Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu saja ada prasangka yang sudah lama hadir sebelum Front Pembela Islam dan Hizbullah Bulan Bintang menolak syuting film Lastri di Solo dua pekan lalu. Seperti diketahui, kedua organisasi itu memaksa seniman Erros Djarot beserta seluruh kru filmnya angkat kaki dari Kecamatan Wedi, Klaten, dan Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah.
Dua organisasi itu mengajukan sebuah alasan sederhana untuk membenarkan tindakan mereka: masyarakat Solo tidak ingin dikotori oleh unsur-unsur komunisme. Dan patut disesalkan, mereka memaksa Erros pergi tanpa lebih dulu membaca skenario dan berdialog dengan sutradara film itu. Lastri, judul sekaligus tokoh utama film itu, adalah kisah cinta segi tiga lintas ideologi dengan setting pertengahan 1960-an di Jawa Tengah. Sayang sekali jika mereka tidak menyadari cerita Lastri ditutup dengan pengakuan seorang ideolog Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia bahwa komunisme adalah sebuah filsafat yang kering. Kesimpulan yang menunjukkan sikap keseluruhan film ini.
Satu lagi yang patut disayangkan, polisi seolah-olah membenarkan alasan serta langkah Front Pembela Islam dan Hizbullah Bulan Bintang itu. Padahal polisi seharusnya menjaga keselamatan para petinggi dusun agar berani menolak tekanan yang menginginkan para kru film itu enyah. Apalagi Erros sudah mengantongi izin syuting dari Markas Besar Kepolisian Indonesia di Jakarta. Toh, penolakan masyarakat, misalnya, tak tampak di Colomadu, lokasi pabrik gula yang telah mati. Di sana justru banyak warga ingin terlibat dan menjadi figuran. Dan di Pasar Klewer, ketika para aktris melakukan orientasi, banyak mbok penjual batik bergurau ingin jadi aktris.
Jelas, ”pembenaran” yang diberikan kepolisian setempat akan memberi angin pada langkah-langkah represif dua organisasi itu selanjutnya. Sesungguhnya, apa pun alasannya, melarang proses produksi sebuah film merupakan tindakan defensif yang tidak sehat. Seharusnya kompetisi berlangsung tanpa represi dari pihak mana pun: karya dilawan dengan karya, produk dilawan dengan produk. Dan sebaiknya segenap potensi yang tersimpan pada suatu kelompok masyarakat dikerahkan untuk menciptakan produk-produk yang selaras dengan ideologinya—ketimbang melarang produk orang lain yang tidak sesuai dengan ideologi mereka.
Hal yang sama berlaku bagi orang-orang yang merasa tidak nyaman dengan produk seni yang berkualitas rendah. Ketimbang memberangus produk yang diciptakan demi kepentingan komersial semata, kelompok mereka dituntut menghasilkan karya-karya berkualitas tinggi.
Lihatlah dunia film kita. Di antara film bertema cinta remaja, komedi, dan horor yang hanya berorientasi menangguk untung, dua film ternyata berhasil menaklukkan hati begitu banyak penonton. Ada Laskar Pelangi yang mendidik dan ada Ayat-ayat Cinta yang tampak ”islami”. Laskar Pelangi berhasil mengukuhkan diri sebagai antitesis terhadap film-film remaja yang sama sekali tidak mendidik. Sedangkan Ayat-ayat Cinta—lepas dari kontroversi mengenai kualitasnya—merupakan antitesis terhadap film-film ”sekuler” yang merajai dunia kita.
Sekali lagi, tanpa perlu melarang orang lain berkreasi, keduanya telah berhasil menaklukkan pasar, sekaligus membawakan misinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo