Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPULUH perwira Angkatan Udara itu berkumpul di ruang rapat kantor induk koperasi mereka di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, pekan lalu. Sejumlah perwakilan pengusaha, mitra koperasi, itu duduk berhadapan. Satu jam berlalu, rapat tak kunjung usai. ”Kalau setuju ’setor’ sih, setengah jam saja seharusnya sudah rampung,” kata Marsekal Pertama Yanuar Sugiadji, yang mengetuai koperasi itu, sedikit menyesalkan.
Jangan berburuk sangka dulu. ”Setoran” yang dimaksud Yanuar bukanlah pungutan liar. ”Itu kewajiban mereka ke kas negara,” katanya. Kesepuluh perwira yang sedang bernegosiasi itu adalah bagian dari tim aset Induk Koperasi Angkatan Udara—biasa disingkat Inkopau. Tim ini khusus dibentuk untuk menata kembali perjanjian bisnis mereka. Semua mitra diundang untuk membahas kelanjutan kerja sama. ”Dan menghitung berapa kewajiban mereka yang masih harus dilunasi,” ujar Yanuar.
”Bersih-bersih” ini dilakukan terkait dengan rampungnya kerja Tim Pelaksana Pengalihan Bisnis Tentara Nasional Indonesia, awal November lalu. Tim yang dipimpin mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Riyana Hardjapamekas ini menyoroti maraknya penggunaan barang milik negara di lingkungan militer. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, Juli lalu, ditemukan belasan ribu hektare tanah, bangunan, dan aset lainnya milik negara untuk tentara yang disewakan kepada pihak ketiga. Hasil sewanya, ditaksir Rp 190 miliar, belum disetor ke kas negara. ”Ini harus segera ditertibkan dan diluruskan,” demikian salah satu butir rekomendasi tim itu.
Modus kerja samanya juga diungkapkan tim pelaksana. Pengusaha yang menyewa barang milik negara di lingkungan TNI umumnya bekerja sama dengan koperasi atau yayasan. Uang kontribusi awal dan sewa tahunan menjadi semacam dana nonbujeter yang dipakai untuk membiayai kebutuhan militer yang tidak bisa dipenuhi anggaran resmi. Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, militer sudah harus bersih dari bisnis semacam ini, Oktober tahun depan.
Mari kita jalan-jalan ke Bandung, Jawa Barat. Di Kota Kembang ini ada Perry Tristianto, yang dikenal sebagai raja factory outlet. Pria setengah baya ini punya lima toko pakaian modis di pusat ibu kota Priangan. Pelanggannya antre, tokonya tak pernah sepi. Tiga di antaranya berlokasi di Jalan R.E. Martadinata, memanfaatkan rumah dinas purnawirawan TNI di lingkungan Kodam Siliwangi. ”Waktu hendak menyewa, saya berhubungan langsung dengan purnawirawan yang menempati rumah itu,” kata Perry kepada Tempo pekan lalu.
Buntutnya bermasalah. Perry mengaku tiga tahun lalu pernah menerima surat teguran karena menggunakan rumah dinas TNI untuk kepentingan bisnis. Namun, setelah ”berkoordinasi” dengan Kodam Siliwangi, usahanya bisa berlanjut. Belakangan, dia malah membuka satu toko lagi di atas lahan milik tentara. Untuk yang terakhir ini, dia menjalin kerja sama langsung dengan Kodam Siliwangi.
Selain membayar sewa, Perry rutin membayar pajak. Untuk satu rumah saja, tarif pajak dan setoran penerimaan negara yang harus dia bayar tak kurang dari Rp 80 juta per tahun. Toh, Badan Pemeriksa Keuangan tetap menilai praktek penyewaan rumah dinas di Kodam Siliwangi itu menyimpang dari aturan. Karena itulah, Panglima Daerah Militer Siliwangi Mayor Jenderal Rasyid Qurnuen Aquari berjanji akan mengkaji ulang kerja sama pemanfaatan aset militer di Jawa Barat. ”Saya masih mengumpulkan data dari Asisten Logistik,” katanya kepada Tempo pekan lalu.
Kisruh sewa-menyewa lahan dan aset militer juga terjadi di Ibu Kota. Gedung eks Markas Besar Angkatan Udara di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, sejak 1995 juga disewakan kepada PT Aldiron Perkasa, sebuah perusahaan kontraktor dan properti, menjadi perkantoran. Dalam auditnya Juli lalu, Badan Pemeriksa Keuangan menilai kontrak sewa gedung itu berpotensi merugikan negara Rp 278,5 miliar.
Inkopau, pihak yang mengikat perjanjian dengan Aldiron, saat ini berusaha keras mengubah kontrak sewa-menyewa gedung eks markas besarnya. Sejumlah amendemen kontrak diajukan agar perjanjian itu tak melanggar surat edaran Menteri Keuangan tentang kewajiban sewa barang negara. Rapat dengan Aldiron digelar dua kali seminggu, termasuk dihadiri 10 perwira itu.
Langkah penertiban mulai diambil pemerintah. Dalam pekan ini, Departemen Pertahanan akan menerbitkan peraturan menteri soal penerimaan negara bukan pajak. ”Kami berharap ini bisa jadi panduan dan dasar hukum bagi perbaikan ke depan,” kata Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan Letnan Jenderal Safzen Nurdin. Gedung Balai Sudirman di Jakarta Selatan, yang dikelola Markas Besar TNI, juga termasuk yang disorot Badan Pemeriksa Keuangan.
Siapkah tentara melepas bisnisnya? ”Pada dasarnya, kami siap melepas bisnis,” kata Marsekal Muda Sagom Tamboen, Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI. Ia berpesan agar proses pengalihan bisnis militer ini jangan sampai mengganggu pelaksanaan tugas tentara. Juga, ”Harus ada asas keadilan,” ujar Sagom. Maksud Sagom, penataan ini harus dilakukan sejalan dengan usaha reformasi birokrasi di lingkungan pemerintah.
Sagom tidak membantah jika dikatakan ada aturan yang dilanggar dalam kerja sama pemanfaatan barang milik negara oleh koperasi dan yayasan TNI. ”Tapi itu semua warisan masa lalu,” katanya. Inkopau, misalnya, memiliki ikatan kerja sama dengan 42 mitra usaha. Dari jumlah itu, hanya lima kontrak yang dibuat di atas 2004. Tujuannya luhur, untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit. ”Tak ada yang masuk kantong perwira,” katanya yakin.
Ambil contoh angkutan kota Trans Halim, unit usaha dari Pusat Koperasi Angkatan Udara. Angkutan itu melayani prajurit dan keluarganya yang tinggal di kompleks Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Prajurit terbantu secara tak langsung. Adapun Primer Koperasi berperan langsung: menyediakan fasilitas simpan-pinjam bagi prajurit. ”Bayangkan, jika tidak ada koperasi, ke mana prajurit kami meminjam uang?” kata Sagom.
Peran yayasan, menurut Sagom, tak kalah penting. Yayasan Sosial Bhumyamca yang ada di lingkungan TNI Angkatan Laut, misalnya, menyediakan dana untuk membayar tunjangan hari raya prajurit setiap tahun, menyediakan beasiswa untuk anak prajurit, sampai ikut membiayai pemeliharaan fasilitas pendidikan milik Yayasan Hang Tuah dan Yayasan Nala.
Yasbhum—demikian yayasan ini biasa disingkat—memperoleh dana dari badan usahanya, PT Jala Bhakti Yasbhum, yang bekerja sama dengan perusahaan Malaysia, Sime Darby Bhd., mengelola Kawasan Komersial Cilandak. Mereka menyetor Rp 14,9 miliar ke TNI Angkatan Laut pada 2007. Karena itulah, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyatakan bahwa proses penertiban bisnis tentara ini harus bertahap. ”Perlu ada masa transisi,” ujarnya. ”Tidak bisa langsung (dihentikan) 100 persen.”
Wahyu Dhyatmika, Sahala Lumbanraja, Titis Setianingtyas (Jakarta), Ahmad Fikri, Alwan Ridha Ramdani (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo