Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=arial size=1 color=brown><B>Iklan Partai</B></font><BR />Manuver Politik Faksi Sejahtera

Iklan Hari Pahlawan Partai Keadilan Sejahtera terus menuai kritik. Sikap pemimpin Partai atas Soeharto terbelah.

24 November 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAMUAN makan malam bertajuk Silaturahmi dan Dialog Antar Keluarga Pahlawan Nasional itu berlangsung di gedung Jakarta Convention Center di kawasan Senayan, Rabu pekan lalu. Hadir para petinggi sahibul hajat, Partai Keadilan Sejahtera, plus ahli waris para pahlawan nasional. Minuman ringan, jus, air putih, roti, dan buah-buahan tersaji di meja bundar yang dilapisi taplak putih.

Sorot mata hadirin tertuju kepada Titiek Soeharto. Ia duduk di meja depan, diapit oleh Ketua Dewan Syura Hilmy Aminuddin dan Sekretaris Jenderal Anis Matta. Anak keempat bekas penguasa Orde Baru itu, ketika didaulat bicara, raut mukanya sumringah. Ia berterima kasih karena partai ini memasukkan ayahandanya, Soeharto, ke deretan ”pahlawan dan guru bangsa”. ”Acara ini untuk mendorong rekonsiliasi dan agar tak ada lagi dendam antargenerasi,” kata Presiden PKS Tifatul Sembiring.

Titiek datang menggantikan adiknya, Mamiek, yang berhalangan. Ada pula Bambang Sulastomo, putra Bung Tomo; Halida Hatta yang adalah putri Bung Hatta; Amelia Ahmad Yani, putri Jenderal Ahmad Yani; dan putra Haji Agus Salim, Agustanzil Sahruzah. Di sudut lain, tampak Salahuddin Wahid, cucu KH Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri Nahdlatul Ulama. Salahuddin, pemimpin Pesantren Tebuireng, tak lain adik Abdurrahman Wahid, mantan Presiden dan Ketua Dewan Syura Partai Kebangkitan Bangsa.

Acara ini menjadi perhatian lantaran PKS baru saja menayangkan iklan kontroversial di sejumlah televisi swasta itu. Dalam iklan hasil kreasi Ipang Wahid, putra Salahuddin Wahid, Soeharto dimasukkan ke deretan delapan (sesuai dengan nomor urut partai dakwah ini) ”pahlawan dan guru bangsa”, bersama Soekarno, Hatta, Achmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Natsir, Agus Salim, dan tokoh lainnya yang ditayangkan pada 9 hingga 11 November lalu.

Iklan berbujet Rp 1 miliar itu dikritik lantaran ”masuk angin”. ”Soeharto tak tepat dijadikan pahlawan nasional, meski dia pernah menjadi presiden,” kata sejarawan Anhar Gonggong. Sebab, kata Anhar, selama berkuasa, dia banyak mendatangkan mudarat untuk Republik. Ia ditumbangkan para mahasiswa pada 1998, dalam gerakan reformasi, yang juga memberikan angin bagi lahirnya partai ini. Sejumlah aktivis 1998 malah duduk menjadi legislator dari Partai yang bermoto ”bersih, peduli, dan profesional” itu.

Jamuan malam itu menguatkan ”kemesraan partai dengan Cendana”. Buntutnya, sejumlah tokoh muda tak mau dianugerahi partai itu sebagai pemimpin masa depan. Koordinator Kontras Usman Hamid dan Fadjroel Rachman, calon presiden independen, curiga ada pihak yang menggunakan partai ini untuk memutihkan nama Soeharto (baca ”Pokok dan Tokoh”).

Anhar Gonggong curiga, manuver ini sangat politis: untuk menjaring suara, khususnya para pengikut Soeharto. Apalagi PKS menargetkan dalam pemilu legislatif 2009 nanti bisa meraup suara 20 persen. ”Ini target berat. Makanya perlu terobosan dengan menarik pemilih, jangan hanya yang Islam fanatik,” kata Irwan Prayitno, anggota Majelis Syura.

Namun ada juga riak di dalam. Anis Matta, Ketua Tim Pemenangan Pemilu Nasional, yang menggodok iklan itu, ramai dihujani kritik di Dewan Pimpinan Pusat Partai. Presiden Partai, Tifatul Sembiring, termasuk pengkritik yang keras. Ia tidak sreg dengan ide itu. ”Saya sudah mengingatkan, iklan itu akan menjadi kontroversi. Sampai saya bilang, apa yang kita demo dulu itu Sunarto?” kata Tifatul.

Perbedaan cara pandang ini dibenarkan beberapa pengurus Partai. ”Tifatul itu keras dan Anis Matta orangnya progresif,” kata Ketua Departemen Komunikasi Partai Ahmad Mabruri. Belakangan Tifatul melunak. Yang penting, kata dia, strateginya tidak melanggar yang mabadi’ (prinsip). ”Apa yang diasumsikan sebagai perbedaan di dalam itu tidak ada. Kalau ada hanya masalah teknis, bukan pada ide,” kata Anis.

Bekas Wakil Ketua Partai Keadilan, Syamsul Balda, mengungkapkan bahwa di partai itu sejak awal ada dua faksi besar: ”kubu keadilan” dan ”kubu sejahtera”. Kubu keadilan memilih konservatif dalam berpolitik, yang diwakili Mustafa Kamal, Untung Wahono, dan Mutamimul Ula. Tapi kubu satunya cenderung progresif dan oportunistik. Di barisan ini ada Anis Matta, Fachri Hamzah, dan Abubakar Alhabsyi.

Penasihat Presiden PKS, Suryama M. Sastra, membenarkan adanya dua faksi di partainya itu. Ia lalu mencontohkan saat ingin menambahkan kata ketiga dalam slogan Partai setelah kata ”bersih dan peduli”. Saat itu usulnya mengerucut pada kata ”sederhana” atau ”profesional”. Namun, ketika dibawa ke syura Partai, kata ”profesional” yang dipakai. ”Ini sekaligus meneguhkan dominasi kelompok progresif ini,” kata Suryama.

Syamsul Balda juga mengakui bahwa ada pihak yang khusus melobi partainya agar tak memusuhi Keluarga Cendana. Sejarah mencatat bahwa partai inilah yang justru berinisiatif memaafkan Soeharto dalam sidang konsultasi dengan Presiden di Istana, ketika Soeharto sakit keras. ”PKS memang mengusulkan agar Pak Harto dimaafkan, dan tampaknya disetujui Partai Golkar,” kata Ketua DPR Agung Laksono saat itu kepada pers.

Sebaliknya, PKS juga memerlukan Cendana. ”Apalagi kalau bukan untuk fund rising,” kata seorang sumber Tempo di PKS. Namun pernyataan itu langsung dibantah. ”Partai kami ini isinya para aktivis yang kritis. Saya kira tidak semudah itu kami dipengaruhi,” kata Tifatul.

WMU, Agus Supriyanto, Akbar Tri Kurniawan (Jakarta), Awan Ridha (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus