara ini telah diperiksa. Ia menyimpulkan tidak ada pelanggaran. Ia menganggap lowongnya perolehan suara Khofifah terjadi karena masyarakat cenderung mematuhi arahan kiai atau tokoh agama setempat. Pada pemilihan bupati, Januari lalu, menurut Mathur, warga Bai Pajung juga memilih satu kandidat.
Mohammad Makruf, koordinator Tim Pengacara Pembela Demokrasi dan Keadilan yang dibentuk Kaji, mengatakan salinan dokumen penghitungan suara di desa itu sudah dimasukkan sebagai bukti pendukung ke Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, para saksi tidak berani memberikan kesaksian sehingga pemeriksaan hanya dilakukan pada dokumen itu. ”Hasil di Bai Pajung itu janggal,” kata Makruf.
Dalam penghitungan suara di Pulau Madura, menurut Komisi Pemilihan Umum Daerah Jawa Timur, kubu Karsa mengungguli kubu Kaji dengan perolehan suara 990.146 melawan 764.774. Kubu Kaji menggugat agar penghitungan suara di Madura dibatalkan. ”Jika ini dikabulkan majelis hakim, kami akan menang,” katanya.
Di Galis, tempat terjadi kecurangan menurut kubu Kaji, penelusuran Tempo membawa hasil unik. Menurut sekretaris tim pemenangan Kaji, Mohammad Mirdasy, terjadi pencoblosan surat suara oleh oknum kepala desa. Akibatnya, Khofifah hanya beroleh satu suara di satu lokasi pencoblosan.
Tuduhan serius ini dipatahkan Zamroti, koordinator saksi tingkat Kecamatan Galis, Bangkalan. ”Tidak ada suara yang dicoblos kepala desa di sini,” katanya. ”Semua saksi datang ke lokasi pencoblosan, kok.” Ketua tim sukses Kaji di Bangkalan, Fanny Rosjidi, bahkan menilai proses pencoblosan berlangsung sesuai dengan aturan.
Fanny mengatakan tidak ada selisih penghitungan suara versi Komisi Pemilihan Umum dengan kubu Khofifah di Bangkalan. Menurut data resmi, kubu Kaji memang kalah di sini dengan perolehan 151.666 suara, sedangkan kubu Karsa mengeduk 291.781 suara.
Di Kecamatan Konang, Kabupaten Bangkalan, saksi kubu Kaji mengaku mendapat arahan dari perangkat desa untuk memenangkan Karsa. Koordinator saksi kubu Kaji di sini sempat merekam pembicaraan dengan seorang kepala desa yang memintanya mendukung Karsa. ”Imbalannya, saya akan diberi dukungan sebagai calon anggota legislatif di Bangkalan,” kata seorang anggota tim Khofifah yang kini dicalonkan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia.
Menurut rekaman telepon seluler berbahasa Madura berdurasi 3 menit 34 detik itu, lurah meminta bantuan agar Soekarwo menang di Kecamatan Konang. Pengurus desa ini, menurut sang calon anggota legislatif, masih terbilang pamannya, sehingga ringan saja meminta dukungan. ”Saya sudah bersaksi di Mahkamah Konstitusi,” katanya. Pengacara Karsa, Todung Mulya Lubis, mengajukan protes ketika rekaman ini diperdengarkan di sidang.
Cerita kecurangan juga muncul dari Jumadi—bukan nama sebenarnya—tentang pencoblosan di Desa Bandung, Kecamatan Konang. Sejak awal kedatangan ke tempat pemungutan suara, petani ini merasa dicueki. Belakangan, ketika pencoblosan dimulai, salah satu oknum Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara mengarahkan pemilih untuk mencoblos Karsa. ”Dia buka kartunya, lalu langsung menyebut nomor lima untuk dicoblos,” kata Jumadi, 43 tahun.
Khodir Nawari, 55 tahun, koordinator saksi di Desa Gigir, Kecamatan Blega, mengaku saksi kubu Kaji dilarang masuk lokasi. ”Hanya karena terlambat setengah jam,” katanya. Belakangan, ia pun kena semprot petugas Kelompok Penyelenggara karena memegang selebaran arahan ulama Jawa Timur yang mendukung Kaji. ”Padahal cuma saya pegang.”
Seorang saksi lain mengaku melihat penggelembungan suara pada tingkat Kecamatan Burneh. Data yang dimiliki panitia berbeda dengan yang dimiliki kubu Kaji. ”Angkanya terbalik-balik,” katanya. Ia pun memprotes, tapi ternyata isi kotak suara sama persis dengan penghitungan versi panitia.
Belakangan, karena ngotot mempermasalahkan hal ini ke Panitia Pengawas, sehari setelah pencoblosan ia mendapat telepon ancaman. ”Malamnya saya langsung berangkat ke Surabaya untuk mengamankan diri,” kata mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Bangkalan ini ketika ditemui Tempo di Jakarta.
Menurut Mathur Khusairi, memang ada dua laporan dari kubu Khofifah. Namun, setelah diklarifikasi panitia, sang petugas yang dipersoalkan itu ternyata hanya menjelaskan tata cara pencoblosan kepada warga. ”Ketika diundang, pelapor dari kubu Khofifah tidak datang,” katanya.
Tudingan kecurangan lain muncul di Kabupaten Sumenep, paling timur Pulau Madura. Isunya pembongkaran kotak suara di Tempat Pemungutan Suara 06 Kelurahan Pajagalan. Laporan dibuat salah satu partai pendukung Khofifah berdasarkan kesaksian seorang wartawan lokal, Muhammad Firdaus.
Ketika ditemui, Firdaus mengatakan sempat memotret kotak suara yang dibuka saat saksi kubu Khofifah sedang tidak ada di lokasi pencoblosan. Namun, Ketua Panitia Pemungutan Suara Kecamatan Sumenep, Budiarjo, membantah. ”Sewaktu akan digembok dan akan dibawa ke kelurahan, anak kuncinya hilang.” Dibelilah gembok dan anak kunci baru.
Kotak suara, menurut Budiarjo, lalu dibawa ke kelurahan menumpang becak, yang tukang becaknya kebetulan mengenakan kaus bergambar Karsa. Sayangnya, menurut seorang anggota Panitia Pengawas Sumenep, laporan soal ini baru muncul sembilan hari sesudah pencoblosan, sehingga sulit diproses.
Tudingan lain penyebab kalahnya Kaji di Madura adalah campur tangan Bupati Fuad Amin Imron, yang mengarahkan warganya lewat perangkat desa untuk mencoblos Karsa. Fuad membantah. ”Kalau di Bangkalan, sapinya hilang minta ganti bupati, apa-apa minta ganti bupati,” katanya dengan logat Madura yang mantap. ”Lalu, kalau kepepet, ya menyalahkan bupati.”
Seorang saksi Kaji mengatakan Fuad sempat mengumpulkan sejumlah pengurus Muslimat Nahdlatul Ulama di rumah dinasnya sepekan sebelum pencoblosan. Ia meminta pengurus mengerahkan anggota mencoblos Karsa. Saat itu ia membagikan stiker dan kaus berlogo Karsa, plus kerudung. ”Itu kerudung mahal, kerudung sutra,” kata saksi yang mengaku kebagian kerudung berwarna krem.
Ditanyai soal ini, Fuad mengaku pernah mengundang. Menurut dia, ini tak ada kaitannya dengan pemilihan gubernur karena dilakukan Januari lalu. Undangan itu diberikan berkaitan dengan pemilihan dirinya sebagai bupati. Ia sendiri mengaku pendukung Karsa.
Budi Riza, Dini Mawuntyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo